Dua petani menghitung anakan rumpun dan anakan produktif pada kegiatan lapangan SLI di Desa Rembun, Nogosari. Foto : Heru Ismantoro. |
Sumanto, petani yang juga petugas penyuluhan lapang (PPL) asyik mencatat data jumlah anakan rumpun padi. Dia mencatat berdasarkan pengamatan dua rekannya yang serius menyibak rerumpunan padi dan menghitung dengan teliti anakan rumpun padi. ”Sembilan, tujuh,” kata Bagiyanto menyampaikan data. Sembilan artinya jumlah anakan padi ada sembilan, dan tujuh berisi malai, begitu seterusnya.
Di tepat lain, Sujarwo, petani yang juga PPL, serius melakukan pengukuran kelembaban dan suhu tanah dengan memakai alat khusus. Data kelembaban dan suhu ini penting untuk mengetahui apakah tanah itu terlalu lembab atau tidak. Data kelembaban inilah yang nantinya menjadi referensi trik budidaya padi selanjutnya. Petani lain dengan pengamatan visual konsentrasi mengamati adanya hama dan musuh alami.
Demikian sedikit gambaran Sekolah Lapangan Iklim (SLI) di Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Boyolali, pada pekan lalu. SLI adalah salah satu program adaptasi yang ditawarkan pemerintah kepada petani untuk menyiasati anomali iklim. Instruktur SLI Kabupaten Boyolali, Iskak Harjono menjelaskan sekolah iklim digelar sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam budidaya pertanian.
SLI pertama di Boyolali digelar pada tahun 2007 di Desa Temon (Kecamatan Simo) dan Pranggong (Andong). Kemudian pada tahun 2009 digelar di Desa Pulutan (Nogosari), sedangkan tahun ini ada kegiatan SLI di Desa Talakbroto (Simo) dan Rembun (Nogosari).
”Di SLI petani diajarkan bagaimana memanfaatkan ramalan cuaca, juga diajarkan cara mengukur curah hujan pakai alat tertentu. Kalau tidak punya alat standar bisa menggunakan alat modifikasi dengan konversi perhitungan persamaan atau mencari alat dengan diameter sama dengan alat pengukur hujan,” jelas Iskak yang juga menjabat sebagai Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan, Boyolali.
Iskak menjelaskan dengan memahami data-data iklim ini diharapkan petani bisa mengidentifikasi musim untuk pertanaman budidaya pertanian mereka. ”Dengan demikian mereka bisa menentukan pola tanam sehingga tanaman tidak kebanjiran atau kekeringan.”
Harapan lebih jauh lagi, kata Iskak, petani harus berani mengubah pola tanam misalnya menjadi palawija-padi-palawija atau atau padi-palawija-palawija atau pola lain disesuaikan dengan prediksi musim yang akan terjadi.
Sementara salah satu pejabat di Subdinas Pertanian Kecamatan Nogosari, Bambang Setiawan mengungkapkan musim yang berubah berpengaruh banyak pada kegiatan pertanian. Misalnya petani bingung menentukan pola tanam, timbulnya serangan hama dan penyakit dan lain-lain. ”Di SLI ini petani diajari waktu tanam yang tepat sehingga tidak terjadi setelah menggarap tanah malah luput karena ketiadaan hujan,” katanya.
Iskak menambahkan program ini belum bisa dievaluasi apakah berhasil atau belum berhasil dalam mengubah kebiasaan bertanam petani, sebab pengetahuan yang ditawarkan SLI masih dalam proses penerapan oleh petani. (Heru Ismantoro)
* Penulia adalah peserta fellowship SIEJ.