
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Nur Hidayati, sosok pejuang HAM dan lingkungan hidup Indonesia yang teguh dan tanpa kenal lelah, berpulang pada 5 November 2024, setelah 18 bulan berjuang melawan penyakit kanker.
Yaya, panggilan akrabnya, telah menutup lembaran hidup yang penuh dedikasi dalam perjuangan lingkungan selama 51 tahun. Dengan doa dan keberanian, ia menjadi sosok yang tak tergantikan bagi gerakan lingkungan hidup Indonesia.
Yaya dilahirkan pada 14 Agustus 1973 di Surabaya, Yaya berasal dari keluarga yang kaya akan latar belakang budaya—Dompu, NTB, Bali, dan Bugis. Ia adalah anak keempat dari pasangan M. Hasan Day dan Diana Zuhra, tumbuh di tengah keluarga yang selalu menyemangati perbedaan dan kebersamaan.
Nur Hidayati memulai langkah awalnya sebagai aktivis lingkungan sejak masa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan fokus pada Teknik Lingkungan. Kiprahnya semakin mendunia melalui organisasi-organisasi seperti WALHI, Greenpeace, dan Clua, di mana ia dikenal sebagai aktivis yang jujur, tangguh, dan tak mengenal lelah.
Sosok Yaya menjadi tempat berpijak dan tempat bertanya bagi para aktivis muda yang berjuang di garis depan, mulai dari gerakan di kampung-kampung hingga kebijakan di ruang-ruang pemerintahan dan gedung pengadilan.
Sebagai Direktur Eksekutif WALHI periode 2016-2021, seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman WALHI, Yaya memimpin dengan hati dan keteguhan. Salah satu warisannya yang monumental adalah Akademi Ekologi WALHI di Bogor, sebuah rumah perjuangan yang ia harapkan dapat melahirkan generasi baru pejuang lingkungan hidup Indonesia.
Di mata generasi muda, Yaya adalah seorang “Ibu Ideologis” yang mengajarkan pentingnya moralitas, keteguhan, kesetiaan pada ilmu, dan kesederhanaan.
Catatan Perpisahan di Musim Hujan
Kepergian Yaya di bulan November, saat Indonesia memperingati Hari Puspa dan Satwa, terasa simbolis. Seolah hujan mengiringinya kembali ke asalnya, meninggalkan kenangan yang mendalam bagi mereka yang berjuang di tanah air untuk kemaslahatan rakyat.
Sahabatnya, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, menulis dalam penghormatan terakhirnya:
“Lima November di hening peringatan Puspa dan Satwa
Hujan diutus memanggilmu pulang
Di tanah tergenang, hujan reda
dan kami meradang
kenang renjanamu-kita pada tanah air untuk rakyat!
Belum selesai belum selesai,
Dan Tuhan memang aneh; memanggilmu pulang sebelum selesai!”
Nur Hidayati kini telah berpulang, tetapi perjuangannya terus hidup dalam semangat mereka yang ia tinggalkan. Cahaya hidupnya menjadi lentera bagi generasi penerus pejuang lingkungan, yang tetap berusaha menyelesaikan apa yang ia mulai, dengan hati, keberanian, dan doa yang tak berakhir (Marwan Aziz)