Foto : Tim Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. |
Beberapa hari lalu tepatnya hari Selasa (18/10) saya menyusuri pesisir Lampung Selatan. Naik kayak di pagi hari mencumbu sungai yang tenang di Merak Belantung. Kiri kanan sungai yang bermuara di laut Kalianda itu tumbuh mangrove yang akarnya menancap pada tanah. Burung-burung liar seperti Raja Udang, Merpati hingga Elang Laut masih berkeliaran bebas. Suara nyanyian burung terdengar nyaring di balik dahan-dahan mangrove.
Saya mengayuh kayak dengan tenang. Menikmati suasana pagi yang cerah. Angin dari atas gunung dan dari arah laut menampar pada kulit dan wajah saya. Segar sekali. Namun aliran air mulai surut. Dan sesekali saya mesti berdiri dan mendorong kayak. Mangrove di sekitar tepian sungai ini masih tumbuh alami. Bunga-bunga mangrove mulai tumbuh di sela balik dedaunan. Sinar matahari masih bisa menembus pepohonan mangrove.
Saya semakin mengerti mengapa mangrove penting dan memiliki manfaat yang berguna bagi sistem ekologi alam. Mangrove tidak hanya menjadi benteng untuk menahan laju abrasi yang menggerus daratan. Tetapi mangrove juga adalah rumah bagi kehidupan alam; burung, kepiting, cacing, ular dan makhluk serangga lainnya.
Indonesia yang memiliki kepulauan sekitar 13 ribu lebih memiliki wilayah mangrove terluas di dunia. The World Atlas of Mangroves (2010) mencatat luas hutan mangrove saat ini mencapai 15 juta ha. 21 persen luas mangrove itu ada di Indonesia, sekitar 3,15 juta ha. Dan kemudian diikuti oleh Brazil, Nigeria, Meksiko dan Australia. Namun ancaman terhadap keberadaan mangrove ini masih besar. Dari mulai penebangan hingga pembukaan lahan untuk pembangunan dan sektor ekonomi pesisir.
Pembukaan tambak udang adalah salahsatu ancaman yang bisa menggerus keberadaan mangrove. Tambak udang membutuhkan lahan luas dan juga sumber air yang banyak. Sistem pengembangan tambak saat ini yang masih menggunakan pakan kimia bisa jadi ikut mencemari air. Sehingga bisa berdampak pada habitat ikan dan makhluk hidup lainnya.
Tambak udang bukan sesuatu yang diharamkan. Namun dengan penerapan praktik organik memungkinkan untuk membuka tambak udang yang lebih lestari dan berkelanjutan. Sebuah studi dari Wetlands International memperkirakan sekitar 3,2 juta ha hutan mangrove Indonesia berubah fungsi menjadi lahan tambak pada dasawarsa 1980-an saja.
Di atas kayak saya membayangkan pada perjalanan ketika menyusuri pulau-pulau di Indonesia dua tahun yang lalu. Saya melihat mangrove di sekitar 80 pulau di Indonesia. Mulai dari mangrove yang ada di pesisir Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara hingga ke Jawa lagi.
Secara umum, mangrove itu dalam kondisi yang masih tergolong baik. Di Mentawai, Aceh, Pulau Karimata, Teluk Lombok-Kalimantan Timur, Takabonerate, kepulauan Togean, Banda Neira dan pulau-pulau lainnya. Beberapa warga lokal juga memiliki inisiatif untuk merawat dan menjaga keberadaan mangrove tersebut. Bahkan mereka juga menikmati keuntungan ekonomi dengan cara melakukan pembibitan dan terlibat dalam proyek penanaman kawasan mangrove.
Para ahli ekologi percaya bahwa mangrove dunia saat ini bisa menyerap sekitar 20 juta metrik ton karbon dari udara. Mangrove berperan penting dalam mengurangi dampak pemanasan global. Sehingga pulau-pulau kecil tidak tenggelam. Dan kutub es tidak meleleh sehingga berdampak pada ketinggian gelombang air laut yang bisa melenyapkan pulau-pulau kecil itu. Sebuah studi menyebutkan tak kurang 2.000 pulau kecil Indonesia akan hilang dalam kurun 30 tahun.
“Hutan mangrove memberi ilustrasi paling gamblang mengapa manusia membutuhkan alam,” kata Mark Spalding, penyusun buku The World Atlas of Mangroves serta ilmuwan kelautan senior yang bekerja untuk The Nature Conservancy.
Di Bandar Lampung, saya bersama Miyara Sumatera bertemu dengan Profesor Ali Kabul Mahi, Kepala Tim Lampung Mangrove Center dari Universitas Negeri Lampung. Dia mengatakan hampir 90 persen kawasan mangrove di Lampung telah hilang. Saat ini luas mangrove di Lampung mencapai 2000 hektar. Lampung Mangrove Center berada di Lampung Timur. Luasnya mencapai 700 hektar.
Warga di Merak Belantung terikat dan membutuhkan keberadaan mangrove yang lestari. Setiap sore hari saya melihat anak-anak dan orang tua mereka mencari kerang dan ikan di tepi sungai. Kehilangan mangrove berarti kehilangan sumber makanan dan ekonomi bagi masyarakat lokal. Juga kehilangan akan kehidupan yang jauh lebih luas lagi.(Ahmad Yunus).
#Ahmad Yunus, penulis buku “Meraba Indonesia” (2011), jurnalis pengeliling Indonesia dalam ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, kini tinggal di Kalianda Lampung.