JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Laporan terbaru Save the Children menjelaskan bahwa krisis iklim membawa dampak nyata terhadap anak – anak di Indonesia.
Menurut CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung, anak-anak yang lahir dalam setahun terakhir akan merasakan suhu 7,7 kali lebih panas dibandingkan yang dialami oleh kakek-nenek mereka.
Tak hanya itu, anak – anak juga akan menghadapi 3,3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai serta 1,9 kali lebih banyak kekeringan.
“Dampak krisis iklim juga dirasakan lebih buruk oleh anak – anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan,” kata Selina.
Hal itu disebabkan oleh kondisi, dimana mereka terpapar terlebih dahulu akibat keterbatasan air bersih, kelaparan, bahkan menghadapi ancaman kematian akibat kekurangan gizi.
Krisis iklim telah membuat jutaan anak dan keluarganya mengalami kemiskinan jangka panjang. “Di Indonesia, anak – anak akan merasakan 3,2 kali lebih banyak gagal panen dan lemahnya akses terhadap skema perlindungan sosial,” terangnya.
Situasi itu tergambarkan secara jelas pada laporan terbaru Save the Children secara global yang berjudul “Born Into the climate Crisis“. Laporan yang menjelaskan soal kelahiran generasi penerus di masa krisis iklim, menyerukan tindakan dan aksi nyata untuk melindungi hak – hak anak dan harus dilakukan segera.
Secara global, anak-anak yang lahir pada tahun 2020 akan menghadapi 7% peningkatan kebakaran hutan, 26% lebih banyak gagal panen, 31% lebih banyak kekeringan.
Selain itu, sebanyak 30% lebih banyak banjir sungai, dan 65% lebih banyak gelombang panas, jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.
Kendati demikian, Selina menegaskan, masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram tersebut. Caranya, kenaikan suhu Bumi dijaga hingga maksimum 1,5 derajat.
Dengan demikian, beban antargenerasi pada bayi yang baru lahir berkurang 45% untuk gelombang panas, 39% untuk kekeringan, 38% untuk banjir sungai, 28% untuk gagal panen, dan 10% untuk kebakaran hutan.
Selina menambahkan, “Anak – anak Indonesia menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk akibat krisis iklim ini. Tanpa tindakan segera, kita akan menyerahkan masa depan yang suram dan mematikan anak – anak kita”.
Krisis iklim, menurut Selina merupakan krisis terhadap hak anak. “Kita perlu melakukan hal sederhana dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Misalnya, menghapus ketergantungan pada bahan bakar fosil, memulai gaya hidup ramah lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” paparnya.
Pemerintah juga perlu mengembangkan tata kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti anak – anak. “Caranya melalui kebijakan, program, dan penganggaran yang berpihak kepada anak,” tandasnya. (Jekson SImanjuntak)