JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI kembali menggelar pengamatan burung sekaligus memperingati Hari Burung Migrasi Sedunia 2021.
Mengambil tempat di Hutan Lindung Angke Kapuk Jakarta, pengamatan kali ini melibatkan banyak anak muda, mulai dari komunitas pengamat burung, anggota Pramuka, hingga perwakilan mahasiswa (UI, IPB, dan UNJ).
Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI Rika Anggraini menyebut tahun ini Hari Burung Migrasi Sedunia mengusung tema Sing, Fly, Soar – like a bird! Tema ini sekaligus mengajak setiap orang untuk ikut “berkicau, terbang, dan terus menjulang” menyuarakan kepedulian terhadap burung-burung migran dan habitatnya.
“Hal yang tepat, karena masih minimnya pengetahuan masyarakat, termasuk yang tinggal di dekat habitat burung migran,” tutur Rika.
Kegiatan ini kembali dihelat setelah sebelumnya sempat vakum di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19. “Tujuannya untuk melakukan pendataan burung migran dan burung-burung lain yang berada di sekitar perairan Jakarta, yaitu Hutan Lindung Angke Kapuk,” kata Rika.
Selain di Jakarta, kegiatan serupa juga dilakukan serentak oleh beberapa kampus jaringan Biodiversity Warriors, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas dan Universitas Tanjungpura.
Selain monitoring dan inventarisir burung migran, kegiatan juga bertujuan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian burung-burung migran dan habitatnya di Indonesia.
“Sebagai negara mega biodiversity (18% jenis burung dunia terdapat di Indonesia), burung migrasi telah menambah khasanah kekayaan burung di Indonesia. Oleh karena itu, kita wajib menjaga kelestarian dan habitatnya,” papar Rika Anggraini.
Indonesia sendiri merupakan lokasi perlintasan burung-burung migrasi jalur Asia Timur – Australasia. Ini menjadi penting, karena Indonesia memiliki iklim yang hangat dan makanan yang melimpah bagi burung-burung migran.
Akibatnya, di jalur tersebut terdapat kekayaan spesies burung yang sangat beragam. Penelitian menunjukkan, Indonesia menjadi bagian dari jalur penerbangan 149 jenis burung migran (Sukmantoro et al., 2007).
Sementara berdasarkan data Birdlife Indonesia, sebanyak 50 juta burung air dari total populasi 250 juta telah menggunakan jalur terbang yang membentang dari Asia Timur, Asia Tenggara sampai Australia dan Selandia Baru. “Jika dihitung-hitung wilayah itu meliputi 22 negara,” kata Rika.
Saat burung bermigrasi, menurut Rika, ancaman kerap mengintai, mulai dari perburuan liar, hingga perusakan habitat. Dua hal itu terindikasi menjadi faktor dominan yang menyebabkan populasi burung migran berkurang.
“Selain itu, ada faktor alam juga seperti cuaca ekstrim yang turut berpengaruh pada migrasi burung,” ungkap Rika.
Khusus di Jakarta, limbah cair dan sampah plastik merupakan ancaman tersendiri bagi burung air dan burung-burung migran. Hal itu senada dengan pengamatan Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI 2 tahun lalu, saat menemukan banyaknya sampah plastik di muara Hutan Lindung Angke Kapuk.
“Saat itu, terlihat burung air memakan sampah plastik, bertengger di ban bekas dan sampah plastik yang mengapung,” terang Rika.
Pada tahun 2019, hasil pengamatan mengindentifikasi 24 jenis burung dari total 149 individu, dimana 2 diantaranya terindentifikasi sebagai burung migran, yaitu Trinil Pantai (Actitis hypoleucos) dari daerah Erasia atau Afrika dan Bubut pacar jambul (Clamator coromandus) yang berasal dari China Selatan/India atau Asia Tenggara.
Pada pengamatan kali ini, peserta berhasil mengidentifikasi berjenis-jenis burung air yang ditemui. Jumlahnya ada 180 individu, dengan beragam species, mulai dari Cangak Abu (40 ekor), Blekok sawah (35 ekor), Kowak Malam Abu (15 ekor), Cangak merah (6 ekor), Pecuk Padi Hitam (6 ekor), Bondol peking (15 ekor), dan Cucak kutilang (5 ekor).
Selain itu, ada Walet linchi (11 ekor), Kuntul kecil (5 ekor), Itik Benjut (14 ekor) Punai Gading (4 ekor), Pecuk ular asia (2 ekor), Layang-layang batu (4 ekor), Sepah kecil (4 ekor), Kekep babi (2 ekor) dan Tekukur biasa (4 ekor)
“Sementara burung Cipoh kacat, Kuntul kerbau, Dederuk jawa, Bangau bluwok, Bondol haji, Betet biasa, Trinil pantai dan Wiwik kelabu, jumlahnya masing-masing satu ekor,” ujar Rika
Khusus burung migrasi, peserta hanya menemukan satu jenis, yakni: Trinil pantai (Actitis hypoleucos) berjumlah 1 ekor. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penemuan tahun ini terbilang sedikit.
Selanjutnya, seperti biasa, hasil monitoring dan pengamatan akan diinformasikan kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk Pemprov DKI Jakarta. Selain itu, pihak Pemprov DKI diminta menjaga habitat burung-burung migran tetap lestari.
“Kami mengimbau agar wilayah perairan yang menjadi habitat utama burung migran diperbaiki kondisinya, baik dengan penanaman mangrove, maupun penanganan sampah plastik,” pungkas Rika. (Jekson Simanjuntak)