Kilang minyak Montara yang meledak 21 Agustus 2009 lalu yang menyebabkan Laut Timor tercemar. Foto : Istimewa. |
KUPANG, BL- Pimpinan PTTEP Australasia yang baru Ken Fitzpatrick dituding telah melakukan sebuah kebohongan besar dengan menyebut pencemaran minyak di Laut Timor hanyalah sebuah insiden kecil, bukanlah sebuah petaka.
Hal tersebut disampaikan pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni kepada. “Fitzpatrick harus membuka mata lebar-lebar melihat derita yang dialami petani rumput laut di pesisir pantai Nusa Tenggara Timur serta kehidupan nelayan tradisional Laut Timor saat ini. Akibat pencemaran tersebut, ladang kehidupan mereka menjadi hancur,” kata Tanoni melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com akhir pekan kemarin.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengemukakan hal itu menanggapi pernyataan Fitzpatrick yang menyebut pencemaran minyak di laut Timor bukanlah merupakan sebuah petaka melainkan hanya sebuah insiden kecil yang dianggap biasa saja dan tidak memberikan dampak apapun di perairan Indonesia berdasarkan sebuah penelitian independen yang dilakukan.
Menurut Tanoni, dalam sebuah jumpa pers di Perth, Australia Barat, Kamis (3/5), Fitzpatrick mengatakan berdasarkan sebuah penelitian independen terbaru menunjukkan tumpahan minyak Montara sebanyak kurang lebih 148.000 barel setara dengan 8.732.000 liter yang ditumpahkan ke Laut Timor tidak memiliki sedikit pun dampak terhadap biota laut, ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat pesisir di Indonesia.
“Tumpahan minyak sebanyak itu bukan merupakan sebuah malapetaka, akan tetapi merupakan sebuah hal yang biasa saja walaupun diklaim sebagai sebuah insiden tumpahan minyak di laut yang terbesar dalam sejarah Australia,” kata Fitzpatrick sebagaimana yang dikutip Tanoni.
Tanoni juga mengungkapkan, dalam jumpa pers tersebut Fitzpatrick juga mengakui bahwa citra PTTEP Australasia terus menurun sejak terjadinya ledakan sumur minyak Montara dan dampaknya terus berlanjut hingga saat ini dan sedang menghadapi tuntutan hukum potensi dari Direktur Persemakmuran Kejaksaan akhir tahun ini.
Selain itu, diskusi kompensasi yang belum terselesaikan dengan pihak-pihak di Indonesia dan ancaman tuntutan hukum dari sebuah LSM di Timor bagian barat NTT serta klaim dari dua pekerja subkontraktor, termasuk di antara orang terakhir yang dievakuasi dari lokasi kejadian ledakan sumur minyak.
Namun, kata Tanoni yang juga mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia, Fitzpatrick tidak akan berkomentar lebih jauh terhadap masalah-masalah tersebut, karena sudah masuk dalam wilayah hukum.
Tanoni menyesalkan kelambanan pemerintah pusat yang dilakukan dengan sengaja atau tidak telah memberikan kesempatan kepada perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP Australasia untuk terus berbohong guna memperbaiki citra perusahaan dengan harapan untuk menaikkan posisi tawar harga saham di bursa internasional.
Penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” ini mengatakan bahwa Fitzpatrick adalah seorang pembohong besar, karena ledakan sumur minyak Montara pada 2009 itu merupakan sebuah malapetaka yang maha dahsyat, bukan sebuah insiden biasa.
Ia mengatakan tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, telah mencemari 90.000 km2 berdasarkan hasil temuan Komisi Penyelidik Montara bentukan Pemerintah Federal Australia.
“Pencemaran ini telah berdampak pada kehidupan sosial ekonomi ratusan ribu masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur yang menjadikan Laut Timor sebagai ladang kehidupannya,” katanya.
Tanoni menambahkan YPTB telah memiliki sebuah hasil penelitian independen yang menunjukkan bahwa petaka tumpahan minyak Montara telah merusak sebagian besar ekosistem di perairan Indonesia dan telah menimbulkan kerugian sosial ekonomi masyarakat pesisir sebesar Rp16,59 triliun per tahun atau sekitar 1,7 miliar dolar AS per tahun. (Marwan Azis).