JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Saat berbicara tentang 50 tahun Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day), Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro memastikan hal itu tidak bisa dilepaskan dari Konferensi Stockholm, Swedia pada tanggal 5-6 Juni tahun 1972 dengan tema “Only One Earth”. Konferensi itu berhasil menyatukan sejumlah negara maju dan negara berkembang yang khusus membahas lingkungan hidup.
Selain bernostalgia tentang tahun 1971 dan 1972, menurut Sigit, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama, terkait diplomasi lingkungan yang saat ini semakin penting dan sangat signifikan bagi Indonesia, karena akan menunjukkan harkat dan martabat bangsa.
Kedua, akan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional. “Jika kita lihat di tahun 1972, sebelum Konvensi Stockholm sudah dipersiapkan oleh bapak-bapak pendahulu tentang konsep yang akan dibawa ke konferensi tersebut,” ujarnya.
Pasca konferensi terlihat bahwa Indonesia memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan hasil konvensi terkait lingkungan hidup. Terbukti di tahun 1973 dibentuk TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, arah dan kebijakan pengelolaan lingkungan.
“TAP MPR sebagai rencana untuk mengadopsi isu lingkungan sebagai bagian dari strategi pembangunan,” ungkap Sigit.
Hal itu terus berlangsung hingga sekarang. Tahun ini, Indonesia beruntung bisa menjadi tuan rumah Konvensi Minamata, menjadi presidensi G20 dan untuk kegiatan-kegiatan bertema lingkungan lainnya.
“Intinya, bagaimana di tahun ini, khususnya di G20, diharapkan posisi Indonesia yang semakin kuat. Ketika menjadi presidensi G20, isu yang diangkat ternyata sama dengan isu yang diusung kelompok G7 atau kelompok negara-negara maju,” terangnya.
Sigit juga memaparkan bahwa baru minggu kemarin Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang diundang di pertemuan G7. Forum G7 merupakan pertemuan sejumlah negara maju, seperti AS, Inggris, Jerman, dan negara lainnya.
“Itu menunjukkan, kita ditanya posisi Indonesia di isu biodiversitas seperti apa? Posisi di isu maritim apa? Itu artinya kita semakin penting di kancah diplomasi lingkungan,” papar Sigit.
Dimasa depan, menurut dia, diplomasi lingkungan menjadi bagian dari kekuatan internasional, dimana perang yang mungkin terjadi tidak lagi secara fisik seperti Ukraina – Rusia, namun pengaturan tentang lingkungan hidup menjadi bagian penting dalam ekonomi internasional.
Selain itu, peringatan 50 tahun Hari Lingkungan Hidup Sedunia selalu dikaitkan dengan aktivitas scientific base. Atas dasar itu, sebelum Konferensi Stockholm berlangsung, Indonesia telah terlebih dahulu membentuk Lembaga Ekologi Unpad di tahun 1972. Lembaga itu dipersiapkan oleh Otto Sumarwoto dan Muchtar Kusumaatmaja yang untuk pertama kalinya melakukan seminar tentang bentuk hukum lingkungan dan pengaturannya di Indonesia.
“Itu kemudian di bawa ke Konferensi Stockholm,” ujarnya.
Setelah itu, di tahun 1980-an dibentuk badan yang mengurusi tentang lingkungan, yakni Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Tak hanya itu, sejumlah Pusat Studi Lingkungan Hidup juga dibentuk di berbagai perguruan tinggi.
“Ini menjadi bukti bahwa scientific base diperlukan kuat sekali di bidang lingkungan,” tegasnya.
Tidak hanya itu, untuk pertama kalinya di Indonesia pemerintah memberi penghargaan terhadap individu yang peduli terhadap lingkungan melalui Kalpataru. “Penghargaan diberikan kepada masyarakat yang menjadi champion untuk gerakan lingkungan,” katanya.
Selain itu, turut dilakukan fasilitasi terhadap lahirnya lembaga swadaya masyarakat, seperti WALHI yang menurut Sigit dibentuk berbarengan dengan hadirnya pusat studi lingkungan. “Sehingga bareng-bareng dilakukan disana,” katanya.
Itu sebabnya, gerakan lingkungan di Indonesia, menurut Sigit, cirinya adalah scientific base dan berbasiskan gerakan masyarakat. Berkembang hingga sekarang, kegiatan-kegiatan bertema lingkungan banyak digagas oleh komunitas penggiat lingkungan dan perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
“Kegiatan itu harus dilakukan, sehingga gerakan lingkungan hidup akan mencapai titik kritikal yang semuanya akan membuahkan perubahan perilaku,” ujarnya.
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Agus Justianto memastikan bahwa komitmen terhadap lingkungan hidup tidak bisa berjalan sendiri, namun harus dilaksanakan secara bersama-sama.
Hal itu jelas terlihat, setelah ia menghadiri pertemuan Konferensi Stockholm+50 dua minggu sebelumnya. Menurutnya, semua pihak harus bersinergi. “Di tingkat internasional saya melihat kita tidak bisa jalan sendiri,” tegasnya.
Agus juga menjelaskan bahwa konferensi internasional itu cukup banyak dan beragam. Ada yang terkait dengan perubahan iklim, kehutanan, biodiversitas, sertifikasi dan lain sebagainya. “Uniknya pada pertemuan tersebut, semua negara bersepakat untuk bersinergi dan semua harus bersama-sama,” ujarnya.
Di Indonesia khususnya, Agus mengatakan bahwa kita harus bersama-sama melibatkan semua stakeholder dan pemangku kepentingan, karena pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.
“Oleh sebab itu, saya sangat mengapresiasi forum-forum seperti ini (Sejuk Bersama Untuk Lingkungan) yang merupakan salah satu langkah kongkret dan ini menjadi rencana aksi dari komitmen kita di internasional yang harus dilaksanakan,” terangnya.
Selanjutnya, Agus mendorong pelibatan semua stakeholders, sehingga mampu bersama-sama melakukan aksi nyata. “Tidak hanya serimonial, namun konkret di lapangan,” pintanya.
Ketika dunia internasional menganggap Indonesia dianggap sebagai salah satu negara maju, menurut Agus hal itu menjadi sebuah peluang dan keuntungan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari motto yang dimiliki pemerintah, yakni Living by example.
“Contoh-contoh kita sudah banyak, sehingga di forum internasional, Indonesia bisa memimpin. Tidak banyak omong, kita sampaikan pencapaian kita. Kita sudah melakukan banyak hal dan ini sangat diapresiasi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugrah mengakui jika partisipasi publik menjadi bagian penting terhadap kebijakan maupun implementasi di bidang lingkungan hidup.
“Partisipasi publik saya kira menjadi concern KLHK. Seperti acara ini yang merupakan bagian dari partisipasi publik. Musisi, artis, dll yang menaruh kepedulian besar terhadap aspek lingkungan hidup,” terangnya.
Selain itu, KLHK juga sangat peduli terhadap generasi muda. Banyak instrumen dan program yang terkait lingkungan hidup dengan segmentasi generasi muda yang dikelola oleh KLHK. “Seperti di tahun ini, kita menjadi presidensi G20, dan ada juga Youth20,” ujarnya
Nunu menambahkan, “KLHK juga bekerjasama dengan Institut Hijau Indonesia dan Green Leaders Indonesia dan komunitas-komunitas lain yang peduli terhadap lingkungan.”
Menurut Nunu, hal itu dimungkinkan, karena konstitusi Indonesia mengatur tentang peran publik, dimana setiap orang berhak dan bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup yang baik. “Hal itu diatur di UUD 1945 pasal 28H tentang kewajiban dan hak publik memperoleh lingkungan hidup yang sehat,” paparnya.
Dengan demikian, hal itu menjadi instrumen dan daya pikat pemerintah dalam membuat porsi program dan hal lain untuk meningkatkan keterlibatan publik terkait pengelolaan lingkungan hidup. (Jekson Simanjuntak)