JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan bahwa Program B30 (pengembangan bahan bakar dengan campuran minyak kelapa sawit dan solar atau biodiesel) memiliki risiko jika kebijakan tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan tepat.
Studi bertajuk “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” yang dilakukan LPEM FEB UI membahas tentang kebijakan biodiesel yang semakin progresif berpotensi menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan, besaran subsidi atau insentif bagi industri biodiesel dan risiko ekspansi lahan.
Studi tersebut menyebutkan bahwa semakin besar tingkat campuran minyak sawit dalam biodiesel akan berpotensi menghemat impor solar, namun di sisi lain berpotensi menurunkan penerimaan dari ekspor minyak kelapa sawit.
Dalam kondisi harga minyak kelapa sawit tinggi relatif terhadap solar, maka memberi dampak yang kurang baik terhadap neraca perdagangan.
Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah mengatakan, dari sisi fiskal, kebijakan itu membawa risiko yang semakin besar seiring target campuran dan produksi biodiesel. Hal ini karena insentif yang diberikan kepada industri biodiesel tergantung dari selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar.
“Bahkan adakalanya selisih harga tersebut sangat signifikan, sehingga membuat besaran insentif membengkak,” kata Alin.
Dari sisi lingkungan, rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik.
Dengan asumsi tren ekspor tetap, tentunya peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik.
“Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan,” kata Alin.
Saat biodiesel digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit akan meningkat. Keberlanjutan setiap tahapan pengelolaan kelapa sawit, mulai dari perkebunan sampai menjadi biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat.
Sejarah Biodiesel
Sejak tahun 2008, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerapkan program biodiesel, yaitu dengan pencampuran solar dan FAME dari olahan crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit.
Per tahun 2016, kadar FAME yang dicampurkan sebanyak 20% dan solar 80%, yang kemudian dikenal dengan B20. Program pencampuran telah dikembangkan hingga menjadi B30 pada awal tahun 2020.
“Pemerintah bahkan berencana untuk meningkatkan tingkat campuran FAME dalam biodiesel sampai dengan B50,” kata Alin.
Studi ini mengestimasi dampak kebijakan biodiesel menggunakan tiga skenario. Skenario pertama mengasumsikan pemerintah menerapkan bauran sebesar B20, skenario kedua B30 dan skenario ketiga B50.
Skenario 1 sampai dengan 3 memperlihatkan kebijakan biodiesel yang semakin progresif, yang terlihat dari tingkat campuran yang semakin besar. Proyeksi dampak skenario dibuat sampai dengan tahun 2025.
Dari hasil analisis estimasi dampak ketiga skenario didapatkan beberapa implikasi, diantaranya dampak penghematan devisa yang tidak sesuai harapan.
Penghematan Tidak Sesuai Harapan
Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pada bulan Juli 2020, data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai US$ 2,7 miliar (setara dengan Rp 38,4 triliun).
Sementara, untuk produk turunannya mencapai US$ 6,2 miliar (setara dengan Rp 88,3 triliun). Kebijakan biodiesel yang agresif mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri, sehingga dapat berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO.
Berdasarkan proyeksi perhitungan LPEM FEB UI, akumulasi potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020—2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20 dan untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama.
“Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” tambah Alin.
Saat kebijakan B20 pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp79,2 trilliun. Akan tetapi, penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp48,9 triliun.
Selain itu, pemerintah memperkirakan bahwa penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp112,8 triliun akibat implementasi B30, namun perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit.
Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan bersih (netto) dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada tahun 2020—2025 adalah sebesar Rp44 triliun, yang berarti penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah (Rp112,8 triliun).
“Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama,” katanya.
Karena itu LPEM FEB UI mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. “Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelas Alin.
Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia.
“Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” terang Alin.
Meningkatnya Beban Fiskal
Peningkatan permintaan minyak sawit untuk biodiesel saat ini masih tergantung pada insentif yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Insentif yang diberikan akan membengkak jika selisih harga FAME dari sawit sebagai input biodiesel lebih tinggi dari harga solar.
Insentif akan lebih besar lagi jika tingkat bauran FAME dalam biodiesel meningkat. Hal itu akan membawa dampak pada beban anggaran BPDP-KS.
“Selama ini BPDP-KS mendapatkan dana dari pungutan ekspor CPO. Terdapat beberapa kali perubahan kebijakan pungutan ekspor, dan ada masa di mana BPDP-KS tidak mendapatkan penerimaan karena ketika harga CPO dibawah harga tertentu, tidak dikenai pungutan ekspor,” terangnya.
Hal ini memberikan risiko keuangan tersendiri bagi BPDP-KS, dimana penerimaan sangat tergantung dari harga ekspor, sedangkan pengeluaran tergantung dari perbedaan harga CPO dengan harga solar.
Dengan risiko ekspor yang dapat menurun karena terserap oleh kebutuhan domestik, serta tingkat bauran dan volume produksi yang cenderung meningkat, maka risiko keuangan BPDP-KS semakin tertekan.
“Jika anggaran BPDPKS tidak mencukupi untuk memenuhi insentif FAME, maka pengadaannya berpotensi membebani fiskal negara” ujar Alin.
Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,78 triliun dari APBN untuk BPDP-KS, yang menurut BPDP-KS akan digunakan untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan.
Ini merupakan kali pertama pemerintah mengalokasikan anggaran langsung ke BPDP-KS, yang bertepatan dengan tahun pandemi. “Jika saja keuangan BPDP-KS cukup tangguh, maka anggaran pemerintah tidak perlu terbebani, karena program sawit berkelanjutan sejatinya merupakan salah satu program BPDP-KS,” katanya.
Ekspansi Lahan Sawit
Semakin tinggi bauran FAME dalam biodiesel, maka semakin tinggi pula permintaan akan minyak sawit untuk biodiesel. Berdasarkan proyeksi dari studi, kebutuhan untuk implementasi skenario B50 berpotensi menyebabkan terjadinya pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektar secara akumulasi hingga tahun 2025.
“Angka ini setara dengan 70% dari luas lahan sawit produktif tahun 2019,” katanya.
Kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel dikhawatirkan akan mendorong ekspansi lahan ke kawasan dengan nilai karbon yang tinggi atau high conservation value area (HCVA).
“Ini tentunya perlu dicegah melalui aturan yang kuat. Sebetulnya sudah ada sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tetapi perlu dilihat lagi penerapannya seperti apa, belum lagi moratorium sawit yang belum ada kepastian akan diperpanjang atau tidak,” kata Alin.
Bahaya CPO
Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menyoroti bahaya yang mengancam lingkungan jika CPO dijadikan satu-satunya bahan baku biodiesel.
“Kalau biodiesel Indonesia masih single feedstock, ini akan sangat berbahaya bagi lingkungan karena ada kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan,” kata Ricky.
Ricky mengatakan, tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kaidah keberlangsungan lingkungan disokong dari lemahnya transparansi, keterlacakan dan rekam jejak beragam persoalan yang membelenggu, baik dari sisi efektivitas terhadap pengurangan emisi, pembukaan lahan, hingga ketenagakerjaan.
“Penggunaan biodiesel memang mengurangi emisi CO2. Namun, jika dihitung dari analisis daur hidup (lifecycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), alih fungsi lahan akan menyebabkan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi,” kata Ricky.
Dari perhitungan yang pernah dilakukan Traction menunjukkan, jika emisi diesel solar fosil itu sebesar 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka alih fungsi dari hutan primer akan menyebabkan emisi hingga 68,61kg/CO2 equivalent per liter atau lebih dari 20 kali lipat dari emisi diesel soal fosil.
Jelantah Alternatif Biodiesel
Ricky menekankan, pemerintah perlu melihat alternatif bahan baku atau feedstock lain selain sawit, agar ancaman alih fungsi lahan tidak semakin parah. Salah satu yang menjadi rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak jelantah alias used cooking oil (UCO).
Pihaknya mengatakan, pemanfaatan UCO memiliki peluang untuk menekan emisi yang jauh lebih rendah hingga kisaran 80-90 persen dibandingkan energi yang dihasilkan dari bahan fosil.
“Sebagai komparasi, jika emisi diesel solar fosil itu adalah 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka dengan UCO bisa hanya 0,314% dari emisi tersebut. Kenapa bisa seperti itu? Karena bahan baku UCO ini dianggap sebagai biodiesel generasi kedua atau biodiesel yang tidak langsung didapatkan dari sumber tanaman tapi dari pemanfaatan minyak yang telah digunakan untuk memasak,” kata Ricky.
Tidak hanya itu, pemanfaatan UCO juga berpeluang mencegah adanya pembukaan lahan seluas 939 ribu hingga 1,48 juta hektare yang sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian dan Kesehatan masyaralat.
“Apalagi pada kenyataannya Indonesia memiliki sekitar 2,43 juta kilo liter UCO yang berhasil dikumpulkan dan diolah menjadi minyak goreng daur ulang yang sangat membahayakan untuk kesehatan. Jika UCO ini didorong untuk bahan baku biodiesel, maka masyarakat dapat menjual sisa minyak jelantahnya, dari pada menkonsumsi kembali” tandas Ricky. (Jekson Simanjuntak)