JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta Pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan sebagai jembatan antara masyarakat adat dan negara agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi, seperti yang dialami Effendy Buhing di Laman Kinipan Lamandau karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya.
“Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” ujar Rukka.
Sayangnya, draf RUU Masyarakat Adat masih jauh dari harapan, karena masih belum mampu menjawab permasalahan terkait masyarakat adat. “Perlu untuk menambahkan klausul restitusi dan rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pelanggaran hak masa lalu, yang bisa dilakukan lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan lembaga yang permanen,” pinta Rukka.
Selain itu, menurut Rukka, “penting untuk memastikan bahwa dalam RUU ini perlu mengatur perlindungan terhadap perempuan adat.”
Ruka juga meminta pemerintah untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hingga hak atas persetujuan dini tanpa paksaan.
Karena itu, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya, tak perlu menanti terbitnya Peraturan Daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap masyarakat adat.
Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan perlunya data terpilah berdasar etnis dan jenis kelamin, sehingga identifikasi eksistensi masyarakat adat menjadi jelas. “Selain itu, penting juga menambahkan hak kolektif perempuan adat secara spesifik dalam UU Masyarakat Adat,” ungkap Devi.
Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma meminta pemerintah melihat kembali TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memandatkan penyelesaian konflik agraria termasuk di wilayah masyarakat adat.
Sementara itu, Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyebut Permendagri No. 52 Tahun 2014 sebagai hasil kesepakatan lintas kementerian dan lembaga yang prosesnya difasilitasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada waktu itu.
“Permendagri itu kesepakatan untuk menerobos biaya yang sangat besar dan proses politik rumit di daerah, dengan cukup lewat SK Bupati atau SK Gubernur dalam penetapan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Maka seharusnya KLHK mengikuti kesepakatan itu,” kata Abdon.
“Selain itu, One Map Policy harusnya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Dengan One Map Policy, seharusnya tumpang tindih akan terlihat. Namun sayang One Map Policy saat ini menjadi tertutup, dan hanya bisa diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah,” tambah Abdon.
Belum lagi, menurut Abdon, wali data untuk wilayah adat sampai hari ini belum ada kejelasan. Karena itu, lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat diharapkan bisa memperjelas mekanisme penyediaan peta dan wali datanya
Hingga saat ini, wilayah adat yang telah dipetakan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 11,1 juta Ha. Peta itu sudah diserahkan kepada wali data di Kementerian terkait. Data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun masyarakat setempat.
“Ini membuktikan bahwa masyarakat adat sungguh-sungguh mendorong kebijakan satu peta sebagai dasar menata ulang pembangunan nasional yang selama ini penuh konflik, tumpang tindih ruang maupun kerusakan lingkungan” ungkap Deny Rahadian, Koordinator Nasional JKPP.
Untuk itu, Kepala Desk Politik WALHI Khalisah Khalid, menuntut Kementerian ATR/BPN mengedepankan prinsip transparansi dengan membuka data HGU dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah adat.
“Serta mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh korporasi,” kata Khalisah Khalid.
Terwujudnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi ruh dalam penyusunan RUU Masyarakat Adat yang seharusnya menjadi prioritas DPR saat ini. RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi CSO dan Masyarakat Sipil, bukan saja membantu DPR dalam proses penyusunan, melainkan proses membangun demokratisasi melalui pembentukan perundang-undangan yang lebih baik.
“Menunda-nunda pengesahan RUU Masyarakat Adat berarti negara gagal melindungi masyarakat adat. Pemerintah harus tahu adat dalam bernegara.” tegas Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. [Jekson Simanjuntak]
1 thought on “Koalisi Masyarakat Sipil Minta RUU Masyarakat Adat Segera Disahkan”