JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Trend Asia, Walhi Jakarta dan Pena Masyarakat menerbitkan laporan berjudul “Racun Debu di Kampung Jawara”, berisi analisis risiko proyek pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten.
Laporan itu sekaligus mengekspos bagaimana komitmen baru partai pendukung Presiden Korea Selatan Moon Jae In untuk mengurangi emisi dan laju pemanasan global melalui “Green New Deal” tidak relevan karena masih mendukung kebijakan investasi kotor di luar negeri.
Periset dan pengampanye Trend Asia Andri Prasetiyo menilai, PLTU Jawa 9 & 10 menjadi mega proyek investasi yang tidak strategis dan tidak relevan. Langkah paling menguntungkan, menurut Andi adalah segera meninjau ulang dan mengambil keputusan akhir untuk membatalkan proyek tersebut.
“Proyek ini akan membawa dampak lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat yang teramat besar kedepan,” ujar Andri Prasetiyo.
Jika KEPCO, selaku lembaga pendana dari perusahaan listrik Korea Selatan terus melanjutkan pendanaan proyek Jawa 9 dan 10, Director of Overseas Coal Program Solutions for Our Climate Sejong Youn menilai hal itu bukan keputusan yang tepat. Pasalnya, studi kelayakan terkait bisnis proyek menyebutkan kegiatan ini bukanlah investasi yang menguntungkan.
“KEPCO mencari persetujuan Dewan untuk proyek Jawa 9 dan 10 meskipun KDI telah berulang kali memperingatkan bahwa proyek ini memiliki profitabilitas negatif dalam studi pra-kelayakan,” ungkap Sejong Youn.
Jika KEPCO bersikeras mengejar proyek ini, Sejong Youn mengingatkan potensi kerugian yang signifikan. “Tidak hanya untuk KEPCO, tetapi juga mitranya di Indonesia serta investor keuangan dari proyek tersebut,” tegas Youn.
Sementara itu, PLN terus merugi dan masih bergantung pada subsidi pemerintah. Pada kondisi depresi seperti sekarang, Pengamat Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi mengingatkan PLN agar introspeksi sehingga keuangannya lebih sehat.
“Apa yang terjadi jika PLN terkunci dengan kewajiban untuk memenuhi pembayaran kapasitas beban dasar dari IPP tanpa memiliki permintaan yang disyaratkan, sementara PLN tidak memiliki kemampuan untuk menaikkan tarif?” tanya Elrika yang juga periset untuk Trend Asia.
Elrika juga mempertanyakan, apa yang terjadi jika pemerintah tidak lagi mendukung kebutuhan arus kas PLN? “Mengingat defisit fiskal kita telah melebar lebih dari dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya?” katanya.
Selain tak sehat secara bisnis, proyek tersebut juga menambah kerentanan masyarakat yang hidup dalam bayang persoalan limbah industri dan pandemi Covid-19. Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menilai polusi udara yang dihasilkan PLTU telah berdampak luas bagi warga Banten, pun Jakarta.
“Kehadiran proyek akan menghimpit ruang hidup masyarakat dan menurunkan daya tahan warga dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini”, papar Tubagus.
Tubagus juga menegaskan bahwa PLTU yang berdiri di Banten telah memperlihatkan dampak buruk terhadap lingkungan hidup dan memengaruhi sumber kehidupan masyarakat.
“Menambah PLTU sama dengan memperparah keadaan lingkungan hidup. Pilihan ini juga mengesampingkan desakan publik agar negara segera beralih ke energi bersih terbarukan yang adil dan berkelanjutan, melalui transisi yang berkeadilan,” ujar Bagus.
Menurut Tubagus, mendanai proyek PLTU sama saja “mensponsori” pengrusakan lingkungan. Oleh karena itu, Tubagus mempertanyakan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. “Proyek ini jelas tak strategis, sebab ketersediaan listrik di Pulau Jawa sudah kelebihan pasokan’, pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)