“Upaya yang dilakukan oleh sejumlah kelompok masyarakat menunjukkan kecenderungan positif ke arah keberhasilan pengurangan deforestasi, yang berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dan menjaga sumber air,” ujar Rudi Syaf dalam webinar bertajuk Dialogue on Indigenous People Actions to Conserve Forest, Minggu (25/10), dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa.
Menurut Rudi, salah satu contoh hutan desa yang kini dikelola KKI WARSI bersama masyarakat adalah “Bujang Raba” (Bukit Panjang – Bujang dan Rantau Bayur – Raba) sebagai kawasan Hutan Lindung yang berjajar di sepanjang Bukit Barisan.
“Bujang Raba yang disebut hutan hulu air dalam bahasa masyarakat Jambi ini menjadi penting karena sumber air yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Rudi.
Untuk menyemangati aksi masyarakat, Rudi menceritakan, kelompok pengelola hutan desa bisa mendapatkan apresiasi ketika berhasil menurunkan emisi karbon. Nantinya, hasil ekonomi itu bisa digunakan kembali untuk kepentingan masyarakat desa.
“Sudah dua kali pembayaran, yaitu pada 2018 senilai Rp 400 juta dan bulan puasa kemarin senilai Rp 1 M digunakan untuk sunatan masal di 5 dusun, patroli dan pengadaan pengelolaan hutan desa. Ketika pandemi, disepakati untuk sembako masyarakat dan sarana prasarana desa,” ungkap Rudi.
Perwakilan kelompok perempuan, Sungai Telang, Jambi, Misrawati pun menyampaikan dirinya dan masyarakat sekitar mendapatkan manfaat yang besar jika hutan dikelola dengan bijak. Dalam pengelolaan itu, pihaknya didampingi oleh WARSI.
“Dalam pengelolaan tersebut, kami mempunyai lembaga pengelola musyawarah bersama yang strukturnya juga melibatkan perempuan. Juga ada manfaat pemberdayaan perempuan untuk kelompok pengrajin dan UMKM,” ujar Misrawati.
Sementara itu, pegiat tanaman anggrek di kawasan itu, Nanin Sulastri mengungkapkan masyarakat desa bahkan mempunyai aturan setempat yang mendenda sampai Rp 1,5 juta bagi siapapun yang menebang hutan.
Dengan begitu, pembalakkan hutan pun bisa dicegah. “Karena bila hutan dirusak, sumber mata air akan jauh berkurang dan akan berdampak pula pada pertanian. Makanya desa membuat aturan itu, karena hutan juga sumber penghasilan dan kehidupan bagi kami,” kata Nanin.
Pengelolaan hutan desa dengan bijak pun, dilakukan oleh Tokoh perempuan Pipikoro, Sulawesi Tengah, Dennys Greis Adji. Tanpa merusak hutan, masyarakat desa menjadikan hutan sebagai ladang pangan dan obat-obatan.
Hal ini dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, terlebih layanan kesehatan masyarakat sekitar masih minim. “Kami agak sulit berobat, kalaupun ada mesti ke kota dengan akses yang sulit. Makanya kami, mengambil obat-obatan yang ada di hutan,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)