Bangau strom. Foto : Jacob Wijpkema/ Burung Indonesia |
Dalam kalender lingkungan, setiap 02 Februari ditandai sebagai Hari Lahan Basah Sedunia. Sebuah peringatan yang bertujuan menggugah kepedulian bersama akan pentingnya lahan basah.
Berdasarkan rumusan Perjanjian Ramsar tahun 1971, lahan basah (Wetland) didefinisikan sebagai daerah rawa, paya, lahan gambut dan perairan, baik alami atau buatan, tetap atau sementara, perairannya tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Dari sini, selanjutnya, kata Ramsar yang merupakan nama kota di Iran menjadi populer terkait lahan basah.
Luas lahan basah di dunia diperkirakan 8.558.000 km2 atau lebih dari enam persen dari luas permukaan bumi. Indonesia sendiri, luas lahan basahnya sekitar 20 persen dari luas daratannya yaitu sekitar 40 juta hektar. Uniknya, tipe ekosistem lahan basah yang ada di dunia ada di nusantara seperti kawasan laut (marin), muara (estuarin), rawa (palustrin), danau (lakustrin), dan sungai (riverin).
Indonesia memiliki 6 Ramsar Site (Situs Ramsar) yang merupakan kawasan penting yang ditetapkan untuk melindungi kelestarian dan fungsi lahan basah di dunia. Keenamnya adalah: Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Tamam Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Taman Nasional Wasur (Papua), dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta). Bila dibandingkan dengan luas lahan basah Indonesia keseluruhan, tentunya situs Ramsar ini belum menyentuh angka ideal.
Lahan basah memiliki fungsi ekologis menjaga keseimbangan ekosistem daratan maupun perairan, baik itu habitat ataupun kehidupan tumbuhan dan satwanya. Lahan basah juga bermanfaat bagi manusia sebagai sumber produk makanan, bahan baku industri, obat, dan mencegah bencana alam. Banjir yang terjadi, salah satunya dikarenakan berkurangnya lahan basah.
Indonesia, berdasarkan data BirdLife International (2005), memiliki 49 lokasi lahan basah sebagai Daerah Penting bagi Burung. Selain penting bagi pelestarian, sejumlah lokasi tersebut merupakan tempat tinggal atau singgahan dari jenis-jenis burung terancam punah dalam jumlah yang signifikan. Rinciannya adalah 1% dari populasi global burung air; 1% dari populasi global burung laut ataupun burung daratan; serta 20.000 burung air atau 10.000 pasang burung laut yang berasal dari satu jenis burung atau lebih.
Ironinya, lahan basah yang memang basah ini sering beralih fungsi menjadi lahan pertanian, permukiman, atau tambak. Berkurangnya lahan basah tentunya tidak hanya berdampak pada lingkungan dan kehidupan manusia, tetapi juga membuat kehidupan burung air terdesak. Kehadiran burung air di lahan basah merupakan pertanda alami bahwa kualitas lingkungan tersebut memanglah baik.
Trulek jawa (Vanellus macropterus) dan bubut jawa (Centropus nigrorufus) merupakan burung khas jawa yang hidupnya resah di lahan basah. Dua jenis burung terancam punah berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) untuk trulek jawa dan Rentan (Vulnerable/VU) ini terancam karena habitat alaminya berupa rawa dan muara terganggu. Trulek jawa sendiri merupakan salah satu burung paling langka di dunia yang hingga kini para ahli burung masih melacak keberadaannya di pesisir pantai maupun lahan basah di Pulau Jawa.
Sementara, jenis bangau yang tergabung dalam suku Ciconiidae seperti bangau tongtong, bangau bluwok, atau bangau storm yang memang senang di lahan basah tidak jauh berbeda. Nasib mereka terancam punah juga.
Lahan basah memang harus di awasi dan diketahui penggunaannya. Mengingat, lahan basah berguna bagi kehidupan flora, fauna, dan manusia. Bagi burung, di lahan basah , mereka mencari makan, istirahat, dan berbiak. Pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang tidak memperhatikan lahan basah, sudah waktunya ditinjau kembali keberadaannya. (Rahmadi)
Video : Burung Bangau di Srondol, Semarang.