KLATEN, BERITALINGKUNGAN.COM – Sustainable Rice Platform (SRP) atau budidaya beras berkelanjutan sangat diperlukan untuk memenuhi permintaan beras seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk.
Hal tersebut disampaikan Ketua Koperasi Tani Pangan Lestari (KTPL) Rustamaji (46) saat ditemui jurnalis Beritalingkungan.com di Sekretariat KPTL yang berlokasi di Desa Cawas, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (5/11).
Bagi KTPL, persinggungan dengan SRP dimulai ketika Rikolto, organisasi internasional yang bergerak dalam pemberdayaan petani kecil dan praktik pertanian berkelanjutan mengadakan pelatihan di Jawa Tengah.
“Itu dengan SRP, pelatihan budidaya, kemudian ada 7 demplot. Dari pengamatan pertama hingga panen sudah kita lakukan semua,” ujarnya.
Berawal dari percontohan itu, beberapa petani tertarik dengan konsep SRP, karena dinilai mampu menjawab permasalahan yang dialami oleh petani. “Misalnya kondisi tanah yang sudah rusak,” katanya.
Hal lainnya terkait dengan penggunaan pupuk. Dalam konsep SRP, penggunaan pupuk kimia dilakukan seminimal mungkin. Penggantinya adalah pupuk organik sebagai asupan terbanyak.
Hal ini ada kaitannya dengan keberadaan pupuk subsidi yang jumlahnya semakin terbatas. “Sehingga ketika SRP mensyaratkan pupuk kimia sedikit dan petani hanya bisa mendapatkan pupuk subsidi sedikit, maka SRP digunakan sebagai solusi,” jelasnya.
Lalu terkait dengan kondisi lingkungan yang rusak, utamanya tanah. Menurut Rustamaji, hal itu diperparah dengan penggunaan bahan kimia secara masif. Melalui SRP yang mensyaratkan asupan organik semaksimal mungkin, menjadikan tanah kembali normal.
“Ibaratnya membayar utang karena petani sudah merusak tanah dengan residu yang banyak. Kemudian petani harus memperbaiki lagi. Itu konsepnya,” paparnya.
Konsep SRP
Konsep Sustainable Rice Platform (SRP) mulai diperkenalkan pada tahun 2021 di Klaten, Jawa Tengah. Konsep tersebut, menurut Rustamaji bukanlah barang baru, karena sejak tahun 2013, anggota koperasi telah dibekali dengan konsep pertanian berkelanjutan, melalui pertanian organik.
“Secara konsep mungkin sama dengan yang dilakukan pada 2013. Tapi kita mengenal SRP baru ini, karena syarat dan SOP serta detilnya baru tahun 2021,” ungkap Rustamaji yang juga berprofesi sebagai petani..
Melalui pertanian organik, kelompok tani yang dipimpin Rustamaji telah lama menerapkan sistem jarak tanam “Jajar Legowo”, yakni pola tanam yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam dan memanipulasi lokasi dari tanaman yang seolah-olah tanaman padi berada dipinggir (tanaman pinggir).
“Kita sudah praktik lama sebenarnya,” katanya.
Konsep SRP, menurut Rustamaji, lebih tertata karena memiliki pola administrasi yang baik, seperti pencatatan dan hal lainnya. Kegiatan tersebut juga memudahkan untuk keperluan monitoring.
Berhubung penerapan SRP dilakukan secara kolektif, membuat serangan hama lebih mudah diantisipasi. “Misalnya ada hama, mudah diantisipasi, karena pengerjaannya serempak. Terutama di jarak tanam Jajar Legowo sangat menguntungkan kita,” ungkap Rustamaji.
Meski meguntungkan, konsep SRP belum diketahui oleh mayoritas petani di wilayah Jawa Tengah. Konsep yang baru diperkenalkan 2 tahun lalu itu belum menunjukkan perbedaan yang signifikan, karena masih dilakukan secara terbatas di tingkat petani.
Meskipun terbatas, dari sisi produksi, sistem SRP ternyata menggunakan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional. Hal itu berkaitan dengan penggunaan bahan kimia yang dibatasi.
“Sementara untuk produktivitas kita rata-rata dengan SRP mengalami peningkatan sedikit. Sekitar 200 – 400 Kg/Ha dalam setiap musim panen,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Rustamaji, konsep SRP mengedepankan proses, sehingga hasilnya tidak bisa dinikmati secara instan. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan perilaku petani. Petani harus diajarkan bahwa menggunakan bahan kimia berlebihan berdampak buruk terhadap lingkungan.
“Tidak bisa karena menggunakan SRP hasilnya tiba-tiba menjadi lebih banyak. Itu tidak begitu, tapi lebih kepada prosesnya dahulu,” katanya.
Selain biaya pupuk kimia yang berkurang, konsep SRP memberikan keuntungan lain, yakni keberadaan benih. Benih yang digunakan adalah produk unggul dengan indukan benih lokal, hasil kerja sama antara Dinas Pertanian Klaten dan BATAN.
Benih tersebut ditanam dengan menggunakan sistem “Jajar Legowo” 2 : 1, yakni cara tanam padi dimana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar baris.
“Adapun jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali jarak tanam antar barisan. Hal ini membuat kebutuhan benih lebih irit,” ungkapnya.
Dengan demikian, jarak tanam pada sistem “Jajar Legowo” 2 : 1 adalah 20 Cm (antar barisan) x 10 Cm (barisan pinggir) x 40 Cm (barisan kosong). “Sistem tanam Jajar Legowo 2 : 1 jarak tanam mundurnya bervariasi. Seluruh tanaman dikondisikan seolah-olah menjadi tanaman pinggir,” terangnya.
Melalui pola tanam Jajar Legowo, antisipasi serangan hama bisa diperkirakan. Dengan jarak yang tidak terlalu rapat, membuat penggunaan pestisida dapat dikurangi.
Selama ini, temuan di lapangan menunjukkan, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan mengakibatkan gabah mudah pecah. Kondisi ini berbeda ketika menggunakan SRP. “Hasil akhirnya menjadi beras lebih bagus secara kualitas,” ungkap Rustamaji.
Beda Pertanian Organik
Secara budidaya, pertanian organik tidak menggunakan asupan pupuk kimia. Pertanian tersebut murni menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam.
“Menggunakan bahan-bahan hayati. Sementara pupuk, pestisida tidak digunakan,” terang Rustamaji.
Ketika pertanian organik mengedepankan lahan yang steril dari unsur kimia (pestisida dan pupuk), maka SRP masih mentolerir penggunaan bahan kimia dalam jumlah yang terbatas.
“Sangat minimal untuk mengimbangi residu kimia, maka asupan organiknya di maksimalkan,” katanya.
Untuk langsung berbalik ke pertanian organik, menurut Rustamaji, hal itu bukan perkara mudah. Dibutuhkan pasar yang mampu menampung semua hasil pertanian organik masyarakat.
“Karena itu, beras khusus dan pangsa pasarnya juga orang-orang khusus. Biasanya rumah sakit yang membeli. Konsumennya adalah mereka yang paham tentang kualitas kesehatan,” terang Rustamaji.
Di sisi. lain, pertanian dengan konsep SRP menerapkan unsur keseimbangan. “Ada unsur kimia dan ada unsur organik dengan harapan secara pasar, masyarakat masih bisa menjangkau,” imbuhnya.
Kendati demikian, para petani diharapkan menuju pada pertanian organik. Namun sebelum kesitu, potensi pasar harus disiapkan dengan baik. Jangan sampai produksi petani terbuang percuma karena tidak ada yang mampu menyerap. Hal itu tentu merugikan petani.
“Bisa organik pure sambil melihat potensi pasarnya, kemudian juga kesiapannya,” ujar Rustamaji.
Ketika sistem pertanian konvensional masih menggunakan bahan kimia. lalu dipaksakan beralih ke pertanian organik, menurut Rustamaji, hasil produksi langsung turun drastis. Bahkan penurunannya mencapai 50%.
“Saya pernah mencoba itu dan hasilnya memang drastis dan bikin kapok. Hasil produksi ikut turun karena biasanya tanah kena kimia. Dan menggunakan bahan kimia itu menuntut kecanduan,” terangnya.
Secara umum, pertanian konvensional menimbulkan ketergantungan yang besar bagi petani, baik terhadap benih, pupuk dan juga pestisida.
“Jika perlakuan kimia itu menuntut benih tertentu. Pupuknya ini, pestisidanya ini. Paketan gitu. Dan itu kimia semua,” katanya. Akibatnya, tanah menjadi jenuh. Lama kelamaan produksi dari tanah tersebut akan semakin berkurang.
Hal lainnnya, kegiatan pertanian organik mensyaratkan sertifikat. Sertifikat tersebut bisa di dapatkan di beberapa kota besar, seperti Yogyakarta dan Bogor. Untuk mendapatkan sertifikat, terlebih dahulu dilakukan pendampingannya selama 2 tahun.
“Jadi secara bertahap, bahwa ini masih kurang dan harus diperbaiki. Ini juga melibatkan laboratorium untuk menilai hasilnya,” papar Rustamaji.
Ketika sudah memiliki sertifikat organik, maka harganya dijamin menjadi tinggi. Kondisinya agak berbeda ketika menerapkan budidaya organik, namun tidak memiliki sertifikat. “Harga jualnya sama dengan umum, sehingga sertifikat sangat menentukan,” ungkapnya.
Rustamaji mengambahkan, “Kecuali kita jual tidak menggunakan brand, dan masyarakat tahu bahwa produk kita dihasilkan secara organik. Kita jual sekian, mereka mau membeli sekian, karena sudah dipastikan organik.” (Jekson Simanjuntak)