
Ilustrasi buah-buahan dan sayuran. Dok : Beritalingkungan.com
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan penghapusan kuota impor pangan menuai gelombang kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil. Koalisi Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan (TERASI Pangan), yang terdiri dari lebih dari 30 organisasi, menyebut kebijakan ini sebagai langkah “merobohkan kedaulatan pangan dan membunuh petani”.
“Siapa yang mampu, siapa yang mau impor, silakan, bebas,” ujar Presiden Prabowo dalam sebuah sarasehan ekonomi, mengindikasikan liberalisasi penuh terhadap arus impor pangan. Namun, TERASI Pangan memperingatkan bahwa kebijakan ini akan memperparah ketimpangan dalam sistem pangan nasional dan membuka keran ancaman bagi petani, nelayan, dan peternak skala kecil.
Menurut Dwi Astuti, Ketua Pengurus Bina Desa, penghapusan kuota impor akan menyingkirkan perempuan petani dan nelayan dari sistem pangan lokal. “Mereka adalah tulang punggung produksi dan distribusi pangan di desa. Ketika produk asing membanjiri pasar dengan harga murah, mereka tidak akan sanggup bersaing,” ujar Dwi kepada Beritalingkungan.com di Jakarta (15/04/2025).
Data Kementerian Pertanian mencatat, produksi daging sapi Indonesia tahun 2022 meningkat, namun impor tetap melonjak hingga 287 ribu ton, menyisakan defisit perdagangan sebesar lebih dari 1 miliar dolar AS. Hal ini mencerminkan ironi besar: produksi meningkat, tapi ketergantungan terhadap impor tetap tinggi. “Ini bukan soal kelancaran perdagangan, tapi soal siapa yang dikorbankan,” ujar Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia.
Gunawan dari IHCS menegaskan, masalah korupsi dalam kuota impor seharusnya diselesaikan dengan penegakan hukum, bukan dengan mencabut mekanisme perlindungan tersebut. Ia juga menyebut bahwa pangan merupakan instrumen kekuatan nasional, bukan komoditas yang semata-mata tunduk pada arus perdagangan global.
Lebih jauh, Rahmat Maulana Sidik dari Indonesia for Global Justice menilai kebijakan ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan liberalisasi perdagangan internasional. “Ini sama saja menyerahkan urusan pangan rakyat ke tangan korporasi dan meninggalkan petani lokal kita sendiri,” tegasnya.
Kebijakan ini juga bertolak belakang dengan visi swasembada pangan yang tercantum dalam dokumen Asta Cita Presiden Prabowo sendiri. Di satu sisi pemerintah gencar mendorong program food estate, namun di sisi lain justru membuka pintu impor selebar-lebarnya tanpa regulasi ketat.
Kritik juga diarahkan pada waktu pelaksanaan impor yang kerap bertepatan dengan musim panen, seperti yang terjadi pada 2024, saat harga gabah anjlok karena banjirnya beras impor. Bahkan, aksi “mandi susu” oleh peternak sapi Boyolali menjadi simbol protes keras atas tak terserapnya hasil produksi lokal.
TERASI Pangan mengingatkan, jika kebijakan ini diterapkan, maka akan tercipta pasar yang bebas tapi tidak adil. Produk pangan lokal tak hanya kalah bersaing, tapi juga kehilangan tempat di pasar negeri sendiri. Di tengah krisis iklim dan ketidakpastian global, kedaulatan pangan seharusnya dijaga, bukan dilepaskan (Marwan Aziz).