JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan penelusuran terhadap individu-individu di balik proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hasilnya, sejumlah elite kaya atau oligarki berada di balik proyek pembangkit tersebut.
Egi Primayogha, peneliti ICW menyebut Industri batu bara menghasilkan banyak masalah, mulai dari anak-anak di lubang tambang, perusakan lahan hijau yang berubah menjadi pertambangan.
“PLTU dengan batu bara secara nyata telah mengancam kesehatan dan nyawa warga”, papar Egi.
Sayangnya, menurut Egi, Indonesia masih terus melanggengkan industri batu bara. Pengerukan secara masif, terlihat dari laju produksi batubara 2,5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata dunia.
“Hal ini sekaligus menunjukkan minimnya komitmen Indonesia terhadap krisis iklim yang mengancam Bumi beserta generasi masa depan,” ungkapnya.
Selama ini, Industri batu bara tidak bisa dipisahkan dari PLTU. Salah satu penggunaan batu bara adalah untuk pembakaran PLTU yang merupakan jenis pembangkit yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Masifnya proyek PLTU, menurut Egi tak lepas dari praktik-praktik korupsi. “Sedikitnya ada 2 kasus korupsi berkaitan dengan PLTU telah ditangani aparat penegak hukum,” katanya.
Pertama, kasus PLTU Riau-1 yang melibatkan eksekutif, legislatif, pengusaha, dan Direktur Utama PLN. Hampir semua telah divonis kecuali mantan Dirut PLN Sofyan Basir yang divonis bebas.
Kedua, dalam catatan ICW adalah kasus korupsi PLTU Cirebon. Kasus itu melibatkan Bupati yang diduga bersekongkol dengan pengusaha untuk memuluskan proyek PLTU.
Menurut Egi Primayogha, industri batu bara termasuk PLTU menjadi sorotan, karena selain mengancam nyawa, juga memperburuk krisis iklim. “Bahkan PLTU telah menjadi bancakan banyak pihak,” katanya.
“Hasil penelusuran ICW menunjukkan, di balik proyek pembangkit listrik, terdapat orang-orang dengan kekayaan luar biasa,” lanjut Egi
PLTU juga disoroti karena perburuan rente. Ini karena Presiden Jokowi telah mencanangkan program pembangkit listrik 35.000 MW yang mayoritasnya berjenis PLTU.
“Dukungan finansial megaproyek tersebut mencapai USD 72,3 miliar dan 75% pembangkit diserahkan kepada swasta,” papar Egi.
Sebanyak 20 proyek PLTU telah ditelusuri oleh ICW. Hasilnya, 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit itu.
“12 orang tersebut terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak. Selain itu ada 3 pejabat publik aktif terafiliasi dengan proyek PLTU,” ungkap Egi Primayogha.
Menurut Egi, di antara orang-orang dengan kekayaan luar biasa itu, terdapat nama Sandiaga Uno, Boy Thohir, dan Arini Subianto untuk PLTU Tanjung Kalimantan Selatan.
“Mereka merupakan pengurus dan pemegang saham dari PT Adaro Energy Tbk”, katanya.
Selain itu terdapat nama Prajogo Pangestu di balik PLTU Jawa 9 & 10 sebagai pemegang saham mayoritas PT Barito Pacific Tbk. “Prajogo merupakan orang terkaya ketiga versi majalah Forbes tahun 2019 dengan total kekayaan US$ 7,6 miliar,”ujar Egi.
ICW juga mengingatkan tentang Paradise Papers & Panama Papers yang memunculkan dugaan modus penghindaran pajak (tax avoidance). Penelusuran ICW, Individu di balik PLTU ditemukan dalam database International Consortium & Investigative Journalists (ICIJ) yang memuat nama-nama orang di negara surga pajak.
“Di antara nama-nama itu terdapat Luhut Binsar Pandjaitan, Djamal Nasser Attamimi, Dewi Kam, dan Edwin Suryadjaya. Luhut misalnya, ada di balik PLTU Sulbagut 1 & PLTU Sulut 3 sebagai pemegang saham dan pengurus di salah satu perusahaan Grup Toba,” jelas Egi.
Sementara Erick Thohir, menurut Egi berada di balik PLTU Tanjung Kalimantan Selatan melalui afiliasi dengan saudara kandungnya Garibaldi Thohir.
Nama-nama temuan ICW tersebut tidak asing di industri batubara. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dari hulu ke hilir, industri batubara telah dikuasai oleh oligarki.
Padahal, menurut Egi, Pasal 33 konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kebaikan publik, bukan untuk menguntungkan kepentingan privat atau kelompok.
“Sehingga cengkeraman oligarki di industri batubara tidak boleh diabaikan begitu saja,” katanya.
Ketika industri batu bara telah membebani negara dengan tanggungjawab lebih, dimana negara diharuskan menanggung biaya atas kerusakan lingkungan dan kesehatan warga, maka menurut Egi penggunaannya harus dihentikan. (Jekson Simanjuntak)