Suasana putaran diskusi bulanan jurnalis lingkungan kerjasama KLH-SIEJ (21/2). Foto : Marwan Azis /Beritalingkungan.com |
“Karena dengan melaksanakan 3R dalam pengelolaan sampah dapat mengurangi emisi gas metana (CH4), yaitu salah sat gas rumah kaca (GRK) yang daya rusaknya terhadap lapisan ozon 21 kali lebih kuat dibanding karbondioksida (CO2),”kata Dra. Masnellyarti Hilman, MSc dari Deputi IV KLH Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3 Kementerian lingkungan Hidup (KLH) dan Sampah dalam diskusi Hari Peduli Sampah (21/2) kerjasama KLH dan Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).
Lebih jauh Nelly menjelaskan, secara umum pola penanganan sampah di Indonesia hanya melalui tahapan paling sederhana, yaitu kumpul, angkut, dan buang. Selama puluhan tahun pola penanganan tersebut telah berlangsung dan terpateri menjadi kebijakan yang umum dilaksanakan pemerintah.
Pada 8 Mei 2008, pemerintah telah menetapkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengubah paradigma menjadi pengurangan di sumber (reduce at source) dan daur ulang sumberdaya (resources recycle).
Meskipun pelaksanaan prinsip kelola sampah dengan 3R sudah lama menjadi kebijakan pemerintah, namun Nelly mengakui penerapan belum menjadi budaya dan kebiasaan orang kebanyakan. Salah satu kendala utama penyebab rendahnya tingkat guna ulang, daur ulang, dan pemanfaatan sampah adalah masyarakat kita tidak terbiasa memilah sampah, baik di sumber maupun di tempat penampungan sementara.
“Padahal para ahli dan praktisi 3R meyakini bahwa penentu 50% keberhasilan kegiatan daur ulang adalah ditentukan oleh pemilahan sampah,”ujarnya.
Nelly memberi contoh, keberhasilan Jepang dalam daur ulang di tingkat rumah tangga yang mencapai 70-80% ditentukan oleh sangat baiknya prosedur pemilahan dan pengumpulan sampah yang dilakukan masyarakat. Di Jepang umumnya sampah dipilah menjadi sampah yang dapat didaur-ulang (recyclable) seperti PET botol dan kaleng minuman (can), kertas, serta yang dapat dibakar (combustible).
Namun Pemerintah Yokohama City membuat buku panduan kepada warganya bagaimana memilah sampah yang luarbiasa rinci hingga 518 jenis.
Sama halnya dengan Jerman. Pada 1990, Jerman hanya mampu mendaur-ulang sampah hanya 13% terbatas pada jenis bio-waste, kertas, dan gelas. Tahun 2004 angka persentase daur ulang meningkat tajam menjadi 56%. Sukses tersebut dihasilkan karena Jerman menambah satu item sampah wajib pilah, yaitu kemasan, dan menjalankan prosedur pemilahan dengan ketat dan konsisten.
Nelly menggungkapkan, praktek bank sampah di Indonesia baru mulai dikembangkan di Kabupaten Bantul Dl Jogjakarta yang dipelopori oleh Bambang Suwerda merupakan cerita sukses orang Indonesia memilah sampah. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah.
“Dengan menyamakan sampah serupa uang atau barang berharga yang dapat ditabung, masyarakat akhirnya terdidik untuk menghargai sampah sesuai jenis dan nilainya,”tandasnya.(Marwan Azis).