JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan Konferensi Para Pihak (COP) ke-26 KTT iklim sangat penting seiring urgensi dan tindakan berani yang diperlukan untuk menghindari krisis iklim, sekaligus menyelamatkan generasi mendatang.
Sebelumnya di tahun 2015, Perjanjian Paris yang bersejarah telah menetapkan target untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dan melakukan upaya untuk mencapai 1,5°C. “COP26 adalah kesempatan terakhir untuk memiliki aturan dan mekanisme yang jelas untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris dalam skala penuh,” katanya.
Sebelum Perjanjian Paris, dunia jauh dari target ini berdasarkan Nationally Determined Contributions (NDC) yang diajukan oleh negara-negara sebelum COP21. Ambisi untuk menyelamatkan iklim sangat rendah. Beruntung, Perjanjian Paris memperkenalkan ‘mekanisme ratchet’ atau ‘mekanisme ambisi’ untuk memastikan bahwa setiap negara memperbarui janji untuk menjadi lebih ambisius secara bertahap.
“Rencana awal setiap negara diminta memperbarui janji mereka dan mengajukan target yang lebih ambisius tepat sebelum COP-26, –yang seharusnya dijadwalkan pada tahun 2020– tetapi ditunda karena pandemi Covid-19,” paparnya.
Pada tahun 2018, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) merilis laporan khusus tentang 1,5°C yang menyoroti risiko dan dampak pemanasan 1,5°C dan 2°C terhadap Bumi dan manusia.
Pada Agustus tahun ini, IPCC kembali merilis laporan AR6 yang menggarisbawahi peningkatan suhu global 1.1°C sebelum pra-industri dan memperingatkan bahwa anggaran karbon yang tersisa telah menipis dengan cepat. “Ini adalah kode merah untuk kemanusiaan,” tegas Fabby.
Tepat sebelum COP26, 155 negara telah mengajukan NDC yang telah diperbarui, mencakup 81% emisi global. Dari jumlah itu, sebanyak 91 negara mengajukan NDC dengan total emisi yang lebih rendah dari sebelumnya, dan 27 negara menyatakan untuk meningkatkan ambisi dalam NDC baru atau yang diperbarui.
“Namun analisis awal menunjukkan bahwa itu tidak cukup untuk membatasi suhu di bawah 2°C,” katanya.
Di hadapan peserta konferensi, PM Barbados Mia Mottley membela keberlangsungan hidup pulau-pulau kecil secara gamblang dan berapi-api ia mengatakan, “1.5C adalah apa yang kita butuhkan untuk tetap hidup, dua derajat adalah hukuman mati untuk orang-orang Antigua dan Barbuda, untuk orang-orang Maladewa, untuk orang-orang Dominika dan Fiji, untuk orang-orang Kenya dan Mozambik- dan ya , untuk orang-orang Samoa dan Barbados.”
Mottley menambahkan, “Kami tidak ingin hukuman mati yang menakutkan itu dan kami datang ke sini untuk mengatakan ‘berusaha lebih keras, berusaha lebih keras. Karena orang-orang kita, pasukan iklim, dunia, planet ini, membutuhkan tindakan kita sekarang, bukan tahun depan, bukan dekade berikutnya.”
Delegasi Indonesia
Sementara itu, Indonesia datang ke COP26 dengan delegasi yang kuat. Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada World Leaders Summit dalam dua hari pertama. Ia hadir didampingi sejumlah menteri, yakni Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditambah ratusan peserta yang ikut hadir atau berbicara di paviliun Indonesia.
Presiden Jokowi yang akan menjadi Presiden G20 pada 2022 mendatang membuat pernyataan yang kurang mengesankan. Ia tidak menyebutkan upaya Indonesia untuk menjawab tantangan transisi energi, namun justru bertanya kepada negara-negara maju tentang apa yang dibutuhkan dalam hal sumber daya teknis dan keuangan untuk menghapus batubara lebih awal dari tahun 2050 serta berjanji menyebarkan energi terbarukan skala besar.
Selain itu, komentar para menteri terkait net-zero deforestasi, membuat para delegasi bingung dan kehilangan sedikit harapan untuk Indonesia. Pernyataan itu dilontarkan, tepat setelah Indonesia menandatangani “Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use”,
“Namun demikian, Indonesia membuat beberapa langkah penting selama COP26. Itu bisa membantu mempercepat upaya transisi energi dan upaya mengurangi emisi harus diapresiasi,” ujar Fabby.
Pertama, pada 3 November, Indonesia, Filipina, dan ADB meluncurkan kemitraan dengan membentuk Energy Transition Mechanism (ETM). ETM adalah pendekatan transformasi keuangan campuran yang berupaya menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan menggantinya dengan kapasitas listrik bersih.
“Mekanisme itu berasal dari dua dana bernilai miliaran dolar, satu ditujukan untuk pensiun dini atau penggunaan kembali pembangkit listrik tenaga batu bara dengan waktu yang dipercepat, dan yang lainnya berfokus pada investasi energi baru yang bersih dalam pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan,” paparnya
Untuk Indonesia, pra feasibility study (pra-FS) mengindikasikan 9 GW pembangkit batubara akan dihentikan lebih awal dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, dengan proyek percontohan pada 2-3 pembangkit sebelum 2025.
Kedua, pada Hari Energi, 4 November lalu, Indonesia bersama 46 negara menandatangani Global Coal to Power Transition Statement. Pernyataan tersebut terdiri dari empat klausul yang berbeda.
Dua yang pertama berkomitmen untuk meningkatkan energi bersih dan dua yang kedua dirancang untuk mengurangi penggunaan batu bara.
Indonesia tidak mendukung klausul tiga untuk mengakhiri pembangunan dan pembiayaan batu bara baru yang tidak berkurang. “Pasalnya, sisa pembangkit listrik tenaga batu bara di bawah proyek 35 GW telah dikontrak, dalam konstruksi, direncanakan dibangun, dan akan beroperasi mulai sekarang hingga tahun 2028,” ujarnya.
Pembangkit tersebut tidak bisa dihentikan tanpa konsekuensi hukum dan finansial bagi PLN, dan pemerintah tampaknya menghindari risiko itu. Pemerintah Inggris berusaha keras untuk meyakinkan Kementerian ESDM untuk mendukung pernyataan ini dan hanya satu hari sebelum deklarasi. “Indonesia menegaskan untuk mendukung kecuali untuk klausul 3,” ucapnya.
Ketiga, Indonesia telah menandatangani Global Methane Pledge, sebuah inisiatif oleh AS dan UE yang bertujuan untuk mengurangi emisi metana global hingga 30% dari tingkat 2020 pada tahun 2030.
Sumber utama emisi metana termasuk minyak dan gas alam, batu bara, pertanian, dan tempat pembuangan sampah. “Inisiatif ini penting bagi Indonesia yang masih memproduksi dan mengangkut minyak, gas, dan batu bara, serta tempat pembuangan sampah dan praktik pertanian,” kata Fabby.
Selain itu, terdapat beberapa kerjasama dan kemitraan untuk mendukung Indonesia mempercepat transisi energi, antara lain Friends of Indonesia Renewable Energy (FIRE) yang dipimpin oleh Inggris, dan didukung oleh Jerman, Denmark, serta kerjasama bilateral dan bilateral.
Pakta Iklim Glasgow
Setelah melewati dua minggu negosiasi yang sibuk, dan mengalami perpanjangan waktu selama satu hari, Presiden COP26, HE Alok Sharma mengumumkan persetujuan Pakta Iklim Glasgow.
Teks itu meminta agar negara-negara meninjau kembali dan memperkuat janji iklim mereka pada akhir tahun 2022, menyerukan penurunan bertahap subsidi batubara dan bahan bakar fosil yang tidak efisien, dan menyiapkan proses untuk mencapai tujuan global tentang adaptasi, tingkat pendanaan iklim yang lebih tinggi, termasuk membiayai kerugian dan kerusakan.
Ada banyak kekecewaan bahwa teks terakhir mengubah kata ‘penghapusan bertahap’ batu bara menjadi ‘penurunan bertahap’ karena campur tangan delegasi India. “Tetapi memasukkan batubara dalam teks merupakan kemajuan besar. Pengurangan bertahap berarti bahwa negara-negara masih membakar batu bara dan memicu krisis iklim tanpa target harus mengakhirinya,” papar Fabby.
Karena itu, Fabby mengatakan, sulit untuk menilai apakah COP26 berhasil atau tidak berdasarkan dokumen yang disepakati. Ia sependapat dengan Prof. Kevin Anderson, ilmuwan iklim dari Universitas Uppsala dan Universitas Manchester yang mengatakan, Pakta Iklim Glasgow hanyalah sebuah kesepakatan. Tidak ada tindakan yang memaksa. “Petunjuk yang sangat lemah dan tidak sinkron dengan skala tantangan yang dihadapi,” katanya.
Fabby juga menyinggung Greta Thunberg dalam tweetnya yang mengatakan “COP26 sudah berakhir. Berikut ringkasannya: Blah, blah, blah.”
Mesikipun jauh dari ideal, COP26 menunjukkan komitmen kuat, tidak hanya oleh negara, namun perusahaan dan publik untuk memerangi dan memperlambat perubahan iklim dan menghindari krisis iklim.
“Beberapa perusahaan telah menetapkan target dan jadwal untuk mencapai pengurangan emisi, menghijaukan rantai pasokan, dan memobilisasi modal mereka untuk berinvestasi secara berkelanjutan,” katanya.
Ketika Pakta Iklim Glasgow merupakan kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit hadir untuk mengurangi batu bara, maka semua negara perlu melakukan aksi lebih banyak agar komitmen menjadi tindakan nyata pasca COP26. Harapannya, emisi global berkurang 45% dari tingkat 2010 pada tahun 2030.
“Kita harus menunggu untuk melihat bagaimana negara meningkatkan ambisi dan mengambil tindakan sebelum COP27 di Mesir dan menilai apakah Pakta Iklim Glasgow berhasil, atau hanya blah..blah..blah,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)