 |
Aktivitas pertambangan Bombana. Foto : Batukar.info |
Dimana ada gula, pasti ada semut. Ibarat gula dan semut, pendulang dan emas adalah pengandaian yang tepat bagi para pencari logam mulia di wilayah kabupaten Bombana menggerubuti lahan-lahan yang dulunya sepi, tak berpenghuni.
Tak sejengkal tanahpun yang mereka langkahi. Ada emas atau tidak sama semakali, tanah jadi target galian. “Untuk dapat emas, ya harus menggali, walau belum tentu tanah itu mengandung emas” kata Sucipto, pendulang asal Tasikmalaya-Jawa Barat.
Tambang emas Bombana di temukan pada pertengahan 2008. Saat itu, ribuan penambang dari pulau Sulawesi dan luar pulau Sulawesi, seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua menyemut di Bombana.
Kegiatan tambang rakyat ini dinilai legal setelah Pemerintah kabupaten Bombana mengeluarkan SK Bupati No.10 tahun 2008 tentang kewajiban penambang membayar kartu dulang sebesar Rp 250.000 per orang. Data terakhir menunjukkan, 60 ribu kartu dulang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yang artinya lima belas miliar uang telah masuk ke kas Pemerintah Bombana.
Seakan merujuk pada kemampuan daerahnya menghasilkan emas, pada saat yang sama, pemerintah kabupaten mengeluarkan 13 izin Kuasa Pertambangan dan dua diantaranya telah beroperasi yakni PT. Panca Logam dan PT Tiram Indonesia. PT Panca Logam mengantongi izin oleh Bupati Bombana untuk mengolah 2100 ha di lahan eks HTI Barito pasifik dan masuk dalam masuk dalam SP (satuan Pemukiman) 8 dan 9.
Mereka inilah yang bekerja tumpang tindih dengan pengelolaan tambang rakyat. Pertanyaannya ; apakah semua usaha Pemerintah ini membawa berkah bagi rakyat atau justru bencana? Mari kita telaah aspek-aspek di bawah ini.
Bentang Alam Rusak Parah
Dampak langsung dari kegiatan pertambangan adalah kerusakan ekologis, berupa pengurangai debet air sungai dan tanah. Eksplorasi tambang dimulai dari pembukaan hutan,pengupasan lapisan tanah dan gerusan tanah pada kedalaman tertentu.
Saat itu tata air mengalami perubahan dan membuka peluang terjadinya sedimentasi, banjir dan longsor. Di Bombana, sungai dan cabang-cabang sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bagi warga tak lagi memiliki bentuk. Pengelolaan tambang telah merusak bentang sungai, meninggalkan lubang-lubang ’tikus’ dengan kedalaman 5-10 meter. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa sebagian besar deposit emas Bombana berada pada jalur sungai dan cabang-cabangnya.
Dampak terbesar kini mulai dirasakan para petani yang sawah-sawahnya memperoleh air dari Sungai Langkowala. Warga di 15 desa (untuk dua kecamatan yakni Lantarijaya dan Rarowatu Utara) menyaksikan berkurangnya air yang mengairi sawah dan tambak mereka. Bagaimana mungkin ini terjadi dalam sekejab? Produksi hasil sawah menurun drastis. Hanya 400 hektar sawah yang kini berproduksi dan 500 hektar lainnya menganggur karena kekeringan dan perginya para petani ke lokasi tambang.
Saat air mengalir dengan lancar, rata-rata petani bisa memperoleh 5-6 ton gabah per sekali panen, kini yang terjadi adalah seluruh petani kehilangan 2500 ton gabah dalam panen terakhir ini. Anda akan menyaksikan petani yang berdiri termangu menatap sawah mereka yang berjarak 2 kilomenter dari sungai Langkowala.
Kekhawatiran paling mendasar adalah ; pertambangan emas di Bombana secara bertahap memiskinkan warga. Keuntungan hanya bisa diperoleh pada tahap awal tambang itu dikelola, lalu berubah jadi kerugian menakutkan saat kerusakan alam tak lagi terbendung.
Ancaman lainnya adalah gangguan kesehatan yang berasal dari limbah tailing, menyerupai bubur kental yang berasal dari proses pengerusan bebatuan dan tanah—saat hendak membersihkan emas. Meski dinyatakan terlarang dan secara tegas Pemerintah mengatakan tak ada penggunaan merkuri, tapi bukti menunjukkan zat kimia berbahaya tersebut bercampur dalam ‘bubur’ tanah tersebut.
Banyak penelitian menunjukkan, tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti; Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah-limbah tersebut terurai melalui sungai ataupun tanah.
Sumber Konflik
Hasil investigasi Dewan Daerah Walhi Sultra, Sus Yanti Kamil bulan juni lalu, mengungkap salah satu bentuk keburukan praktek tambang. Yakni, mengacaukan struktur sosial dan budaya masyarakat. Bila dulunya warga terutama petani memiliki alat produksi berupa tanah dan hak menentukan jenis komoditi pertaniannya, kini mereka tak punya hak bekerja, karena terikat pada kebijakan perusahaan.
Begitupun dalam aspek budaya, masuknya berbagai masyarakat dari segala penjuru mengakibatkan terjadinya perubahan budaya lokal dengan sangat cepat, prostitusipun kerap terjadi. Apakah salah bila struktur sosial berubah? Tak salah, namun berbagai ketimpangan sosial akan terjadi bila perubahan terjadi dalam tempo singkat dan warga tak cukup siap mengantisipasinya.
Selain itu, Walhi juga mengungkapkan bahwa konflik tanah antara pemegang izin usaha pertambangan dan masyarakat kerap terjadi sebagai akibat dari penguasaan kawasan pertambangan yang berada di tanah yang diklaim warga sebagai tanah mereka atau tanah warisan nenek moyang mereka.
Begitupun yang terjadi di kawasan pertambangan emas Bombana, konflik tanah antara masyarakat dan perusahaan tidak dapat terhindarkan. Keberpihakan Negara pun sangat jelas. Satu orang warga telah ditahan dengan tuduhan melanggar UU 41 tentang kehutanan.
Namun disisi lain pemerintah justru memberikan izin usaha pertambangan kepada investor di kawasan yang sama. Dampak dari penguasaan sumber daya tambang emas Bombana oleh kaum pemodal, juga telah melahirkan kekerasan terhadap rakyat. Praktek militerisme akan digunakan untuk memperkuat kekuasaan atas sumber daya alam tersebut.
Tambang emas Bombana di temukan pada pertengahan 2008, pada saat itu pula ribuan penambang dari pulau Sulawesi dan luar pulau Sulawesi, seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua menyemut di Bombana.
Kegiatan tambang rakyat ini dinilai legal setelah Pemerintah kabupaten Bombana mengeluarkan SK Bupati No.10 tahun 2008 tentang kewajiban penambang membayar kartu dulang sebesar Rp 250.000 per orang. Data terakhir menunjukkan, 60 ribu kartu dulang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yang artinya lima belas miliar uang telah masuk ke kas Pemerintah Bombana.
Namun, hal aneh yang kemudian muncul adalah kas pemkab. Bombana kosong. “saya ragu,bulan ini kami tidak akan gajian,” kata Fahyadi, staf sekretariat DPRD Bombana.
Petani Gagal Panen
Adanya lokasi pertambangan emas di Bombana, tak semerta-merta bisa meningkatkan penghasilan masyarakat lokal di daerah itu. Sejak tahun 2008 silam, dampak dari aktivitas pendulangan emas di kecamatan Rarowatu Utara dan Lantari Jaya mulai menggeser mata pencaharian warga setempat.
Sekitar 3000 hektar padi sawah di dua kecamatan itu mengalami gagal panen, alias puso. Penyebabnya tak lain, suplai air untuk irigasi tak ada lagi. Malpinas, Kepala Desa Langkowala, kecamatan Lantari Jaya mengatakan, tahun 2007 lalu, hasil panen di desanya masih mencapai 6,5 ton per hektar.
”Tapi tahun ini, petani tak punya hasil panen sama sekali,” kata Malpinas. Penyebabnya adalah, aliran irigasi terputus karena banyak badan sungai yang jadi sumber irigasi sawah terputus oleh kubungan lumpur akibat galian pendulang emas. ”bahkan ada badan sungai yang sengaja ditutup oleh penambang,” terangnya.
Jarak desa Langkowala dengan lokasi pendulangan emas di kecamatan berkisar tiga kilometer. Kebanyakan penambang beraktivitas di pinggiran sungai, yang alirannya untuk irigasi sawah di dua kecamatan, Lantari Jaya dan Rarowatu Utara. Melihat jarak yang dekat ini, bisa disimpulkan seberapa parahnya dampak kerusakan alam yang akan dirasakan oleh warga setempat.
900 Hektar Tambak Terancam pula
Nasib baik masih bisa dirasakan oleh petani tambak desa Tunas Baru, kecamatan Rarowatu Utara. 101 Kepala Keluarga (KK) di desa itu adalah petani tambak ikan Bandeng dan Udang. Desa ini adalah lokasi terakhir yang akan lama lagi merasakan dampak dari aktivitas tambang di kecamatan itu.
”Saat ini pemilik tambak masih bisa panen minimal 500 kilogram perhektar, tiap kali panen,” kata Baharuddin Loba, Kepala Desa Tunas Baru .
Dia memperkirakan, paling lama dua tahun mendatang tambak milik warganya itu tak bisa panen sama sekali. Menurutnya, aktivitas penambang yang saat ini banyak menggunakan bahan kimia turut mempengaruhi kualitas air di tambak mereka. ”mereka sudah menggunakan air raksa,” katanya.
Jika terjadi hujan yang deras, sudah pasti bahan kimia itu akan larut denga banjir dan limpasannya akan tertampung di lahan sawah dan tambak-tambak milik warga.”kalau sudah demikian, siapa yang akan menanggung kerugian petani,” tanyanya.
Penambang rakyat itu tak mungkin bisa dimintai pertamnggungjawabannya terhadapat kerusakan alam di daerah hulu sana, lanjut Baharuddin Loba. Desa Langkowala dan Tunas Baru, hanya sebagian kecil potret buruk dampak pertambangan emas. Masih ada desa Aneka Marga, Marga Jaya, Wumbubangka, Tembe, Hukaeya,
Watumentade dan Lantowua. Dengan cepat, semua desa itu akan segera merasakan susahnya memperoleh air bersih.
Menurut Achmad Nompa, Kepala Kecamatan Rarowatu Utara, suplai air untuk kecamantan Rarowatu Utara dan Lantari Jaya berasal dari sungai Lausu, hulunya berada dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kemudian mengalir ke sungai watu-watu dan sungai langkowala. Air tersebut di tampung dalam bendungan Langkowala, kemudian dialirkan ke saluran irigasi milik warga di dua kecamatan itu. Bahkan banyak warga menggunakannya untuk kebutuhan air bersih.
Namun, sejak adanya aktivitas pertambangan di daerah tengah, SP 6,7,8 dan 9, suplai air irigasi jadi terputus. Lebih parah lagi, ada beberapa Badan sungai yang sengaja di tutup untuk membendung airnya. Salah satunya adalah aliran sungai Lausu di perbatasan SP 8 dan SP 9. lokasi ini milik PT. Panca Logam.
PT. Panca Logam Sendiri memiliki konsensi seluas 1200 hektar. Sekitar 400 hektar adalah lahan Areal Penggunaan Lain (APL), selebihnya adalah masuk dalam kawasan hutan produksi, eks Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Barito Pasifik. Dengan izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dar Bupati Bombana, Atikurahman. Namun, hasil pantauan Walhi-Sultra, perusahaan itu sudah melakukan kegiatan ekspoitasi dan pengangkutan.
Praktek pertambangan di bombana mencerminkan buruknya pengelolaan aset daerah. Mestinya, yang menjadi fokus pemerintah daerah adalah bagaimana menjamin keberlangsungan sektor-sektor pencaharian warga yang sudah digeluti sejak dulu. Hal ini menyangkut keadilan warga untuk mengakses sumberdaya. (Abdul Saban)