
Ilustrasi Perlawanan warga Cibetus, berjuang melawan pencemaran lingkungan. Dok : Beritalingkungan.com
SERANG, BERITALINGKUNGAN.COM– Warga Kampung Cibetus, Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, tengah dilanda ketakutan setelah serangkaian aksi penangkapan yang dilakukan aparat bersenjata sejak 7 Februari lalu.
Sedikitnya 15 warga telah ditangkap dalam operasi yang dinilai sewenang-wenang, menyisakan trauma dan pertanyaan besar: mengapa aparat bertindak begitu represif terhadap warga yang hanya menuntut hak mereka atas lingkungan yang sehat?
Dini Hari Mencekam di Cibetus
Pada 7 Februari 2025, dalam kegelapan dini hari, rumah-rumah warga digedor, pintu didobrak, dan orang-orang diciduk tanpa penjelasan yang jelas. Bahkan seorang kiai dan lima santri di bawah umur ikut ditangkap. Kejadian ini terjadi setelah gelombang protes panjang yang dilakukan warga terhadap PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan Charoen Pokphand, yang dianggap mencemari lingkungan.
Adam Kurniawan, Public Engagement WALHI, mengutuk keras tindakan represif aparat. “Selama bertahun-tahun, warga telah menempuh berbagai jalur hukum dan administratif untuk menyelesaikan masalah pencemaran ini, tetapi suara mereka diabaikan. Kini, ketika mereka menuntut haknya dengan lebih tegas, justru dihadapi dengan kekerasan,” ujar Adam seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman resmi WALHI di Jakarta (17/02/2025).
Konflik Bertahun-tahun: Dari Djohar ke Charoen Pokphand
Permasalahan ini bermula pada 2013 ketika sebuah peternakan ayam berkapasitas 30 ribu ekor didirikan di Cibetus, hanya berjarak 30 meter dari permukiman.
Warga mulai mengalami dampak pencemaran serius: bau busuk menyengat, lalat berkembang biak tak terkendali, dan air sumur berubah menjadi berlendir. Gangguan kesehatan seperti gatal-gatal, sesak napas, hingga penyakit paru-paru mulai bermunculan.
Setelah tekanan warga, peternakan akhirnya ditutup pada 2018. Namun, harapan warga untuk kembali hidup normal sirna ketika Charoen Pokphand mengambil alih lahan tersebut pada 2019 dan membangun peternakan baru dengan kapasitas 270 ribu ekor ayam—sembilan kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Tahun-tahun Perlawanan: Laporan yang Tak Didengar dan Aksi Protes
Sejak 2019, warga telah melapor ke berbagai instansi, mulai dari Ketua RT, Camat, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Polda Banten, tetapi hasilnya nihil. Bahkan petisi yang ditandatangani lebih dari 90% warga pada 2022 untuk menutup peternakan pun diabaikan.
Kecewa dengan sikap pemerintah dan aparat, warga mulai melakukan aksi protes. Blokade jalan masuk, istighosah bersama, hingga aksi demonstrasi besar-besaran dilakukan. Namun, respons perusahaan dan aparat justru semakin keras.
Pada Oktober 2024, ketegangan mencapai puncaknya ketika fasilitas peternakan terbakar dalam sebuah insiden. Meski warga telah menjalani pemeriksaan dan tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka, dua bulan kemudian, aparat datang dengan tindakan represif.
Standar Ganda dalam Penegakan Hukum
Penangkapan brutal yang terjadi di Cibetus menyoroti bagaimana hukum lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan rakyat kecil. Warga yang selama bertahun-tahun mengadukan pencemaran lingkungan diabaikan, sementara perusahaan mendapatkan perlindungan penuh.
Adam Kurniawan menegaskan bahwa tindakan aparat melanggar berbagai aturan hukum, termasuk Pasal 18 KUHAP yang menyatakan bahwa setiap penangkapan harus disertai surat perintah.
Selain itu, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 mengharuskan penyidik membawa surat tugas saat melakukan penangkapan, serta Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa aparat harus mengedepankan prinsip Hak Asasi Manusia dalam bertugas.
“Kasus ini menunjukkan betapa ketimpangan hukum masih sangat nyata di negeri ini. Ketika warga melaporkan pencemaran yang membahayakan kesehatan mereka, tidak ada tindakan. Tetapi ketika perusahaan merasa dirugikan, aparat bertindak cepat dan represif. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegas Adam.
Hukum Harus Berpihak pada Rakyat
Kasus Cibetus bukan hanya sekadar konflik lokal, tetapi juga cerminan dari ketimpangan sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia. Ketika kepentingan bisnis besar lebih diprioritaskan dibandingkan hak rakyat untuk hidup sehat, maka demokrasi dan keadilan menjadi pertanyaan besar.
Warga Cibetus masih terus berjuang, meski kini mereka dihadapkan pada represi yang semakin keras. Perlawanan ini menjadi pengingat bahwa hukum seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan hanya kepada pemilik modal (Wan.