JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan mengatakan kegiatan operasi penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 semakin marak. “Oleh karena itu, perlu diikuti dengan peningkatan pengawasan aspek ketenagakerjaan terutama bagi mereka yang bekerja di kapal ikan,” katanya.
Saat ini terjadi banyak pelanggaran tenaga kerja perikanan di WPP 718 yang merugikan hak-hak pekerja. Rencana pemerintah untuk menerapkan sistim kontrak di WPP 718 dikhawatirkan akan menimbulkan eksploitasi tenaga kerja perikanan, karena instrumen perlindungan pekerja perikanan domestik belum secara holistik mengatur hal tersebut. Kewenangan masih terfragmentasi di Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat sampai saat ini terdapat 26 pengaduan pekerja perikanan domestik yang dilaporkan kepada pemerintah. “Selain itu, 76 orang korban pekerja perikanan yang mayoritas adalah Awak Kapal Perikanan domestik yang melaporkan dugaan pelanggaran aspek ketenagakerjaan ” kata Abdi.
Dari 26 pengaduan tersebut, 12 kasus terjadi di WPP 718 dengan jumlah korban yang cukup banyak. Adapun kasus pelanggaran ketenagakerjaan di WPP 718 meliputi: asuransi, gaji, penipuan, penelantaran dan bantuan fasilitasi pemulangan. “Laporan ini mengindikasikan bahwa kegiatan tata kelola perikanan belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pekerja perikanan,” ujarnya.
Abdi menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan Permen KP No 33/20021 tentang Tata Kelola Awak Kapal Perikanan namun beleid tersebut belum sepenuhnya menjawab masalah perlindungan awak kapal perikanan.
“Salah satu yang tidak diatur dalam Permen tersebut adalah tentang pelaksanana inspeksi awak kapal perikanan yang menjadi ranah Kemenaker, sementara sejauh ini Kemenaker belum juga mengeluarkan aturan tentang pengawasan pekerja perikanan” kata Abdi.
Oleh karena itu, dirinya meminta agar Menteri Kelautan dan Perikanaan dan Menteri Tenaga Kerja perlu segera mengeluarkan aturan tentang inspeksi bersama awak kapal perikanan. “Perlu dilakukan inspeksi bersama untuk mencegah eksploitasi pekerja perikanan terutama ABK yang bekerja di laut Arafura” katanya.
Peneliti DFW Indonesia Imam Trihatmadja mengatakan, banyaknya pelanggaran ketenagakerjaan yang terjadi selama ini, membuktikan bahwa pelaku usaha perikanan belum sepenuhnya patuh pada ketentuan UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan.
“UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya tidak secara spesifik memberikan mandat kepada Kemenaker untuk mengatur hal tersebut” ucapnya.
Akibatnya, sampai saat ini, urusan pelanggaran tenaga kerja perikanan telah menimbulkan kebingungan akan diselesaikan oleh kementerian apa. “Sejauh ini kami melaporkan pelanggaran ke KKP karena izin usaha penangkapan ikan dikeluarkan KKP, padahal pengawasan ketenagakerjaan mestinya oleh Kemenaker” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)