“Dulu, kami buka pintu rumah, hutan seberang sudah terlihat. Sekarang, buka pintu rumah, hanya terlihat dataran tandus seperti lautan. Tak ada lagi hutan itu. Hewan-hewan di dalam hutan itu kini makin sering ke pemukiman. Hutan itu bukan hanya untuk manusia, tapi untuk makhluk Tuhan lainnya, hewan,” kata lelaki 53 tahun warga Teluk Meranti, Pelalawan, Riau di Pekanbaru, Senin (19/3).
Muhammad Yusuf adalah satu dari ratusan warga Teluk Meranti yang saat ini tengah menempuh jalur hukum melalui citizen law suit ke Pengadilan Negeri Pelalawan atas SK Menhut Nomor 327 Tahun 2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Tanaman Industri yang berlokasi di hutan Semenanjung Kampar. Dampak dari SK Menhut tersebut sekitar 42 ribu hektar hutan gambut dilindungi kini telah gundul oleh PT RAPP, perusahaan bubur kertas milik taipan Tanoto Sukanto.
Kekecewaan mendalam tampak dari pernyataan-pernyataan spontan Muhammad Yusuf yang juga sebagai ninik mamak Desa Teluk Meranti. “Kami sudah menjalankan cocok tanam sejak turun-temurun. Dari Bank Riau untuk siap membantu penanaman padi dan sudah akan cair. Tapi tiba-tiba batal. Katanya lahan tersebut sudah dimiliki PT RAPP. Kami terkejut. Tiba-tiba saja sudah ada izin, tanpa pemberitahuan ini-itu. Kami………,” ujar Yusuf lirih gemetar.
Sejak izin tersebut keluar pada tahun 2009, Muhammad Yusuf bersama ratusan warga lainnya mencoba berbagai cara untuk membatalkan SK tersebut. Perjuangan itu dilakukan oleh masyarakat Teluk Meranti juga bersama sejumlah LSM lokal seperti JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) dan nasional juga Greenpeace.
Di sela perjuangan tersebut, Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan pun bahkan sampai turun ke lapangan dan bertemu warga. Saat itu Menhut berjanji untuk memberikan kepastian agar manfaat hutan yang hilang akibat kebijakan itu dapat diganti dengan kebijakan lain. Namun tahun berganti, kepastian yang ada hanyalah penebangan hutan yang terus terjadi, bukan pergantian manfaat.
Per tanggal 26 Oktober 2011 lalu, warga memilih untuk berjuang melalui jalur hukum dengan menggunakan citizen law suit atau gugatan warga atas pelanggaran hak publik oleh negara. Kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Pekanbaru dan Kantor Bantuan Hukum (KBH) Riau menyatakan bahwa Menteri Kehutanan RI telah melawan hukum dengan menerbitkan SK 327 tersebut.
“Atas dasar penengakkan hukum dan lingkungan, kami minta kepada majelis hakim untuk mengabulkan gugatan warga untuk mencabut SK 327 yang jelas telah bertentangan dengan hukum dan telah menghancurkan hutan gambut di Riau terutama di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang,” kata Suryadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru.
Menurutnya, kawasan yang disebut pada SK 327 tahun 2009 tersebut berada di kawasan lindung gambut yang oleh PP nomor 26 tahun 2008 adalah kawasan dilindungi. Pelanggaran hukum kedua adalah UU nomor 41 tahun 1999 pasal 28 ayat 1 dimana usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif, namun sebaliknya izin yang diberikan kepada RAPP itu justru di kawasan hutan sangat produktif.
“Dasar ANDAL (analisis dampak lingkungan) yang digunakan dalam SK Menhut tersebut jelas kadaluarsa sehingga tidak mendasar. Kami mendesak pihak hakim juga mempertimbangkan dengan hati nurani bahwa masyarakat di sekitar hutan telah kehilangan mata pencaharian yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Akibat SK 327 ini bukan saja berakibat pada warga Teluk Meranti di Pelalawan, tetapi juga pada warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti yang juga lahannya diambil,” ujar Ali Husin Nasution, Direktur Kantor Bantuan Hukum Riau.
Dua hari menjelang putusan sela majelis hakim pada Rabu (21/3) nanti, Yusuf berharap bahwa perjuangan bertahun-tahun itu ada hasilnya.“Kami sudah sampai bertemu Menhut, Pak Zulfkifli. Kami sudah diwawancarai banyak media kita (nasional), oleh CNN dan media luar (asing). Tapi hasilnya belum ada. Kami mohon majelis hakim mengabulkan pembatalan SK itu demi anak cucu dan generasi kami,” ujar Yusuf berharap. (Zamzami Arlinus).