Kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung yang harus dijaga kelestarianya. Foto : Istimewa |
MAROS, BL-Kawasan karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kini diperhadapkan pada berbagai ancaman, salah satunya adalah keberadaan puluhan perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar taman nasional.
“Beberapa areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Babul) yang memiliki karst berdasarkan hasil ekpedisi sejumlah pencinta alam ditemukan sejumlah gua purbakala yang mengalami kerusakan berupa keretakan dan hilangnya lukisan purbakala di gua, yang disebabkan aktivitas pertambangan, seperti di situs Gua Leang-Leang ”ungkap Iwan, aktivis Kelompok Pencinta Alam Trans.
Menurut Iwan, keberadaan perusahaan tambang di areal kawasan Taman Nasional Babul sebenarnya melanggar UU Pertambangan tahun 1997 yang mengatur masalah klafikasi karst yang boleh ditambang dan tidak.
Dalam UU tersebut, ada tiga klasifikasi yang mereka tentukan lengkap dengan persyaratan yaitu, karst kelas 1, karst kelas 2 dan karst kelas 3. Karst kelas 1 dicirikan memiliki kekhasan tersendiri antara lain ada sumber air yang mengalir dibawa karst tersebut, memiliki satwa endemik dan situs atau gua purbakala. Karst kelas 2 juga hampir memiliki ciri yang sama dengan kelas 2, dan terakhir adalah karst kelas 3 hanya memiliki bantuan karst, tapi tidak ditemukan satwa endemik demikian pula gua prasejarah.
“ Nah yang boleh ditambang adalah karst kelas 3, sementara karst 2 dibolehkan tapi terlebih dahulu harus disertai ijin Amdal, UKL/UPL. Sedangkan kawasan karst kelas tidak ada jalan atau dilarang untuk ditambang, karena kegiatan pertambangan bisa merusak ekosistem karst yang kaya akan keanekaragaman hayati dan situs prasejarah,”kata anggota Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Maros.
Iwan menilai banyak kejanggalan terhadap ijin-ijin pertambangan di kawasan kars di Kabupeten Maros.“Dimana banyak perusahaan tambang yang melakukan aktivitas pertambangan di kawasan karst kelas 1 dan 2, ini kah menyalahi UU pertambangan,”tambah alumnus Univeritas Islam Negeri Makassar ini.
Ia mencontohkan, keberadaan Bosowa yang menambang di kawasan kars kelas untuk bahan baku semen,”Memang tidak ada masyarakat yang memprotes, karena Bosowa mampu memenuhi persyaratan AMDAL, UKL dan UPL. Tapi aktivitas pertambangan tersebut menimbulkan masalah secara ekologis misalnya keretan gua prasejarah, rusak-rusaknya gambar/lukisan di gua purbakala, bahkan ada yang hilang. Demikian juga dengan satwa endemik banyak yang pergi dari kawasan tersebut karena terusik oleh getaran peledakan tambang,”ungkapnya.
Aktivitas pertambangan karst menurut Iwan juga menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani sekitar kawasan tambang tersebut, karena aktivitas pertambangan menimbulkan polusi yang mengganggu areal pertanian sehingga produksi pertanian menurun, termasuk tambak yang juga terkena imbas langsung dari debu pertambangan.
“Yang menarik dicermati adalah tambang-tambang kecil-kecil yang beroperasi di sekitar dan di dalam TN Babul ijinnya diperoleh dari kabupeten. Mereka menambang kars yang memiliki kualitas marmer yang bagus baik berada di kawasan karst kelas 1 dan 2 TN Babul maupun di sekitar Cagar Alam Salengrang. Mungkin inilah imbas dari otonomi daerah, dimana daerah berlomba-lomba mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah), sekalipun dengan merusak lingkungan,”ujarnya sedih.
Hal senada disampaikan, Kepala Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Agus Budiono pekan lalu dalam sebuah diskusi di lokasi permandian alam Bantimurung, yang dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media se-Sulawesi.“Memang perusahaan-perusahaan tambang seperti Bosowa berada di luar Taman Nasional Babul, tapi areal mereka tambang sebenarnya masih status hutan lindung dan termasuk penyangga kawasan karst Taman Nasional Babul. Keberadaan aktivitas pertambangan tersebut tentu menjadi ancaman bagi kelestarian taman nasional yang kaya kupu-kupu dan satwa endemik ini”ujarnya.
Menurut Agus, sejarah penetapan Bantimurung dan Bulusaraung menjadi taman nasional melalui negosiasi yang panjang antara pemangku kepentingan terutama perusahaan pertambangan.”Hasilnya negosiasi tersebut adalah hanya 40 persen kawasan karst yang diperuntukan untuk konservasi, selebihnya untuk pemanfaatan komersil,”ungkapnya.
Jauh sebelum ditetapkan sebagai daerah konservasi, di tahun 1856-1857 seorang naturalis inggris yang terkemuka bernama “Alfred Russel Wallace” menghabiskan sebagian hidupnya dikawasan ini untuk menikmati dan meneliti 150 species kupu-kupu yang tidak dijumpai di daerah lain. Wallacea juga menjuluki kawasan ini ” The Kingdom Of Butterfly ” karena keanekaragaman jenisnya.
Taman nasional ini ditunjuk menjadi kawasan konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Namun menurut pengakuan pihak Balai Taman Nasional Babul, mereka baru mulai aktif bekerja secara efektif sebagai pengelola taman nasional pada April tahun 2007 lalu.
Pada tahun 2007, Dinas Pertambangan dan Energi Sulawesi Selatan juga sempat mengimbau agar izin penambangan pada sejumlah perusahaan di areal Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Pangkep tidak diperpanjang lagi. Bahkan, areal tambang yang ada saat ini tidak diperluas lagi.
Hampir semua izin penambangan, termasuk penambangan karst, dari pemerintah kabupaten masuk ke wilayah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), padahal kawasan ini merupakan kawasan lindung. Karst merupakan bahan dasar untuk marmer dan semen.
“Aturan pembatasan izin sudah ada sehingga izin yang telanjur dikeluarkan tidak boleh diperpanjang, apalagi diperluas,”kata Kepala Subdinas Geologi dan Sumber Daya Migas Dinas Pertambangan dan Energi Sulsel, Salim Abdurahman seperti dilansir Kompas.
Menurut Salim, karst di TN Babul termasuk karst kelas I dan II, yang berdasarkan SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 tidak boleh ditambang. Kawasan karst kelas I dan II dengan goa bawah tanahnya berfungsi sebagai penyimpanan air bawah tanah dan mengandung sejarah penting untuk ilmu geologi, arkeologi, dan lainnya.
Di kawasan Maros-Pangkep, luas karst kelas I 14.932,2 hektar (ha) atau 35,67 persen dari total luasan karst di kawasan itu. Karst kelas II 21.266,225 ha (50,95 persen) dan karst kelas III 5.599,818 ha (13,38 persen). Cadangan batu gamping di kawasan itu diduga lebih dari 60 miliar kubik. Karst di Maros-Pangkep disebut-sebut karst terindah kedua di dunia setelah China.
Berdasarkan catatan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulsel, sejak 2000 ada 14 perusahaan di Kabupaten Maros dan 25 perusahaan di Kabupaten Pangkep memegang surat izin penambangan daerah untuk marmer dan batu kapur.
Iwan berharap pemerintah pusat segera mengambil tindakan tegas menertibkan ijin pertambangan yang beroperasi di sekitar dan Taman Nasional Babul.”Kalau mereka terus dibiarkan, ekosistem taman nasional yang kaya kupu-kupu ini perlahan tapi pasti akan rusak, sehingga akan mengancam kehidupan satwa yang menghuni kawasan ini termasuk situs-situs prasejarah,”tandasnya. (Marwan Azis).