Ilustrasi petani. Photo: WFP/Henry Bongyereirwe
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Perubahan iklim berdampak luas pada sektor kehidupan termasuk mengancam ketahanan pangan. Peringatan ini disampaikan pihak BMKG.
“Organisasi pangan dunia FAO bahkan memprediksi tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim, sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati ketika menyampaikan keterangan pers di Jakarta, Selasa (11/7).
Menurutnya, aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan dengan menekankan di tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial, dan ekosistem atau bentang alam. “Langkah-langkah strategis harus dilakukan guna mencegah risiko yang lebih fatal,” katanya dalam acara Blended Training of Trainers on Climate Field School for Colombo Plan Member Countries, Senin kemarin.
Dwikorita memaparkan seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, krisis air, dan lain sebagainya. Karenanya, perlu tindakan konkret seluruh negara untuk menekan laju perubahan iklim ini.
Berdasarkan laporan yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) atau Organisasi Meteorologi Dunia, kata Dwikorita, disebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat keenam tahun terpanas dunia.
Periode 2015-2022 menjadi delapan tahun terpanas dalam catatan WMO. Pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
Sementara itu, di Indonesia berdasarkan pengamatan yang dilakukan BMKG dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu permukaan rata-rata pada tahun 2022 lebih tinggi 0,9 derajat Celcius dibandingkan tahun 1981-2010, menandakan fenomena peningkatan suhu juga terjadi secara lokal dan global.
Dwikorita menyampaikan pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi, durasi dan intensitas bencana hidrometeorologi, salah satunya adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang ekstrim, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.
“BMKG terus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Di sektor pertanian, BMKG rutin menggelar sekolah lapang iklim (SLI) dengan sasaran penyuluh pertanian dan petani dari berbagai komoditas unggulan. Langkah ini juga untuk memperkuat literasi cuaca dan iklim mereka,” tuturnya (Ant/BL)