Oleh : Jekson Simanjuntak
Minggu pagi, 18 Oktober 2020, Amet Girindra, instruktur selam dari Rockstar Dive tengah bersiap di kolam Sepolwan, yang berada di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia baru saja membersihkan sejumlah peralatan menyelam, seperti tabung, pemberat, wetsuit, regulator, masker dan snorkel menggunakan desinfektan.
“Peralatan-peralatan ini harus kita desinfektan sebelum digunakan. Biar bersih. Maklum sekarang lagi musim Corona,” ujar Amet.
Pagi itu, Amet berkesempatan mendampingi Bagus Gesit Sugesti (32), murid yang akan naik jenjang dari Open Water (tingkat dasar) ke Advance Open Water. Di dunia selam dikenal istilah naik jenjang, jika logbooknya (catatan waktu menyelam) telah terpenuhi. Untuk lanjut ke Advance Open Water, setidaknya harus mengantongi minimal 20-30 log dive.
“Ini ada kaitannya dengan peningkatan skill dan pengetahuan penyelam yang memang harus diupgrade. Juga terkait safety”, kata Amet sambil menyusun alat diving agar tidak tercampur.
Bagi Bagus Gesit, naik jenjang di masa pandemi bukan sebuah kebetulan. Ia berani melakukannya karena alasan yang sangat sederhana. Ia merasa ini adalah waktu yang tepat, dan kebetulan Amet bersedia menemaninya.
“Naik jenjang ke ‘advance’ karena mumpung bisa. Mumpung sempat dan ada waktu. Sebenarnya tidak memilih khusus di masa pandemi, terus mengambil ‘advance’. Gak seperti itu”, ungkap Bagus yang merupakan ASN di Kementerian Perhubungan.
Menurut Bagus, menyelam di masa pandemi tidak menjadi masalah, karena olah raga tersebut diyakininya mampu meningkatkan imun tubuh. “Dengan imun yang kuat, kita akan terhindar dari Covid-19. Apalagi kita tetap memperhatikan protokol kesehatan,” ungkapnya.
Selain mendampingi murid, pagi itu, Amet juga kedatangan dua orang mantan murid yang hendak “refresh”. Refresh istilah untuk kegiatan menyelam kembali, setelah sekian lama absen.
“Biasanya untuk membiasakan diri dan mengasah keterampilan, karena sudah lama tidak menyelam. Tapi banyak juga yang refresh untuk persiapan sebelum ikut trip menyelam ke luar kota” papar Amet.
Ardhito Umar (43) mengamini, jika “refresh” di kolam diperlukan sebagai bentuk adaptasi tubuh sebelum melakukan trip menyelam. Kebetulan dalam waktu dekat, ia akan menyelam di Kepulauan Seribu.
Menurut Ardhito, menyelam erat hubungannya dengan faktor keselamatan. Karena itu, setiap penyelam harus menguasai keterampilan dan pengetahuan dasar menyelam.
“Saya sempat vakum menyelam selama 1 tahun, karena Covid dan gak bisa pulang dari pekerjaan saya di Abu Dhabi. Sekarang saya ‘refresh’, untuk memastikan bahwa basic skill masih well train. Masih faseh,” ungkap Ardhito yang pekerjaannya lebih banyak berkecimpung di dunia kontraktor.
Bagi Ardhito, safety menjadi hal pokok yang harus dipatuhi setiap penyelam. Karena menyelam merupakan kegiatan rekreasional yang dilakukan secara mandiri, walaupun masuknya ke dalam air secara berkelompok.
“Jika terjadi apa-apa di dalam (18m misalnya), kita bisa melakukan hal-hal yang diperlukan dan kita tidak panik. Jadi untuk safety dan melatih ketrampilan menyelam. Termasuk mengoperasikan alat, dan lain-lain,” kata Ardhito.
Sementara bagi Neneng Fitria (41) yang sehari-hari bekerja di perusahaan asal Taiwan, refresh ia lakukan karena sudah bosan di rumah akibat pandemi ini. Ia ingin merasakan kembali ketenangan saat berada di dalam air.
“Karena pandemi sudah cukup lama, saya berpikir mengapa tidak mencoba refresh? Selain itu, saya juga tahu kondisi tubuh saya, sedang baik atau tidak,” ujar Neneng yang akrab disapa Fitri.
Bagi Fitri, “refresh” seperti sekarang ini, berarti kondisi tubuhnya sedang baik. “Jika tidak ok, pasti saya tidak keluar rumah. Karena kalau kondisi tubuh drop, maka tidak mungkin memaksakan diving,” katanya.
Selain karena rindu air, Fitri memilih refresh agar tidak kaget saat menyelam di luar kota. Menurutnya, ia butuh penyesuaian.
“Rencananya saya mau ke Bunaken, terus ke Wakatobi, lalu Makassar. Mungkin ke Tanjung Bira juga. Saya rencananya mau kunjungi spot-spot diving di Sulawesi,” ujar Fitri bersemangat.
Masa Sulit
Bagi Amet Girindra, kegiatan seperti: sertifikasi selam (open water), naik jenjang dan refresh di kolam adalah upaya untuk bertahan hidup di masa pandemi. Pasalnya, ia sempat berhenti total, pasca-Pemprov DKI memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi.
“Sebelumnya sempat berhenti beberapa bulan sampai pas lebaran. Vakum tiga bulan, mulai dari Maret akhir Sampai Juni akhir. Trus sempat beroperasi selama 1 bulan, lalu tutup lagi, karena tidak ada murid,” ujar Amet.
Kondisi itu diperparah dengan pemberlakuan PSBB Total di DKI Jakarta, pada 14 September lalu. Praktis ia tidak leluasa menjalankan aktivitasnya sebagai instruktur selam dan penyedia jasa trip menyelam.
“Kalo sekarang di masa Corona, kondisi sulit. Pemasukan jauh berkurang. Trus cari peserta untuk trip juga susah, karena mereka pada takut Corona,” ungkap Amet.
Akibat PSBB Total, jasa trip menyelam yang biasa ia tawarkan ke Kepualauan Seribu harus dialihkan ke tempat lain. Salah satunya ke Pulau Sangiang, pulau kecil di Selat Sunda, terletak antara Jawa dan Sumatera.
Namun menawarkan trip menyelam ke Sangiang juga tidak mudah. Selain jarak yang jauh dari Jakarta, kebanyakan peserta membatalkan keberangkatan, ketika mengetahui perkembangan positif Covid-19 meningkat di Jakarta.
“Kita mau buat trip ke Sangiang jadi sulit, karena tamu yang minim dan kebanyakan cancel. Seperti kemarin sudah ada 3 orang yang mau, akhirnya batal, karena banyaknya Covid seperti diberitakan di tivi,” ujar Amet.
Setelah mengutak-atik jadwal, trip menyelam ke Pulau Sangiang akhirnya disepakati pada 10 Oktober 2020. Harapannya, target minimal peserta 6 orang terpenuhi.
“Dilalanya, peserta ke Sanghiang baru 3 orang. Jika minimal ada 6 orang, baru kita jalan. Tapi kalo tamunya cuma 3, agak berat di biaya operasional. Mau gak mau kita harus cancel,” tutur Amet.
Benar saja, rencana keberangkatan pada 10 Oktober terpaksa dibatalkan, karena jumlah peserta yang minim. Situasi seperti itu, bukan yang pertama dialami Amet di masa pandemi ini.
“Sebelumnya bahkan lebih parah. Saya harus membatalkan 5 kali rencana trip ke Pulau Pramuka. Waktu itu PSBB Transisi, saya sampai tidak enak kepada Pak Untung (pengelola homestay) karena udah booking tapi gak jadi berangkat,” ungkap Amet.
Coba Semua Cara
Di momen seperti sekarang ini, dimana bisnis wisata selam sangat terdampak akibat Covid-19, Amet juga mengalaminya. Awalnya ia bingung menyikapi kondisi tersebut, namun tak mau menyerah. Ia lalu memutar akal agar bisa bertahan hidup.
Banyak cara ia lakukan. Mulai dari berdagang telur ayam, hingga ikut sebagai marketing jual beli rumah bekas. “Pokoknya semua cara saya coba biar dapat pendapatan,” ujar Amet bersemangat.
Tak hanya itu, Amet juga terpaksa berjualan desinfektan dalam berbagai ukuran. Hanya saja, desinfektan dagangannya telah habis, dan ia tidak berani investasi terlalu besar disitu.
“Mutarnya agak lama. Selain itu, sekarang ini desinfektan udah kayak air. Dimana-mana ada, dan harganya bersaing,” ungkap Amet.
Dari semua usaha yang sempat ia geluti di masa pandemi, berjualan telur ayam menjadi salah satu yang cukup berhasil. Bisnis itu ia geluti saat puasa hari pertama hingga lebaran. Kurang lebih 30 hari.
“Waktu mau lebaran, bisnis yang lumayan laku adalah jualan telur. Orang beli bisa 15Kg (ukuran 1 peti),” ujar Amet.
Bisnis itu ia jalankan dengan prinsip marketing “dari mulut ke mulut”. Ia jajakan diantara teman-teman penyelam. Teman-teman penyelam lalu menyebarkan informasinya kepada teman-teman lainnya. Misalnya teman se-komplek atau teman sekantor.
“Karena musim Corona, banyak yang tidak berani keluar rumah. Maka saya bantu untuk distribusikan langsung ke mereka. Dan mereka senang,” kata Amet.
Sebelum mengantar telur ke pelanggan, biasanya orderan masuk terlebih dahulu. Setelah itu, pagi-pagi, Amet mengambil telur tersebut dari distributor yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
“Lokasi distributor adanya di Sawangan. Dia yang ambil dari peternak lalu dikumpulkan. Selain saya, banyak juga pedagang pada ngambil dari situ,” ujar Amet.
Di distributor, pembelian dilakukan minimal 1 peti atau setara ukuran 15Kg. Namun bagi Amet, pesanan telurnya bervariasi, antara 10 peti dan paling sedikit 8 peti.
“Waktu saya ambil per-kilonya dengan harga Rp17ribu. Sementara di pengecer harganya sudah Rp23 ribu. Saya tetap jual Rp23 ribu/ kilo dengan keuntungan Rp5ribu/ kilo,” papar Amet.
Dari bisnis itu, Amet bisa meraup keuntungan yang lumayan. Jika dihitung-hitung, untuk 1 peti ia bisa mengumpulkan Rp80 ribu. “Jika 10 peti saya antar, bisa dapat Rp800 ribu per hari,” papar Amet.
Dari pendapatan berjualan telur, Amet akhirnya bisa bertahan hidup. Bermodalkan penghasilan kotor Rp800ribu/ hari, ia sanggup melunasi cicilan kendaraan dan rumah KPR miliknya. Sayangnya, hal itu cuma bertahan sebulan.
Trip Pertama Pasca-Pandemi
Setelah Kepulauan Seribu dibuka untuk kunjungan wisata pada 13 Juni lalu, Amet berhasil menggelar one day trip (ODT) ke Kepulauan Seribu menggunakan kapal charter. Saat itu akses wisatawan ke P. Pramuka masih terbatas.
“Saya belum berani buka trip ke Pulau Pramuka, karena ada aturan, Pulau Pramuka nggak boleh diinjak. Saya lalu menawarkan trip menyelam di pulau kosong, setelah mendapat info bahwa kapal Predator boleh disewa, ” terang Amet.
Amet lalu menawarkan jasa menyelam dengan harga yang lebih tinggi, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Pilihannya adalah Pulau Air yang memang tidak berpenghuni.
“Agar terhindar dari Corona, saya memberikan hand sanitizer, membagikan masker scuba kepada setiap tamu. Saya juga minta penyemprotan disinfektan ke boat diving, tangki, dan peralatan lainnya,” ujar Amet.
Saat itu, para tamu yang ikut adalah mereka-mereka yang sudah bosan di rumah dan rindu untuk menyelam. “Kalo bahasa penyelam, insangnya sudah kering,” kata Amet.
Seingat Amet, saat itu, belum ada operator diving yang berani melakukan open trip ke Kepulauan Seribu. “Tidak ada yang buka trip. Perjalanan masih individu-individu, seperti jalan berempat atau berlima untuk diving. Sifatnya bukan open trip,” katanya.
Akibat open trip tersebut, Amet mendapat kritik dari teman-temannya, sesama operator diving, karena dianggap tidak menerapkan protokol kesehatan. “Tapi, waktu saya tunjukin video protokol kesehatan yang saya terapkan, baru mereka diam,” katanya.
Saat itu, Amet membawa 12 tamu dengan menyewa speedboat berkapasitas 20 orang. Sesuai aturan, setiap kapal yang beroperasi, hanya boleh diisi setengahnya.
“Itulah mengapa harga ODT-nya lumayan mahal. Saya jual dengan harga Rp1.7 juta. Harganya segitu, karena kapalnya harus sewa,” terang Amet.
Seperti biasa, untuk menyukseskan trip, Amet meminta bantuan guide (pemandu) dari penduduk Pulau Pramuka sebanyak 2 orang. Total yang menyelam ada 14 orang.
“Dari 14 orang itu saya bagi menjadi 2 boat diving. Biar gak kebanyakan dan tetap patuh protokol,” tegas Amet.
Di Pulau Air, speedboat yang mereka sewa dari Marina, Ancol, membuang jangkar. Selanjutnya, peserta diarahkan menuju boat diving yang disediakan. Boat divingnya cukup luas, sehingga tamu masih bisa menjaga jarak.
“Jadi saya masukin 7 orang di setiap boat, dan masih cukup lega. Saya pikir cukup aman bagi mereka untuk bisa menjaga jarak,” papar Amet.
Di Pulau Air, Amet menyelam sebanyak 3 kali, dengan surface interval selama 1 jam. Kegiatan menyelam dilakukan dengan santai, tanpa harus terburu-buru dan khawatir ketinggalan kapal. Pasalnya, speedboat yang mereka sewa setia menunggu hingga acara menyelam usai.
“Waktu itu, jam setengah 4 sore selesai, dan jam 4 kita sudah kembali ke Marina, Ancol,” kata Amet.
Sepanjang kegiatan menyelam, para peserta cukup puas dengan pelayanan yang mematuhi protokol kesehatan. Hanya saja, kondisi perairan yang banyak sampah membuat kegiatan menyelam kurang menarik.
“Mereka merasa, kok menyelamnya harus seperti ini, ya? Tapi, mau gimana lagi, memang kondisinya sedang seperti itu,” terang Amet.
Wisata Selam Kurang Diminati
Di masa pandemi Covid-19, Amet Girindra mengeluhkan semakin sedikit orang yang tertarik untuk mengikuti sertifikasi menyelam. Padahal dari sisi harga yang ia tawarkan, tidak ada perubahan. Sama seperti sebelum Covid melanda.
“Saya jual dengan harga Rp4.9juta per orang. Mereka tinggal bawa badan saja, karena semua alat disediakan,” kata Amet.
Menurut Amet, sebelum Corona, banyak orang tidak terlalu memikirkan soal harga, karena dana yang masih tersedia. Namun sekarang, kondisinya jauh berbeda.
“Orang banyak mikir-mikir untuk ambil kursus dengan harga segitu. Kecuali dia ada keperluan, seperti tugas dari kantor atau ada uang lebih,” ujar Amet.
Sebelumnya, Amet sempat mempunyai calon murid. Namun satu persatu rontok karena mengundurkan diri. Bisa jadi mengalami PHK atau karena alasan lainnya.
“Cuma, sejauh ini, belum ada murid yang bercerita jika mereka kena PHK. Mungkin malu juga. Kebanyakan diam saja,” ujar Amet.
Kendati demikian, Amet bisa memahami kondisi tersebut. “Terkadang, pas ditawarin trip, mereka bilang mending di rumah dulu deh. Ntar aja diving, kalo udah Corona udah beres,” ujar Amet menirukan jawaban klien-kliennya.
Hal serupa juga dikeluhkan oleh Hendrata Yudha, instruktur selam dari Nadipati Dive Center. Kini pendapatan Hendrata jauh berkurang.
“Sebelumnya, saya itu, rata-rata setiap bulan dari bisnis wisata selam memperoleh keuntungan sekitar Rp8 juta. Bersih itu. Tapi setelah Covid, ya nol,” ungkap Hendrata.
Sejak PSBB Total diberlakukan, Nadipati Dive Center haya kebagian 4 orang murid; 3 untuk openwater dan 1 orang naik jenjang ke advandce. Jumlah itu jauh berbeda dari masa normal.
Biar tidak bertele-tele dan memakan biaya banyak, menurut Hendrata, pembelajaran mereka padatkan selama 4 hari. Saat itu, ujian ke laut dilakukan pada hari biasa, bukan weekend. atau hari libur.
“Saat itu, kami masih sempat ke pulau. Persis sebelum Pulau Pramuka ditutup untuk umum,” jelas Hendrata.
Ferry Chandra, instrukur selam dari Wayang Dive juga mengeluhkan kondisi usaha selam yang merosot di masa pandemi ini. Menurutnya, kondisi jauh berubah, dari yang sebelumnya terbiasa menerima murid sebanyak 5-10 orang perbulan.
“Berasa banget saat ini, ketika industri wisata selam mengalami slow down. Pas keadaan kayak begini orang pada takut mau keluar. Mau ke kolam takut. Semuanya takut,” ujar Ferry
Menurut Ferry, kondisi serupa terjadi saat ia menawarkan jasa trip menyelam. Dari yang biasanya bisa menyelam sekali dalam sebulan diluar kota, kini tidak lagi.
“Yang kedua yang terasa banget untuk trip. Biasanya kita ke Pramuka seminggu sekali. Tapi, sejak Februari sampai sekarang, tripku cuma sekali. Setelah itu tidak ada trip sama sekali,” ujar Ferry.
Menurut Ferry, kondisi tahun ini memang sangat berat. Namun ia bisa memahami mengapa hal itu bisa terjadi. Ferry hanya berharap semoga pandemi bisa berakhir dan jasa trip menyelam kembali bergairah.
“Ini tahun memang parah banget. Dan kalau mau dibilang dampaknya, ya berasa banget. Juga kalo dibilang hancur, ya memang hancur banget,” pungkas Ferry.
Terancam Batal Bayar Cicilan
Sebelum Covid-19 marak, pendapatan Amet Girindra dari jasa trip menyelam dan sertifikasi cukup moncer. Buktinya, cicilan mobil dan rumah mampu ia bayar.
“Mobil dan rumah aja, angkanya sudah cukup tinggi. Tapi, pas Corona ini agak susah. Bahkan tabungan juga ikut tergerus untuk bayar cicilan,” ungkap Amet.
Ketika Amet sukses menggelar trip ke Kepulauan di masa pandemi, ia sempat bernafas lega. Pasalnya, ia memiliki dana segar yang menjadi modal dan bisa diolah kembali.
Tetapi ketika ketakutan terkait Covid meningkat, pemasukannya jauh berkurang. Setengahnya tidak dapat. Bahkan untuk bayar cicilan tidak terpenuhi. Jika dibandingkan pada kondisi normal, Amet mampu mengumpulkan keuntungan bersih antara Rp3 juta – Rp3.5 juta dari setiap trip menyelam.
“Itu udah bersih, jika peserta 10 orang dengan tujuan Pulau Pramuka selama 2 hari. Jika trip dilakukan berturut-turut selama 4 minggu, maka pendapatan saya bisa mencapai Rp12 juta,” ujar Amet.
Kondisinya agak berbeda jika Amet menawarkan trip meyelam ke Pulau Sangiang dengan jumlah minimal peserta 6 orang. Ia akan mendapat keuntungan antara Rp1.5 – Rp2 juta untuk setiap trip.
“Sedangkan jika saya membawa 10 peserta, keuntungannya bisa sampai 3 juta dalam sekali trip,” ujarnya.
Di tengah kondisi sulit seperti sekarang ini, Amet sedang mengajukan penundaan keringanan cicilan untuk kendaraan dan rumah. Ia berharap pihak bank bersedia mengabulkan permintaannya.
“Kemarin saya sudah minta keringanan cicilan mobil, tapi masih belum di-acc. Sementara untuk rumah udah diringanin. Saya diizinkan menyicil kembali pada Mei tahun depan,” kata Amet.
Akibatnya, Amet memiliki jeda waktu selama 1 tahun untuk membayar cicilan rumah. “Tapi ya itu, yang harusnya lunas di tahun 2025, jadinya molor 1 tahun lagi. Untungnya suku bunga tidak naik,” terang Amet.
Selain mendapat keringanan, Amet juga mendapat kejelasan soal besaran cicilan yang harus dilunasi. “Kemarin sudah disebutin angkanya Rp3.7 juta/ bulan hingga 15 tahun kedepan. Lumayan kalo angkanya fix,” katanya.
Khusus cicilan mobil, Amet masih ada kewajiban hingga 4 tahun lagi. Besarannya Rp4.2 juta/ bulan. Bagi Amet, ini menjadi beban tersendiri yang tidak bisa dianggap enteng.
“Ini kemarin sudah ngajuin juga. Cuma karena ada keterlambatan, sampai sekarang belum di acc. Ini saya sudah terlambat sebulan untuk bayar cicilan,” ungkapnya.
Dengan kondisi sulit seperti sekarang, Amet yakin masih mampu bertahan. Salah satu yang membuatnya kembali bersemangat adalah saat mengetahui akses ke Kepulauan Seribu kembali dibuka untuk kegiatan wisata.
“Saya dengar sejak minggu ini (17 Oktober 2020), Pulau Pramuka sudah dibuka. Buat saya ini peluang. Karena itu, saya menyiapkan open trip berikutnya ke Pramuka dan semoga banyak yang tertarik ikut,” pungkas Amet. *END*