JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meminta Pemerintah segera mencabut kelonggaran pengaturan pengelolaan abu batu bara dan tetap mengkategorikan abu batu bara sebagai limbah B3, paska terbitnya Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan 2 Februari 2021 lalu.
Dalam Lampiran XIV peraturan tersebut, disebutkan abu batu bara sebagai Limbah Non B3 terdaftar. Artinya Abu Batu bara (fly ash dan bottom ash) tidak lagi dikategorikan sebagai Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).
ICEL juga mendesak pemerintah tidak mengeneralisir pemberian pengecualian abu batu bara sebagai limbah B3. Pasalnya, pengecualian harus diberikan pada kasus per kasus yang didasarkan pada uji coba dengan metodologi yang ketat, transparansi data dan laporan yang dapat diakses publik.
Sebelumnya pada 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.10 Tahun 2020, terkait penyederhanaan prosedur uji karakteristik Limbah B3. Termasuk apabila ingin melakukan pengecualian fly ashsebagai Limbah B3.
Paska keluarnya Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL Fajri Fadhillah menilai ada beberapa hal yang luput, seperti pertimbangan biaya yang timbul dari resiko pencemaran abu batu bara akibat longgarnya aturan pengelolaan abu batu bara sebagai Limbah Non B3.
Fajri menyebut, pemerintah pernah menyatakan bahwa potensi keuntungan ekonomi dari dikeluarkannya abu batu bara dari daftar limbah B3 adalah sebesar 447 juta rupiah per hari.
“Keuntungan itu diperoleh dari penghematan biaya pengolahan abu batu bara oleh pengolah limbah B3, serta dari keuntungan dari pemanfaatan abu batubara,” ujar Fajri.
Fajri menilai, terjadi ketidakadilan lingkungan dengan adanya potensi distribusi dampak atau risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Dengan statusnya sebagai limbah non B3, maka abu batu bara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan.
“Artinya, terdapat risiko di mana abu batu bara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya,” terang Fajri.
Terlebih lagi, aturan pemanfaatan abu batu bara sebagai limbah non B3 tidak memprioritaskan cara pemanfaatan limbah abu batu bara yang paling aman. Pemanfaatan abu batu bara yang buruk seperti untuk material urugan atau penyubur tanaman bisa jadi digunakan oleh pelaku usaha.
“Kondisi ini tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang menghendaki tindakan pencegahan potensi pencemaran lingkungan berdasarkan informasi besaran dan potensi terjadinya pencemaran/ kerusakan lingkungan hidup dari suatu kegiatan,” ungkap Fajri.
Sementara itu, Deputi Direktur Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Grita Anindarini menilai hilangnya kewajiban pelaku usaha PLTU untuk memiliki sistem tanggap darurat dalam pengelolaan abu batu bara. Pasalnya, yang membedakan pengelolaan Limbah B3 dan limbah non B3 adalah adanya kewajiban untuk memiliki sistem tanggap darurat, yang tidak ada dalam pengelolaan limbah non B3.
Menurut Grita, sistem tanggap darurat merupakan sistem pengendalian keadaan darurat jika terjadi kecelakaan Pengelolaan Limbah B3. Kecelakaan dapat diakibatkan oleh manusia, teknologi, maupun bencana alam.
“Hal ini tentu mengkhawatirkan apabila melihat fakta bahwa cukup banyak PLTU yang berada di kawasan rawan bencana. Lalu pada praktiknya, abu Batubara disimpan sementara di lokasi sekitar pembangkit, sebelum akhirnya dimanfaatkan atau dikelola,” ungkap Grita.
Tak hanya itu, Grita juga mencatat adanya potensi “mengendurkan” penegakan hukum terhadap pelaku usaha pengelola abu batu bara. Sebagai contoh, dalam konteks penegakan hukum perdata, pengelola abu batu bara berpotensi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena bukan merupakan kategori B3.
Tidak hanya itu, dalam konteks penegakan hukum pidana, dengan dikeluarkannya abu batu bara dari kategori limbah B3, terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan pengelolaan abu batu bara, tidak akan dikenakan ancaman pidana.
“Sekali lagi, penegakan hukum bagi pelaku usaha untuk tidak serius mengelola abu batu bara yang dihasilkannya diperlemah dengan ketentuan ini,” pungkas Grita.
Hingga saat ini, studi membuktikan bahwa bahan beracun dan berbahaya yang ditemukan dalam abu batu bara dapat merusak setiap organ utama dalam tubuh manusia. Pencemar dalam abu batu bara menyebabkan terjadinya kanker, penyakit ginjal, kerusakan organ reproduksi, dan kerusakan pada sistem saraf khususnya pada anak-anak. (Jekson Simanjuntak)