
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Lawatan pertama Perdana Menteri Jepang yang baru, Ishiba Shigeru, ke Indonesia pada Sabtu, 11 Januari 2025, menyorot perhatian publik. Meski membawa harapan baru, agenda kerjasama yang ditawarkan dalam kunjungan ini justru melanjutkan program-program lama yang dinilai merusak lingkungan hidup dan komunitas di Indonesia.
Dalam konferensi pers bersama Presiden RI, Prabowo Subianto, PM Ishiba menegaskan komitmen Jepang dalam mendukung dekarbonisasi energi di Indonesia, termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh melalui skema Asia Zero Emission Community (AZEC). Selain itu, kerjasama terkait hidrogen, amoniak, biofuel, dan pertambangan mineral kritis juga menjadi sorotan.
Namun, langkah ini dianggap kontroversial. AZEC telah menjadi sorotan sejak Agustus 2024, ketika 41 organisasi masyarakat sipil di Indonesia menandatangani petisi menolak implementasinya. “AZEC hanya memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan solusi palsu yang mengancam lingkungan serta hak-hak masyarakat,” ujar Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI di Jakarta (14/01/2025).
PLTP Muara Laboh: Potret Kerusakan dan Pelanggaran
Proyek PLTP Muara Laboh, salah satu inisiatif AZEC, telah meninggalkan jejak buruk. Pembebasan lahan secara paksa, pencemaran lingkungan yang menyebabkan gagal panen, dan ancaman kesehatan akibat gas beracun menjadi keluhan masyarakat setempat. Selain itu, perubahan bentang alam yang disebabkan proyek ini memperparah risiko banjir di daerah sekitar.
Proyek ini didukung oleh perusahaan Jepang seperti INPEX dan Sumitomo Corporation, dengan pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI). WALHI menyerukan penghentian pendanaan Tahap 2 proyek ini demi mencegah perluasan dampak buruk terhadap lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Dekarbonisasi” atau Ilusi?
PM Ishiba juga mempromosikan teknologi hidrogen, amoniak, dan biofuel sebagai solusi transisi energi. Namun, Fanny menilai pendekatan ini tidak efektif. “Teknologi ini belum mapan, mahal, dan tidak membantu pencapaian target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris. Justru, proyek ini memperburuk deforestasi akibat tambang mineral kritis yang mendukungnya,” jelasnya.
WALHI mencatat bahwa 1,3 juta hektar konsesi tambang mineral kritis di Indonesia berbatasan langsung dengan kawasan hutan, mempercepat laju deforestasi. Upaya dekarbonisasi yang mengorbankan lingkungan dan komunitas justru menciptakan kontradiksi dalam perjuangan melawan perubahan iklim.
Seruan untuk Transisi Energi yang Adil
Melihat ancaman nyata dari proyek-proyek ini, WALHI menyerukan pemerintah Jepang dan Indonesia untuk membatalkan inisiatif yang memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan solusi palsu. “Kita membutuhkan transisi energi yang cepat, adil, dan inklusif, dengan partisipasi penuh masyarakat lokal,” tegas Fanny.
Keberlanjutan lingkungan dan keselamatan komunitas harus menjadi prioritas dalam kerjasama bilateral. Jika tidak, upaya menuju dekarbonisasi hanya akan menjadi janji kosong yang meninggalkan jejak kerusakan.
Dukung jurnalisme lingkungan hidup dengan berbagi informasi ini dan berpartisipasi dalam gerakan perlindungan lingkungan.