ARIZONA – AS, BERITALINGKUNGAN.COM — Meningkatnya suhu permukaan Bumi pada 2014 – 2016 dikenal sebagai rekor tertinggi yang telah meningkatkan jumlah total pemanasan global, sejak awal abad terakhir. Besarannya lebih dari 25 persen hanya dalam waktu tiga tahun, menurut penelitian baru yang dilakukan oleh Universitas Arizona (UA).
“Makalah kami adalah yang pertama benar-benar mengukur lompatan ini dan mengidentifikasi alasan mendasar untuk lompatan ini,” kata Jianjun Yin, penulis utama yang juga profesor geosains UA.
Menurut Yin, suhu permukaan rata-rata Bumi naik sekitar 1,6 derajat F (0,9 C) dari tahun 1900 hingga 2013. Dengan menganalisis catatan suhu global, Yin dan rekannya menemukan bahwa pada akhir 2016, suhu permukaan global telah naik 0,43 derajat F (0,24 C).
Rekan penulis Jonathan Overpeck berkata, “Sebagai ilmuwan iklim, sungguh luar biasa untuk berpikir bahwa atmosfer planet ini bisa menghangat secepat itu.”
Mereka menemukan lonjakan pemanasan dari 2014 hingga 2016 bertepatan dengan peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia, termasuk gelombang panas, kekeringan, banjir, pencairan es kutub yang meluas, dan pemutihan karang secara global.
Rekan penulis lainnya, Cheryl Peyser, seorang kandidat doktor UA di bidang geosains menjelaskan bahwa variabilitas alami dalam sistem iklim tidak cukup untuk menjelaskan peningkatan suhu 2014-2016. Dibutuhkan lebih dari sekedar itu.
Peristiwa Ekstrem Lebih Sering Terjadi
Dalam makalah tersebut, para peneliti memproyeksikan seberapa sering lonjakan suhu sebesar itu akan terjadi di bawah empat skenario emisi rumah kaca yang berbeda. Lompatan suhu yang memecahkan rekor dan peristiwa cuaca ekstrem yang menyertainya akan menjadi lebih sering di masa depan, kecuali penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan.
Penelitian ini, sekaligus mengkonfirmasi tentang mekanisme lonjakan suhu yang dibangun di atas karya sebelumnya oleh Peyser, Yin, dan rekan lainnya.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun pemanasan permukaan Bumi telah melambat sejak tahun 1998 hingga 2013, namun panas dari gas rumah kaca atmosfer tambahan sedang diasingkan di Samudra Pasifik.
El Niño kuat yang terjadi di tahun 2015-2016 mengguncang lautan dan melepaskan semua panas yang tersimpan, menyebabkan lonjakan besar pada suhu permukaan Bumi.
“Penelitian kami menunjukkan pemanasan global semakin cepat,” tegas Yin.
Makalah penelitian berjudul Big Jump of Record Warm Global Mean Surface Temperature in 2014-2016 Related to Unusually Large Oceanic Heat Releases dilakukan oleh Yin, Overpeck, Peyser dan Ronald Stouffer, seorang instruktur UA dalam geosains di Geophysical Research Letters. Overpeck juga seorang dekan di School for Environment and Sustainability di University of Michigan, Ann Arbor.
Sejumlah lembaga seperti Visiting Scientist Program of Princeton University, National Oceanic and Atmospheric Administration, dan National Science Foundation mendanai penelitian tersebut.
Pada awal tahun 2017, Yin dan Overpeck sedang makan siang di Wilko, sebuah restoran di dekat kampus UA, dan Yin menyebutkan betapa cepatnya Bumi memanas.
Overpeck berkata, “Saya tahu itu sangat panas, tetapi saya terkejut dengan betapa hangatnya, dan terkejut dengan wawasannya tentang mekanisme yang mungkin terjadi.”
Kedua ilmuwan itu mulai bertukar pikiran tentang perluasan pekerjaan Peyser dan Yin sebelumnya.
Mereka kemudian menganalisis dan mengamati suhu permukaan rata-rata global dari tahun 1850 – 2016, dan kandungan panas laut dari tahun 1955 – 2016. Termasuk catatan permukaan laut dari tahun 1948 – 2016 dan catatan siklus iklim El Niño serta siklus iklim yang lebih panjang yang disebut Osilasi Dekadal Pasifik. Jika dihitung-hitung, mereka mengumpulkan sedikitnya 15 dataset yang berbeda secara keseluruhan.
Analisis menunjukkan telah terjadi peningkatan suhu global 0,43 F (0,24 C) dari tahun 2014 ke 2016. Hal itu belum pernah terjadi sebelumnya, baik abad ke-20 maupun di abad ke-21.
Penurunan Gas Rumah Kaca Adalah Kunci
Meskipun pelepasan panas dari Samudra Pasifik dianggap normal selama musim El Niño, para peneliti menemukan bahwa sebagian besar panas yang dilepaskan pada 2014-2015 disebabkan oleh pemanasan tambahan dari peningkatan jumlah gas rumah kaca di atmosfer.
Yin berkata, “Hasilnya menunjukkan penyebab mendasar dari peristiwa besar yang memecahkan rekor suhu global adalah pemaksaan gas rumah kaca dari variabilitas iklim internal saja.”
Para peneliti juga memproyeksikan seberapa sering peningkatan suhu global 0,43 F (0,24 C) akan terjadi di abad ke-21, ternyata sangat tergantung pada jumlah gas rumah kaca yang dipancarkan di seluruh dunia, sejak sekarang hingga tahun 2100.
Tim menggunakan empat jalur Representative Concentration Pathway (RCP), model yang memproyeksikan perubahan iklim di masa depan antara tahun 2006 dan 2100.
Untuk skenario RCP rendah emisi, ditemukan emisi gas rumah kaca mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menurun setelahnya. Tim memperkirakan, lonjakan suhu sebesar 0,43 F (0,24 C) mungkin terjadi dari nol hingga satu kali di abad ke-21.
Khusus untuk skenario RCP dengan emisi tertinggi, di mana emisi gas rumah kaca meningkat tanpa henti sepanjang abad ke-21, lonjakan rekor suhu hangat akan terjadi tiga hingga sembilan kali pada tahun 2100.
Berdasarkan skenario ini, peristiwa seperti itu kemungkinan akan lebih hangat dan lebih lama dari tahun 2014-2016. “Lonjakan memiliki dampak yang lebih parah. Dunia berada di jalur untuk salah satu skenario emisi yang lebih tinggi,” kata Peyser.
Sementara itu, Yin mengatakan, beradaptasi dengan peningkatan frekuensi, besarnya dan durasi peristiwa pemanasan cepat yang diproyeksikan oleh skenario emisi yang lebih tinggi akan sulit dilakukan.
“Jika kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, kita dapat mengurangi jumlah peristiwa pemecah rekor besar di abad ke-21, dan juga kita dapat mengurangi risikonya,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)