Tambang Tak Cukup Hanya Reklamasi, Greenpress Dorong Dana Darurat Lingkungan dan FPIC

Berita Lingkungan Environmental News Hutan Tambang Terkini

Direktur Eksekutif Greenpress Indonesia, IGG Maha Adi.

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap dampak industri ekstraktif di Indonesia, Greenpress Indonesia menyerukan penerapan prinsip tambang berkelanjutan yang lebih progresif: Dana Darurat Lingkungan dan FPIC (Free, Prior and Informed Consent) atau yang dalam konteks lokal dikenal sebagai Padiatapa ( Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan).

Dalam diskusi daring bertajuk “Indonesia Bukan Hanya Tambang: Dari Raja Ampat ke Konawe Sulawesi Tenggara” pada Jumat (13/6), Direktur Eksekutif Greenpress Indonesia, IGG Maha Adi, mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang telah mengesahkan UU No.2/2025 sebagai revisi keempat UU Minerba.

Beleid ini, kata Maha Adi, menjadi langkah maju karena mewajibkan dana jaminan reklamasi (Pasal 100) serta program pemberdayaan masyarakat (Pasal 108).

Namun, itu belum cukup. “Kalau kita tidak mau konflik sosial terus berulang, dua prinsip ini harus jadi syarat wajib: FPIC dan Dana Darurat Lingkungan,” ujar Maha Adi.

FPIC atau Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa), menurutnya, adalah jantung dari tata kelola tambang yang menghormati hak masyarakat adat dan lokal. Prinsip ini menjamin masyarakat punya ruang menyatakan setuju atau menolak sebelum tambang beroperasi, atau saat wilayah konsesi diperluas. “Padiatapa itu bukan formalitas. Suara warga lokal wajib jadi dasar keputusan. Bahkan, penolakan harus dihormati,” tegasnya.

Ia mencontohkan tambang Cerrejón di Kolombia dan tambang emas Merian di Suriname yang telah menerapkan FPIC dengan dukungan investor besar seperti Glencore dan Alcoa.

Di Indonesia, skema serupa pernah digunakan dalam proyek REDD+ untuk pelestarian hutan dan oleh PT Newmont Minahasa Raya pada 2006 dengan dana lingkungan sebesar USD 15 juta pascapenutupan tambang.

Dana Darurat Lingkungan (Environmental Emergency Fund) juga menjadi perhatian utama. Dana ini, kata Maha Adi, harus tersedia dan siap digunakan seketika bila terjadi bencana lingkungan, seperti jebolnya bendungan tailing atau pencemaran besar-besaran. Dana ini wajib ditempatkan dalam rekening escrow, dan hanya bisa dicairkan bersama-sama oleh wakil masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.

“Ini soal kecepatan tanggap darurat, bukan dana yang nyangkut di kas negara atau perusahaan,” ujarnya. Ia menyoroti kasus tragis seperti bencana tambang Samarco di Brasil dan tumpahan limbah tambang Mount Polley di Kanada sebagai contoh betapa pentingnya dana semacam ini.

Maha Adi juga mengkritik sikap pemerintah yang terlalu longgar terhadap investor tambang demi mengejar angka investasi. “Kalau Glencore dan BHP Biliton bisa patuh pada prinsip FPIC di luar negeri, kenapa tidak di sini? Jangan sampai kasus-kasus seperti Raja Ampat dan Konawe jadi cerita berulang.”ujarnya.

Dengan berbagai contoh nyata di dunia, Greenpress Indonesia menegaskan perlunya memperkuat regulasi tambang bukan berarti mengusir investasi, tetapi memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi semua. “Tambang yang benar itu bukan sekadar gali dan tutup. Tapi mendengar, menghormati, dan bertanggung jawab penuh,” pungkas alumnus Pasca Sarjana Lingkungan Universitas Indonesia ini (Marwan Aziz).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *