Petani Bersuara, Negara Merespons: Audit Plasma Perkebunan Dimulai!

Berita Lingkungan Environmental News Pertanian Terkini

Ilustrasi pekerja perkebunan sawit. Foto : stabilitas.id

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Upaya pembaruan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendapat angin segar. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyambut baik langkah progresif Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menaikkan kewajiban alokasi kebun plasma dari 20% menjadi 30% serta berencana melakukan audit menyeluruh atas pelaksanaannya.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk nyata keberpihakan negara terhadap petani dan masyarakat desa dalam skema reforma agraria, khususnya di wilayah perkebunan skala besar.

“Kenaikan alokasi plasma adalah kabar baik bagi petani. Ini bisa menjadi jalan keluar dari ketimpangan penguasaan tanah yang akut di pedesaan,” ujar Sabarudin, Ketua SPKS kepada Beritalingkungan.com (22/05/2025).

Menurut Sabarudin, selama ini implementasi alokasi plasma seringkali jauh dari harapan. Tak hanya persoalan kuantitas yang tak terpenuhi, realisasi manfaat ke masyarakat desa pun rendah.

Ia mendorong agar regulasi dari Kementerian ATR/BPN menjadi payung hukum utama yang berlaku lintas sektor, termasuk sektor kehutanan dan pertanian.

Tumpang Tindih Aturan, Ketidakpastian di Lapangan

Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah adanya perbedaan aturan antar kementerian terkait alokasi plasma. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyulitkan pengawasan.

“Seharusnya, kebijakan alokasi plasma sebagai bagian dari reforma agraria tidak direduksi hanya menjadi bentuk kemitraan usaha. Tapi juga menyangkut hak rakyat atas tanah,” tegas Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch.

Ia mengungkap bahwa banyak perusahaan berdalih tidak tersedia lahan atau menyalahkan status lahan dalam kawasan hutan sebagai alasan untuk menghindari kewajiban plasma.

Padahal, Peraturan Presiden tentang Percepatan Reforma Agraria sudah menegaskan pentingnya alokasi tanah bagi masyarakat sebagai bagian dari pemberian Hak Guna Usaha (HGU).

Audit sebagai Momentum Perubahan

Gunawan, Penasihat Senior IHCS, menyebut rencana audit dari Kementerian ATR/BPN ini sebagai momentum strategis untuk menertibkan kemitraan usaha perkebunan dan memastikan hak rakyat tidak diabaikan.

“Tuntutan masyarakat atas kejelasan kebun plasma terus bergema di berbagai daerah. Ini sinyal bahwa masalahnya serius, dan negara tidak boleh tinggal diam,” ujarnya.

Dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Perkebunan, perusahaan perkebunan wajib menyisihkan sebagian hak atas tanah mereka untuk kebun masyarakat. Ukuran ini tak lagi bersifat sukarela, melainkan harus terukur dan dapat diawasi secara hukum.

Reforma agraria bukan hanya janji, tapi harus menjadi komitmen lintas kementerian dan keseriusan politik. Langkah audit dan kenaikan alokasi kebun plasma ini adalah awal yang baik, namun masih panjang jalan menuju keadilan agraria yang sejati. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan petani harus terus diperkuat demi perkebunan sawit yang lebih adil, lestari, dan berpihak pada rakyat (Marwan Aziz).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *