Ilustrasi lahan basah di Indonesia.
BARCELONA, BERITALINGKUNGAN.COM– Sebuah penelitian internasional yang dipimpin oleh peneliti dari Universitas Otonom Barcelona (UAB), Ariane Arias-Ortiz, telah mengungkap prediksi yang lebih baik tentang emisi gas metana di lahan basah pasang surut.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Global Change Biology ini menganalisis fluks gas metana di lebih dari 100 lahan basah di Amerika Serikat. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor lingkungan kunci yang mempengaruhi emisi metana, serta menyediakan data standar yang lebih luas untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca di ekosistem tersebut.
Lahan basah pasang surut memiliki peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, melindungi dari erosi, dan mendukung kegiatan perikanan.
Selain itu, lahan basah ini juga membantu menyerap karbon dioksida dari atmosfer serta memperlambat dekomposisi bahan organik di tanah yang kaya kelembaban dan miskin oksigen.
Namun, kondisi ini juga memicu pelepasan metana, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dalam menjebak panas dibandingkan karbon dioksida. Oleh karena itu, prediksi yang akurat mengenai emisi metana di lahan basah pasang surut sangat penting untuk memahami dampak iklim dari restorasi atau degradasi lingkungan alam ini.
Dalam penelitian tersebut, tim peneliti menganalisis data fluks metana di 109 lahan basah pasang surut, dengan fokus pada faktor-faktor seperti iklim, vegetasi, dan komposisi kimia air yang terperangkap dalam sedimen.
Hasilnya menunjukkan bahwa salinitas merupakan faktor dominan—lahan basah yang lebih asin cenderung menghasilkan emisi metana yang lebih rendah, sementara lahan basah air tawar memiliki emisi yang lebih bervariasi. Emisi metana yang lebih tinggi ditemukan pada lahan basah yang lebih hangat dan yang sering terendam.
Penelitian ini juga menemukan bahwa variasi musiman dalam emisi metana dipengaruhi oleh suhu—semakin tinggi suhu, semakin besar emisi yang dihasilkan.
Selain itu, aktivitas fotosintesis tanaman juga mempengaruhi produksi metana, dengan aktivitas akar yang merangsang mikroba penghasil metana. Di lahan basah dengan aktivitas pasang surut yang signifikan, emisi metana terbesar terjadi setelah setiap air surut, ketika gas yang tersimpan dilepaskan secara berkala.
Ariane Arias-Ortiz menjelaskan bahwa pemahaman tentang emisi metana di lahan basah pasang surut sangat penting untuk memperbaiki model iklim dan mencapai tujuan lingkungan. “Emisi metana memiliki dampak besar, dan memprediksi emisi ini penting untuk memperbaiki inventaris gas rumah kaca nasional dan global,” ujar Ariene seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman uab.cat (06/09/2024).
Penelitian ini juga memiliki implikasi signifikan dalam upaya restorasi lahan basah pesisir, yang semakin diminati sebagai solusi untuk mitigasi perubahan iklim. Lahan basah pasang surut dapat menyerap karbon dioksida lebih banyak per unit luas tanah dibandingkan ekosistem lainnya, seperti hutan darat.
Dengan data yang lebih lengkap dan standar, penelitian ini membantu menyempurnakan estimasi emisi metana di lahan basah dan memperbaiki simulasi gas rumah kaca di skenario iklim masa depan. Penelitian ini juga memberikan panduan praktis dalam menilai apakah emisi metana di suatu lahan basah cukup signifikan untuk dimasukkan dalam inventaris gas rumah kaca dalam proyek mitigasi emisi.
Penelitian ini dipimpin oleh Ariane Arias-Ortiz dari Departemen Fisika UAB dan melibatkan kontribusi penting dari para ahli dari berbagai institusi, termasuk Jaxine Wolfe dari Pusat Penelitian Lingkungan Smithsonian dan anggota Kelompok Kerja Metana Jaringan Karbon Pesisir (Marwan Aziz)