Oleh : IGG Maha Adi dan Marwan Azis*
Situasinya menuju hipernormalitas. Permintaan energi dunia, terutama minyak bumi pada semester pertama 2021 sudah melebihi periode yang sama tahun 2019 atau sebelum pandemi global Covid-19 dan diproyeksikan terus naik di tahun mendatang.
Beberapa institusi perminyakan seperti International Energy Agency dan Energy Information Administration sepakat bahwa tren rebound dalam konsumsi minyak dunia telah dimulai awal 2021.
Permintaan energi dunia yang turun pada 2020 bersifat temporer karena dampak pandemi global, dan pola ini sama dengan masa krisis keuangan global tahun 2008, dimana permintaan turun pada tahun puncak krisis lalu naik kembali setahun berikutnya melebihi permintaan periode pra-krisis.
Jadi, profilnya melebihi situasi normal baik dari sisi jenis energi yang sama, volume permintaan maupun produksi, atau ringkasnya telah terjadi situasi hipernormalitas. Proyeksi berbagai lembaga ini mudah dipahami karena satu alasan yang tidak terbantahkan sampai hari ini, yaitu belum tersedianya pilihan energi lain dalam volume yang cukup untuk menggantikan energi fosil yang sayangnya, tak terbarukan (non renewable energy).
Mesin-mesin ekonomi di seluruh dunia masih berputar oleh 85% minyak bumi, gas alam, dan batubara. Di Indonesia, sampai tahun 2020 yang lalu roda pembangunan digerakkan oleh 89,10% energi fosil dan hanya 10,9% yang dibangkitkan dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Seluruh posisi energi fosil ini memberikan sinyal lampu kuning yang mengkhawatirkan untuk Indonesia. Angka cadangan minyak dan gas alam yang disampaikan Kementerian ESDM, menyatakan di tahun 2020 ada cadangan minyak bumi pada kisaran 2,44 miliar barel yang akan habis dalam waktu 9,5 tahun mendatang dengan asumsi tingkat produksi sekitar 700 ribu barel per hari (bph). Cadangan gas alam lebih besar jumlahnya sekitar 43,6 triliun kaki kubik yang akan habis dalam 19,5 tahun. Dari sisi konsumsi, data SKK Migas tahun 2020 menunjukkan bahwa konsumen minyak bumi Indonesia menghabiskan 1,06 juta bph sehingga kesenjangan produksi yang hampir 30% itu harus digenapi dengan minyak impor.
Pemerintah juga tetap memberikan subsidi BBM kepada konsumen yang tahun lalu jumlahnya Rp 196,2 triliun atau 102% dari pagu anggaran yang ditetapkan, sedangkan nilainya untuk semester I tahun 2021 sudah mencapai Rp 34,3 triliun rupiah.
Di dalam angka ini belum dimasukkan subsidi untuk energi lainnya seperti listrik dan gas elpiji sehingga jumlahnya akan lebih besar. Akibatnya, kesenjangan defisit neraca berjalan (current account deficit) di APBN melebar, sehingga melemahkan investasi pembangunan untuk membiayai sektor-sektor yang lebih produktif sekaligus melemahkan daya saing produk nasional. Realitas dan realisasi anggaran ini membahayakan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi nasional yang sangat strategis untuk pertahanan nasional.
Paradigma Global
Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan potensi terbesar sumber daya EBT yaitu sedikit di atas 400 GW, dan baru dimanfaatkan 2,5% atau 10 GW saja. Pengembangan EBT ke tingkat 10% atau 20% dari potensinya, akan membutuhkan investasi yang besar, tawaran insentif yang jelas dari sisi konsumen, pembangunan infrastruktur energi, pengembangan industri penunjang di hulu dan hilir serta pencabutan subsidi BBM agar dapat bersaing dengan migas dan batubara.
Faktor yang berpengaruh kuat untuk mengarusutamakan EBT adalah keterkaitan pengembangannya dengan konservasi dan proteksi lingkungan hidup dan isu-isu kontemporernya. Jika kita mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau pembangkit mikrohidro (PLTMH), misalnya, maka prasyaratnya adalah menjaga hutan di daerah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai agar pasokan air di bendungan atau air terjun tidak surut sehingga mengganggu produksi listrik. Kualitas air pun harus dijaga tanpa sampah dan limbah, karena bila terjadi pencemaran maka mesin-mesin pembangkit akan rusak.
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) membutuhkan jumlah jam langit cerah selama mungkin setiap hari untuk memenuhi daya baterainya, oleh karena itu langit yang terpolusi emisi kendaraan atau oleh musim hujan berlebih karena dampak pergeseran musim, maka akan mengurangi daya panas matahari yang sampai ke permukaan panel.
Foto: The Jakarta Post.
Ini pula alasannya, PLTS mensyaratkan adanya upaya serius mengurangi emisi gas-gas rumah kaca terutama di perkotaan. Pengembangaan EBT juga dapat memberikan dampak tidak langsung berupa udara yang lebih sehat untuk manusia sehingga menurunkan biaya kesehatan akibat penyakit oleh polusi udara seperti ISPA, asma, pneumonia, bronchopneumonia, dan serangan jantung.
Faktor perubahan paradigma politik-ekonomi energi di tingkat global juga mempengaruhi pergeseran ke EBT, terutama pada sisi investasi dan konsumsi. Bank Dunia misalnya, yang tahun 2019 memutuskan berhenti membiayai sektor migas hulu, mulai memberikan pinjaman untuk pengembangan energi yang ramah lingkungan seperti panas bumi (geothermal) yang dua diantaranya ada di Indonesia.
Sejak 2010 Bank ini juga telah menghentikan pembiayaan langsung Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU Batubara). Bank Investasi Eropa (EIB) juga akan menghentikan seluruh pembiayaan proyek migas pada akhir 2021.
Keputusan EIB merupakan dukungan untuk Komisi Uni Eropa yang telah menetapkan kenaikan pengunaan EBT dari 20% pada 2019 menuju 40% pada 2030. Kenaikan 100% ini akan ditopang oleh produksi energi matahari, angin, dan biofuel yang sebagian berbahan dasar minyak sawit dan diimpor dari Indonesia dan Malaysia.
Perubahan paradigma global ini antara lain dihasilkan oleh kampanye dan advokasi yang kuat untuk mitigasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, mencegah deplesi keanekaragaman hayati dan dampak kerusakan hutan hujan tropis dan dihasilkan juga oleh kesepakatan internasional lingkungan hidup seperti Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) UNFCCC tahun 2015 oleh parlemen Indonesia, contohnya, adalah keputusan politik untuk bersama-sama dengan komunitas global mempertahankan kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi tidak melebihi 2 derajat Celcius pada 2050.
Keputusan politik ini berpengaruh pada kebijakan ekonomi energi Indonesia, terutama posisi migas dan batubara dalam menopang perekonomian nasional. Sejak 2009 pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi nasional 29-41% pada 2030, dimana 11% diantaranya dari sektor energi dan diharapkan sumbangan pengurangan emisi sektor energi terus meningkat mencapai 50% dari total emisi pada 2050.
Semua komitmen reduksi emisi gas-gas rumah kaca ini didukung oleh pengesahan UU No. 30 tahun 2017 tentang Energi, yang disusul penerbitan Peraturan Presiden No.22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan melalui RUEN inilah ditetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Di dalam KEN ini dinyatakan bahwa dalam bauran energi nasional, sumbangan minyak bumi tidak akan melebihi 25% tahun 2025 dan berkurang lagi menjadi maksimal 20% pada tahun 2050. Sedangkan gas bumi untuk periode yang sama masing-masing 22% dan 24% atau terjadi peningkatan, karena cadangannya yang masih relatif besar.
Investasi
Persoalan pengembangan EBT bersifat kompleks, dan menawarkan strategi parsial satu seri atau satu dimensi hanya akan membuat frustasi dan bete. Ini sebabnya, setidaknya ada tiga area/sisi yang perlu mendapatkan perhatian secara paralel yaitu sisi investasi energi, pembangkitan energi dan distribusi energi.
Titik tumpu di sisi investasi energi berada pada integrasi hulu dan hilir, sedangkan di dalam pembangkitan perlu memperhatikan kenyataan ekosistem dan geografi tropis Indonesia atau sebut saja ekotropika.
Di sisi distribusi energi yang dapat dianggap paling ideal untuk kondisi Indonesia adalah distribusi lokal dan menyebar karena sumber-sumber energi ini memang beranekarupa dengan kemampuan daya yang bervariasi dan tersebar di seluruh Indonesia.
Di sisi investasi, hambatan EBT relatif tinggi karena adanya risiko eksplorasi, ketidakjelasan insentif untuk beralih dari energi fosil, baik dari sisi produsen maupun konsumen, serta tingginya subsidi energi yang menurunkan nilai kompetitif EBT.
Investasi PLT Batubara hanya membutuhkan sekitar US$6 /MW, tetapi listrik dari kincir angin akan memerlukan US$1,2–2,2 juta/MW, sedangkan investasi 1 MW PLTS sekitar US$ 1 juta untuk menyediakan listrik nonstop bagi sekitar 200 rumah tangga, dan bila ukurannya lebih kecil maka nilai investasinya naik menjadi US$3-4 juta setiap 1 MW. Pemerintah Indonesia perlu secepat mungkin mengalihkan sebagian subsidi energi kepada investasi EBT.
Selama periode 2004-2014 kebijakan politik-energi nasional ini menyedot Rp 1000 triliun APBN, dan tahun 2020 realisasi subsidi energi yang mencakup BBM, LPG, dan listrik mencapai Rp 105,1 triliun. Nilai ini diproyeksikan naik setelah Pandemi Covid-19 selesai, karena meningkatnya aktivitas transportasi, pabrik, dan perkantoran.
Selain dana pengalihan subsidi energi, sumber investasi EBT dapat bersumber dari pinjaman lembaga keuangan seperti bank dalam negeri, Bank Dunia, ADB, EIB, maupun dana hibah. Bank Dunia telah memberikan pinjaman US$150 juta pada dua proyek geothermal di Sulawesi melalui skema Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) yang melengkapi hibah US$127,5 juta dari Green Climate Fund dan Clean Technology Fund. Ini berarti potensi pendanaan EBT di tingkat internasional cukup tinggi.
Keberhasilan investasi pengembangan EBT akan ditentukan oleh integrasi sektor hulu sampai ke hilir. Sektor pertambangan mineral di hulu yang memiliki nilai tinggi dalam pengembangan komponen dan perangkat EBT seperti pertambangan nikel, tembaga, aluminum, perak dan baja, harus diolah dan diserap oleh industri di dalam negeri.
Pemerintah perlu melanjutkan kewajiban pengolahan bijih mineral di dalam negeri bagi para kontraktor tambang dan memberlakukan domestic market obligation seperti pada industri migas, dimana kontraktor wajib mendahulukan kebutuhan pasar domestik pada tingkat tertentu dibandingkan pasar ekspor.
Sektor kehutanan dapat mengembangkan proyek Forest for Energy melalui Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan mengutamakan pemanfaatan lahan kritis bekas hutan di seluruh Indonesia atau melalui skema Perhutanan Sosial yang ditargetkan mencapai 12 juta ha.
Secara paralel sektor hilir harus digenjot untuk menopang EBT dengan pembangunan industri komponen seperti industri panel surya, baterai, catu daya, konverter, atau kincir angin. Di hilir pula pemerintah perlu mendirikan dan mendukung lebih banyak sekolah kejuruan, pendidikan vokasi, jurusan teknik yang berkaitan dengan industri ini.
Selain perangkat keras, pengembangan perangkat lunak (software) berupa pendidikan harus dirancang untuk menghasilkan pikiran-pikiran paling cerdas dan inovatif dalam menguasai sains EBT. Beasiswa perlu disediakan sebanyak mungkin kepada para siswa dan mahasiswa yang mempelajari sains dan teknologi energi di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia maupun di dalam negeri.
Beberapa perguruan tinggi teknik seperti ITB, ITS, atau IPB dapat diberikan dana APBN untuk mendirikan pusat-pusat pengembangan EBT dengan tujuan, target, dan output yang jelas. Sumber pendanaan pertama dan paling cepat akan bersumber dari APBN dan hibah luar negeri.
Ekotropika
Mempertimbangkan faktor ekotropika berarti memperhitungkan faktor kenyataan geologis dan geografis Indonesia di daerah tropis ke dalam penyusunan strategi pengembangan energi. Proses geologis telah membentuk Indonesia menjadi kawasan kaya gunung api sehingga potensi geothermal cukup tinggi dan tersebar di berbagai pulau.
Posisi geografi di antara dua benua dan dua samudra menjadikan Indonesia persimpangan angin musim (muson) timur dan barat, dan hujan yang cukup sehingga potensial untuk dipanen dengan kincir angin atau pembangkit energi gelombang. Indonesia juga berlimpah cahaya matahari setiap tahun karena tepat berada di garis katulistiwa (ekuator) di antara lintang tropis selatan (capricorn) dan utara (cancer) yang menjadikannya ideal untuk membangun PLTS.
Berada di kawasan tropis juga menyebabkan Indonesia mendapatkan curah hujan dan panas yang cukup sehingga menjadi habitat ideal untuk pertumbuhan mahluk hidup. Dampaknya adalah Indonesia menjadi negara mega diversity yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti hutan hujan tropis dengan kekayaan satwa dan tumbuhannya yang tertinggi di dunia.
Hutan Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai penghasil energi dari biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE) pada kawasan hutan produksi khusus atau hutan konversi, sedangkan tanaman jarak pagar dapat ditanam di lahan kritis. Baik HTE maupun biofuel jarak pagar telah dicoba dalam skala demonstration plot (demplot) di Maluku dan NTT tetapi tidak berkembang karena minimnya investasi dan tidak terintegrasi dengan pasar energi serta terlepas dari kebijakan energi nasional dan daerah.
Lokal dan Menyebar
Sumber daya geothermal Indonesia yang sebesar 28,9 MW itu tersebar di 312 lokasi terutama di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Hutan yang menjadi sumber air untuk PLTMH, PLTA, dan biofuel dari minyak sawit hasil konversi hutan, juga tersebar di hampir seluruh pulau besar dan kecil. Artinya, berbagai sumber energi ini tersebar di berbagai kawasan, dan ini pula alasan kenapa strategi distribusinya harus dengan pendekatan lokal dan menyebar.
Sentralisasi distribusi energi hanya meningkatkan potensi kehilangan dalam jalur distribusinya, dan banyak merugikan konsumen karena seringnya pemadaman atau putus pasokan energi akibat berbagai faktor.
Tri Mumpuni, seorang usahawan sosial dari Bogor, telah berhasil membangun pembangkit mikrohidro di tingkat komunitas pada 60 lokasi di seluruh Indonesia dan masih beroperasi sampai hari ini. Kebutuhan energi Kalimantan bisa dipasok biofuel karena kebun sawit terluas ada di sana, dan kelebihan produksi dapat dikapalkan ke daerah lain.
Nusa Tenggara adalah kawasan ideal untuk pengembangan biofuel dari tanaman jarak pagar karena bisa bertahan di lahan kritis minim air. Papua masih punya hutan yang luas dan sungai yang deras, begitu pula Sumatera yang masih memiliki banyak pilihan sumber EBT. Pulau Jawa harus mempertahankan hutannya jika tidak ingin kehilanngan lebih banyak air dan listrik saat musim kemarau.
Dari perkotaan ada pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), di mana saat ini 12 kota telah berpartisipasi dan satu diantaranya sudah berproduksi secara komersil yaitu PLTSa Benowo di Surabaya dengan kapasitas 12 MW yang dihasilkan dari pengolahan 1000 ton sampah perkotaan per hari. Tahun 2016, potensi energi sampah ini terhitung 2000 MW, namun sampai saat ini baru diproduksi tak lebih dari 3 persen.
Kelebihan energi yang dihasilkan oleh setiap sumber ini dapat ditawarkan kepada PLN melalui mekanisme harga feed in tarif yang diatur pemerintah lalu disambung dengan jaringan PLN terbangun (on grid), atau dapat mandiri dengan status terpisah (off grid) apabila hanya cukup untuk memasok energi di tingkat komunitas atau desa.
Foto : Ist.
Tahun 1905 dalam paragraf kesimpulan dari bukunya yang masyhur, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, sosiolog Jerman Max Weber dengan cemas menerka arah ekonomi dunia. Menurutnya, ekonomi modern akan menentukan gaya hidup setiap orang yang lahir di dalamnya, “sampai lima puluh liter terakhir bahan bakar fosil dibakar.”
Hari ini dunia masih tergantung pada energi fosil, tapi tidak akan lama lagi. Pesta membakar energi yang tak terbarukan seperti ditulis oleh Weber ini, pasti berakhir dan bila kita ingin melanjutkan kehidupan tanpa interupsi, maka saat paling tepat mengembangkan energi baru dan terbarukan adalah sekarang.***
*Penulis adalah editor Beritalingkungan.com