Gunung Talamau. Foto : Jeksen Simanjuntak. |
Bagi mereka yang gemar wisata petualangan; mendaki gunung, mencoba keeksotisan gunung ini pasti memberi kesan tersendiri. Kawasan hutan yang masih perawan ditingkahi kicauan burung berpadu indah dengan puluhan telaga yang terserak di kawasan puncak, membuat perjalanan panjang ini terasa tak sia-sia.
Saat tawaran menjajal keelokan gunung ini datang, rasa was was mucul dalam hati. Pasalnya, gunung tertinggi di Sumatera Barat ini terkenal angker dan tidak banyak orang yang pernah menggapai puncaknya. Apalagi, keberadaan harimau Campo, yang disebut-sebut menjadi penguasa tempat ini, konon kerap terlihat, saat pendaki tiba di puncak.
Gunung yang terletak di di Desa Pinagar Kabupaten Pasaman Barat ini, merupakan satu dari beberapa gunung yang mempunyai panorama alam menarik di daerah Minang Kabau. Dengan ketinggian 2982 mdpl menjadikannya sebagai laboratorium alam terlengkap sebagai kawasan hutan hujan tropis yang kaya dengan aneka sumberdaya alam.
Untuk mencapai gunung ini bisa dilakukan dari beberapa arah, baik dari arah Rau (baca: Perbatasan Sumut-Sumbar) maupun dari Padang-Sumbar. Kebanyakan para pendaki memulainya dari Terminal Bingkuang-Padang. Dengan menaiki bus jurusan Padang – Pasaman (seperti; PO. Mandala, PO Persada), kita bisa tiba di kaki gunung dengan merogoh kocek sebesar Rp. 11.000/ orang (baca; tahun 2000).
Gunung Talamau. Foto : Istimewa. |
Berhubung pintu rimba (baca: jalan masuk) yang dikenal para pendaki hanya dari Desa Pinagar (320 mdpl). Kami pun memulainya dari tempat itu. Desa berpenduduk 300 kk tersebut berada di pinggir jalan berjarak ±179 km dari Padang.
Setibanya di Desa Pinagar, biasanya para pendaki akan ditawarin peta tematik sebagai penunjuk arah oleh penduduk. Walau kelihatannya aneh, -karena bukan peta topografi-, ternyata benda ini cukup membantu menggapai puncak, pasalnya tanda penunjuk arah mirip dengan kondisi sebenarnya.
Setelah semua dirasa beres, perjalanan segera dimulai. Inilah awal petualangan yang sesungguhnya. Dalam setiap pendakian, kondisi awal pasti menyiksa. Bagaimana tidak, rute yang lebar dan mulai menanjak, memaksa kami harus berjalan kaki selama 4 jam dengan beban ±25 kg. Membuat butir-butir keringat mengalir begitu cepat.
Tujuan berikutnya adalah Pondok Bang Danil. Danil adalah pendaki pertama yang berhasil menggapai puncak Talamau di tahun 1985. Berhubung dia penduduk lokal, pemerintah setempat mempercayakan pengelolaan kawasan ini kepadanya. Itu sebabnya, setiap pendaki harus mendaftar disini, jika ingin mencapai puncak.
Di pondok ini, kita harus membayar retribusi plus asuransi pendakian sebesar Rp. 5000/ orang (baca: bisa jadi sekarang terjadi perubahan), dan sebagai kenang-kenangan kita akan diberi cendramata oleh bang Danil.
Untuk mendaki gunung ini ternyata tak mudah, ada banyak syarat dan pantangan yang harus diperhatikan. Untuk syarat yang harus dipenuhi, antara lain; KTP/ SIM, surat ijin dari orang tua dan surat ijin dari organisasi, –jika dia punya organisasi pencinta alam–. Semua surat-surat tadi di perlihatkan saat mendaftar. Selain itu, perlengkapan dan logistik yang dibawa akan di data jumlahnya. Ini perlu, untuk mengetahui jumlah sampah yang akan dibawa turun. Di tempat ini, sama seperti Gunung Gede-Pangrango di Jawa Barat, setiap sampah wajib dibawa turun. Aturan tersebut perlu untuk menjaga gunung ini tetap lestari.
Sedangkan larangan yang berlaku di gunung ini cukup banyak, antara lain: tidak dibenarkan merusak flora dan fauna, tidak dibenarkan membawa alat-alat musik, tidak dibenarkan membawa sabun/bahan-bahan yang bisa mencemari sumber air, tidak dibenarkan membawa minuman keras, tidak diijinkan berpencar-pencar, tidak diijinkan pendaki putra dan putri tidur dalam satu tenda, tidak boleh berteriak-teriak/bernyanyi keras, tidak boleh menyalakan api di daerah yang rawan kebakaran, tidak boleh memasuki kawasan telaga seperti mandi, mencuci, kecuali mengambil air untuk minum dan memasak, dilarang keras melakukan tindakan vandalisme, dilarang keras membuang kotoran disembarang tempat.
Sebuah Proses.
Di Indonesia, gunung-gunung terletak dalam satu rangkaian yang mengikuti garis lengkung dari Pulau We (Aceh) sampai ke Indonesia bagian timur. Gunung berapi ini tidak hanya menyebar di daratan, namun sampai ke dasar laut. Selanjutnya gunung-gunung tersebut tersebar di sepanjang nusantara.
Sebagai cikal bakalnya, semua bermula dari kerak bumi, yang di dalamnya terdapat sepuluh lempengan utama, yaitu: Lempeng Afrika, Lempeng Antartika, Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Amerika Utara, Lempeng Amerika Selatan, Lempeng Pasifik, Lempeng Cocos, Lempeng Nazca, lempeng India.
Lempeng-lempeng tersebut selalu bergerak. pergerakan antar lempeng-lempeng, merupakan tempat-tempat yang memiliki kondisi tektonik yang aktif dengan daya yang begitu besar, menyebabkan misalnya; gempa bumi, gunung berapi dan pembentukan dataran tinggi, seperti diungkapkan Bas Hansen dari University of New South Wales. Proses ini secara perlahan mengeluarkan batuan yang telah lama terkubur dan memusnahkan yang lainnya selama berjuta-juta tahun
Ketika dua lempengan saling bertubrukan, salah satunya biasanya akan menerobos di bawah lempengan yang kedua. Lempengan kedua yang berada bagian atas terdorong ke atas sehingga membentuk punggung gunung. Pada saat bersamaan, lempengan yang berada di bawah terus menembus, menghujam ke bawah, dan membentuk perpanjangan yang jauh ke dalam bumi. Ini berarti gunung memiliki semacam akar berupa perpanjangan yang menancap dan menghujam ke dalam bumi. Bagian ini sama besarnya dengan punggung gunung yang tampak menjulang tinggi di atas permukaan bumi. Dengan kata lain, gunung tertancap dan mengakar kokoh pada bagian kerak bumi yang disebut mantle (jaket).
Dengan cara ini, gunung mencegah kerak bumi bergerak atau bergeser secara terus-menerus di atas lapisan magma atau di antara lapisan-lapisannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung sebagaimana paku atau pasak yang menancap dan mencengkeram lembaran-lembaran papan kayu dengan erat dan kokoh. Kerak bumi yang bersifat mudah bergerak ini diredam oleh gunung, sehingga mampu mencegah guncangan hingga batas tertentu
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Research Center for Geotechnology The Indonesian Institute of Sciences), pembentukan Gunung Talamau berasal dari berbagai jenis batuan, yaitu batuan vulkanik produk Galau Talamau, yang dari Major Elemen menunjukkan batuan beku di kawasan itu dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu basa (basalt), menengah (andesit), agak asam (dasit), dan granit (asam).
Rute Perjalanan
Bagi pendaki yang baru tiba di posko pemeriksaan (Posko Pondok Bukik Harimau Campo; red), di ketinggian 710 mdpl, istirahat sejenak terasa begitu berarti. Apalagi tidak jauh dari lokasi ini bisa ditemukan sebuah air terjun yang cukup besar bernama air terjun Puti Lenggo Geni dengan tinggi 109 m. Lumayan, bisa melepas lelah sambil menikmati deburan air terjun.
Berhubung hari mulai senja, perjalanan di hentikan sementara. Tim memutuskan menginap disana. Berkumpul sambil bersenda gurau, menenggak coklat susu sambil melingkari api unggun yang mulai menyala, membuat suasana begitu akrab.
Keesokan paginya, selepas sarapan dan berbenah, petualangan dilanjutkan kembali. Tujuan selanjutnya adalah Pondok Rindu Alam, terletak di ketinggian 1100 mdpl. Jalur pendakian yang mulai menyempit dengan sekerumunan pacat pun mulai menampakkan diri. Walau ukuran mahluk penghisap darah ini kecil, tetapi tetap saja merepotkan. Selain bentuk yang menjijikkan, jumlahnya yang banyak, membuat pendaki enggan berlama-lama.
Dalam waktu 3 jam perjalanan, pos tersebut berhasil dicapai. Dari pos yang tidak berbentuk pondok ini, kita dapat mendengar suara aneka jenis burung. Kicauannya yang bersahut-sahutan terdengar begitu indah. Dari pengamatan sekilas, terlihat beberapa jenis burung, seperti: rangkong (Buceros rhinoceros), sempidan sumatera (Lophura inornata), burung alap-alap (Black-thighed Falconet), ayam hutam merah (Red Junglefowl). Selain itu, di sebelah pondok kita dapat menemukan sungai kecil. Disinilah para pendaki mengisi kembali pundi-pundi airnya.
Saat istirahat dirasa cukup, perjalanan kembali di lanjutkan. Rute yang mulai menanjak dengan rapatnya polulasi tanaman hutan dari famili Dipterocarpaceae, seperti; tumbuhan kemaduh (Laportea stimulans), markisa (Passiflora sp.), sirsak (Annonaceae), senggani (Melastoma sp.) membuat jalur mulai samar dan sering terputus putus. Untuk itu kewaspadaan diperlukan agar tidak tersesat. Tak terasa setelah 3 jam berjalan dengan tempo lambat, akhirnya kita tiba di Pos Bumi Sarasah (1860 mdpl). Pos ini dinamakan demikian, karena banyaknya serasah hutan berpadu dengan tanaman perdu.
Berhubung suasana mulai gelap, tim memutuskan untuk nge-camp di tempat ini. Selain jarak pandang yang mulai terbatas akibat turunnya hujan dan kabut tebal, kondisi badan pun sudah melemah. Istirahat menjadi pilihan yang logis. Apalagi, sumber air yang tak terlalu jauh dari pos, membuat perasaan begitu nyaman. Tak perlu takut kehabisan air.
Keesokan paginya, saat badan kembali bugar, perjalanan menuju puncak digelar kembali. Dengan semangat empat lima, tim memulai pendakian. Kalau kemarin, populasi tumbuhan hutan (baca: sangat rapat dan tinggi) begitu mendominasi, berbeda dengan kawasan ini. Disini tumbuhan hutan diwakili famili lauraceae dan podocarpaceae, yang tumbuh merana dan diselubungi lumut. Di ketinggian ini, kondisi yang benar-benar lembab membuat pakaian yang melekat langsung basah saat melaluinya.
Dalam kawasan yang plasmanuftahnya melimpah, keberadaan hewan penunggu kawasan ini, kerap terlihat saat pagi dan sore hari. Pasalnya, disaat-saat tersebut, mereka turun mencari minum di sumber air. Adapun binatang yang sering terlihat, antara lain: babi jenggot (Sus barbatus), musang leher kuning (Martes flavigula), owa (Hylobates muelleri), lutung dahi putih (Presbytis frontata), bajing tiga warna (Callosciurus prevostii), dan tupai gunung (Tupaia montana), beruang madu (Helarctos malayanus), musang belang (Hemigalus derbyanus), kucing batu ( Felis marmorata), rusa (Cervus unicolor) dan macan dahan (Neofelis nebulosa) yang sering disebut sebagai harimau Campo oleh masyarakat setempat.
Dengan perlahan, satu persatu anggota tim berhasil menapak di Pos Peninjauan, berjarak 2,5 jam perjalanan. Rute ke tempat ini lebih curam dibanding sebelumnya. Seringkali kita harus menggunakan tangan untuk membantu naik. Pasalnya, selain jalannya kecil, medan yang begitu licin, sering menyulitkan, jika tak hati-hati. Seperti sebelumnya, setiap pos punya pemaknaan tersendiri. Tempat ini bernama “peninjauan”, artinya kita bisa melepas pandang ke sekeliling. Dari sini, aroma puncak mulai kental terasa. Tumbuhan perdu dengan hawa dinginnya, membuat kami tak ingin berlama-lama.
Lepas dari istirahat tadi, perjalanan tahap akhir segera di mulai. Tujuan kali ini adalah Padang Siranjano (2880 mdpl), yang banyak kalangan menyebutnya “Basecamp Rajawali Putih”. Dengan berjalan kaki sekitar 75 menit, kita bisa sampai disana. Lokasinya sangat terbuka dengan luas ± 40 ha. Hanya decak takjub yang bisa kami ucapkan. Akhirnya, semua penat dan beban dilampiaskan dengan masak dan mendirikan tenda, tak jauh dari telaga yang memang banyak di kawasan ini. Dari sini juga puncak sejati Gunung Talamau tampak berdiri kokoh.
Berdasarkan informasi dari Bang Danil (baca: pengelola), kabarnya ada 13 telaga tersebar di tempat ini, yaitu: Talago Puti Sangka Bulan,Talago Tapian Sutan Bagindo, Talago Tapian Puti Mambang Surau, Talago Siuntuang Sudah, Talago Puti Bungsu, Talago Rajo Dewa, Talago Satwa Talago Lumuik, Talago Biru, Talago Mandeh Rubiah, Talago Imbang Langik, Talago Cindua Mato, dan Talago Buluah Parindu.
Berhubung masih siang, tim berencana menuju puncak hari itu juga. Diperkirakan jaraknya tak terlalu jauh. Benar saja, selepas makan siang, tim mulai menapak jalur yang sedikit berputar mengelilingi telaga menuju arah puncak. Tak banyak kendala yang timbul, sehubungan jalur yang cukup jelas. Hanya butuh waktu 1 jam, puncak tertinggi di Sumbar ini berhasi dicapai. Ternyata puncaknya terdiri dari batu-batuan yang dihiasi rerumputan. Sungguh, tak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan kami saat itu. Kembali tak henti-hentinya, hanya ucapan syukur yang bisa kami panjatkan. Semua beban itu seakan sirna berganti haru yang meluap-luap.
Kabarnya, di puncak ini (baca: Tri Martha, 2982 mdpl) terdapat titik triangulasi (baca: titik ketinggian), yang seiring waktu patok beton tersebut hancur digerus jaman. Hanya sisa-sisanya yang bisa dinikmati. Jika diamati, ternyata kawasan ini memiliki 2 puncak lain dengan letaknya agak berjauhan, yaitu: Puncak Rajawali dan Puncak Puncak Rajo Dewa. Selain itu, telaga yang kabarnya ada 13, hanya beberapa yang bisa kita nikmati, itupun telah banyak yang tak berair lagi.
Saat sayup-sayup kulepas pandang agak keujung sana. Ternyata gunung-gunung yang letaknya jauh mulai terlihat, seperti; Gunung Talang, Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan gunung Tandikat, serta tak ketinggalan Gunung Pasaman (Puncak Rajo Imbang Langik) yang letaknya bersebelahan.
Ah.., puas rasanya bisa menjelajah ke tempat-tempat tinggi seperti ini. Selain bisa mengenal alam dan masyarakat, kita pun mampu menakar diri. Rasanya, benar yang diucapkan Soe Hok Gie, perihal kegilaannya mendaki gunung: “…hanya pemuda yang sehat jiwa dan raganya bisa menilai arti nasionalisme. Nasionalisme tidak timbul dari slogan-slogan dan hipokrisi. Nasionalisme timbul ketika kita dekat dengan alam dan masyarakatnya. Itulah sebabnya, mengapa kami mendaki gunung,” (Jeksen Simanjuntak)