Premanisme adalah hal biasa di lubang emas, sering terjadi perkelahian hingga pembunuhan di lokasi tambang. Namun hal ini tak mengubah lokasi pertambangan seperti gula dikerubungi semut. Berikut reportase Gilang Embang * yang merekam aktivitas penambangan emas tradisional di Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa.
Jantung saya berdegup sangat kencang dan lutut saya bergetar ketika melihat sendiri lubang emas itu. siang itu saya berpikir lagi tentang niatan saya untuk masuk dan mengambil gambar di lubang. ”Tenang aman kok ada talinya dan ada pijakannya juga” ungkap Angga, salah satu penambang asal Jember kepada saya. Angga tergabung dengan 5 orang lainnya yang berasal dari Sulawesi utara.
Pada pertengahan Februari, saya bersepeda dari Bogor ke Bima. Di sebuah warung saya berkenalan dengan para penambang. Saya bersedia ikut ketika diajak oleh mereka ke lubang tambang emas. Yang saya tangkap dari cerita mereka waktu itu tidak seperti yang kulihat saat ini yaitu lubang kecil gelap berdiameter kurang dari 1 meter dan tidak keliatan dasarnya, katanya kedalamannya sekitar 30 meter. Di atasnya ada batang kayu besar yang berfungsi seperti katrol untuk mengangkat material dengan talinya tali tambang kecil, seperti yang sering digunakan sebagai tali jemuran di rumah-rumah. Tali tersebut juga berfungsi sebagai pegangan ketika memasuki lubang.
Siang itu hingga esok hari seharusnya giliran para penambang dari Sulawesi itu untuk menambang. Namun hingga sore hari lubang tersebut masih ditambang oleh Peloyong Istilah untuk penambang preman yang meminta jatah. Para penambang dari Sulawesi Utara ini dijanjikan menambang pribadi yaitu menambang tanpa bagi hasil dengan siapapun untuk ongkos pulang setelah 7 bulan menambang di Desa Empang, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa ini.
7 bulan yang lalu para penambang dari Sulawesi ini datang ke Sumbawa untuk menambang. Mereka mendengar kabar yang santer terdengar akan hasil yang sangat menggiurkan dari pertambangan di Desa Lape, Sumbawa. Namun beruntung mereka tidak sempat masuk ke lubang di desa Lape itu karena beberapa hari sebelum mereka sampai di desa ini lubangnya ambruk, menewaskan banyak orang yang hingga kini belum diketahui secara pasti, berapa jumlah korban di dalam lubang itu. Oleh karena itu mereka mencari daerah lain yang mengandung emas hingga ke Desa Empang ini, dan bertemu dengan orang setempat yang bersedia meminjamkan modal dan menghubungkan dengan pemilik tanah di mana lubang itu digali.
Modal tersebut dipergunakan untuk membeli peralatan seperti terpal, genset, blower, kawat sling baja untuk menurunkan material emas dari lereng bukit, selain itu ada alat kecil lainnya. Selain untuk peralatan-peralatan tersebut para penambang juga dipinjamkan uang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena beberapa minggu pertama penggalian lubang ini belum dapat menghasilkan emas. “Semakin dalam lubang emas ini digali maka hasilnya akan semakin melimpah, namun semakin sulit dijangkau” Kata Bam (35), penambang dari Sulawesi Utara yang mulai menambang sejak kelas 4 SD. Mereka memiliki keahlian dalam mengenali batuan yang mengandung emas serta menentukan titik penggalian lewat urat-urat emas yang muncul di permukaan.
Saya memberanikan diri untuk memasuki lubang itu. Dengan memakai headlamp dan tanpa alas kaki, saya dipandu oleh Bam. Ia membuat saya yakin karena ia berada di bawah saya sehingga jika saya jatuh terpeleset maka akan menimpa dia sehingga kita berdua jatuh ke dasar lubang. Ia menuntun saya dan menunjukan pijakan-pijakan yang aman. Cara menuruni lubang tersebut yaitu dengan menggunakan kaki pada sisi lubang serta punggung dan pantat pada sisi lainnya. Dengan lutut gemetar saya menuruni lubang itu dengan sangat perlahan sekali. “Woii tunggu,” sesekali saya memanggil Bam yang lenyap ditengah kegelapan lubang. Setelah sekitar 15 menit akhirnya saya menginjak dasar. Rasa lega pun muncul meski tak lama, karena terpikir bagaimana cara naiknya lagi.
Lubang tersebut turun vertikal sedalam 30 meter, diteruskan dengan horizontal kira-kira 10 meter, lalu kembali turun vertikal sedalam 5 meter. Tak sampai 5 menit berada di dalam, semua pakaian yang saya kenakan basah kuyup oleh keringat. Panas dan sangat pengap sekali, itulah kesan pertama yang saya tangkap dari tempat ini. Saya tak habis pikir kalau lubang ini dikerjakan dalam 7 bulan saja seperti kata mereka.
Mereka nampak tidak membuang waktu lagi, segera menyiapkan karung, palu serta betel (linggis yang berukuran pendek). Dua orang dari mereka menuju dasar dan memukuli dasar lubang dengan alat itu secara konstan. Dasar lubang tersebut nampaknya hanya dapat di tambang oleh dua orang saja. Dibutuhkan sekitar 30 menit bagi mereka untuk mengisi 2 karung, namun bagi orang yang tidak biasa, berjam-jam bekerja mungkin tak satu karung pun terisi penuh.
Di lubang yang sangat sempit ini sangat sulit sekali memukul batuan itu hingga pecah menjadi pecahan batu. Tangan saya langsung mengelupas ketika mencoba melakukan hal tersebut. Nafaspun terengah-engah seperti ketika lari keliling lapangan. Posisi memukul yang tidak selalu enak kadang membuat nyeri pada otot-otot tertentu. Udara yang pengap merupakan kendala yang sangat berat, walau dipasang blower sederhana yang disalurkan dengan plastik transparan tipis tetap tidak dapat membuat ruangan kecil ini nyaman, ditambah lagi sebagian orang merokok di dalam.
Setelah beberapa jam bekerja masuk 2 orang peloyong setempat dengan membawa karung kedalam lubang. “Hey, tolong isikan karung saya ya!” ungkap salah satu dari mereka yang bertato didada dengan nada mengancam. Suasana menjadi bertambah panas, namun entah kenapa akhirnya Bam dkk tidak menolak permintaan mereka padahal sungguh sangat memuakkan bekerja di dalam sini. Premanisme merupakan hal biasa di lubang emas, sering sekali terjadi perkelahian hingga pembunuhan di lokasi tambang, namun bagi mereka para perantau mengalah adalah jalan satu-satunya untuk dapat terus menafkahi keluarganya. Padahal Bam dkk selama ini harus bagi hasil dengan peminjam uang sebanyak setengah hasil dari total material yang dikeluarkan dari lubang. Mereka juga harus membayar lunas modal tersebut dari uang hasil tambangnya.
Mereka masuk ke dalam lubang secara bergantian. Jika beberapa orang masuk lubang maka beberapa lainnya masak di luar dan berjaga, memastikan genset terus menyala dan blower terus menghembuskan udara segar kedalam lubang. Di luar lubang nampak beberapa preman lokal dengan parang panjang menempel di pinggang kirinya. Salah satu dari mereka mengajak ngobrol Bam dan menawarinya rokok. Tapi ujung-ujungnya dengan nada yang bersahabat ia meminta jatah 2 karung serta memberi tahu bahwa teman-temannya akan masuk untuk menambang beberapa waktu. Akhirnya Bam dkk mengalah lagi dan membiarkan mereka masuk dan menambang hingga tengah malam.
Setelah itu bam dkk mulai masuk dan menambang lagi. tengah malam itu hujan turun rintik-rintik membuat udara lembab. Terasa sangat berbeda udara di dalam lubang kali ini. Setelah satu jam di dalam kepala saya terasa sangat pusing dan badan terasa lemas, akhirnya saya memutuskan untuk naik dan beristirahat. Nyamuk bergerombol menyerang lokasi tambang ini hingga ke dalam dasar lubang. Nyamuk-nyamuk ini masuk melalui blower. Losion anti nyamuk tak mampu mencegah nyamuk hutan ini.
Tak lama setelah saya mencoba tidur tiba-tiba 3 orang yang berada di dalam lubang keluar dan muntah-muntah. Mereka merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan yaitu sakit kepala dan mual, namun lebih parah lagi. Beberapa menit kemudian setelah mereka keluar, mereka tidur seperti orang pingsan, tak menggubris ratusan nyamuk menyerang wajah hingga ke kaki. Rasa pusing ini tak hilang hingga esok harinya. Diduga hal ini terjadi karena gas beracun yang muncul karena reaksi batuan di dalam lubang dengan udara lembab.
Hasil tambang bersih Bam dkk secara keseluruhan pada hari itu yaitu sekitar 30 karung kapasitas 25 kg atau 6 hingga 8 karung setiap orang. Karung-karung tersebut harus melalui beberapa proses terlebih dahulu sebelum menjadi emas yang tentunya memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Setiap karung material yang dihasilkan di lubang itu rata-rata 1,5 hingga 3 gram emas 14 karat tergantung kejelian sang penambang dalam memilih batuan yang dipukulnya.
“Kadang-kadang jika beruntung setengah karung saja bisa menghasilkan 1 ons emas” ungkap Bam yang sering mengalami hal tersebut. Bam sudah mengelilingi banyak lokasi tambang di Nusantara seperti di Gorontalo, Bombana hingga ke Mimika. Ia mengungkapkan bahwa pulau Sumbawa ini mengandung emas dari ujung ke ujung. Seperti diketahui ada PT Newmont di ujung baratnya dan di ujung timurnya yaitu Desa Lambu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima daerah yang hangat diberitakan karena rencana eksplorasi suatu perusahaan.
Meskipun terdapat resiko yang sangat besar dalam pertambangan rakyat, hal ini tak mengubah lokasi pertambangan seperti gula dikerubungi semut. Lokasi Tambang selalu mengundang banyak penambang dari pelosok Nusantara yang mengais rejeki dan peruntungannya dalam hal ini. Mereka tidak mempedulikan resiko seperti ambruknya batuan, gas beracun hingga premanisme. Tidak ada penyuluhan untuk memperbaiki standar keselamatan kerja ataupun pengorganisiran pertambangan rakyat agar lebih tertib selain larangan-larangan dan razia oleh aparat.
Meskipun demikian sebenarnya keuntungan dari pertambangan rakyat ini lebih dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat kecil, meskipun diambil dalam hitungan gram dari pada pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan yang diambil dalam hitungan ton.
Pertambangan terbuka oleh perusahaan yang mengubah gunung menjadi kawah tetap tak mampu mengubah keadaan negara ini. Ini merupakan bukti bahwa keadilan pembagian keuntungan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan harus dipertanyakan. Apakah negara ini masih menganggap sumberdaya alam di pergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, jika rakyat kecil yang mencoba mencicipi manisnya emas dicap sebagai “penambang liar” sehingga dibiarkan carut-marut bahkan ditangkapi.
* Kontributor tulisan adalah anggota Lawata Institut Pertanian Bogor (IPB).