Ilustrasi es di Semenanjung Antartika. Foto : pixabay.com.
ANTARTIKA, BERITALINGKUNGAN.COM – Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa lembaran es di Antarktika menyimpan lebih banyak air leleh daripada yang sebelumnya diperkirakan.
Sebuah studi yang dipimpin oleh Universitas Cambridge menggunakan teknik kecerdasan buatan untuk memetakan slush (campuran air dan salju basah) di lembaran es Antarktika, menemukan bahwa 57% dari total air leleh berada dalam bentuk slush, dengan sisanya berada di danau dan kolam air permukaan.
Lembaran es di Antarktika, yang berfungsi sebagai penopang terhadap es gletser dari dalam benua, semakin terpengaruh dengan meningkatnya suhu iklim yang menyebabkan pembentukan lebih banyak air leleh di permukaannya.
Penelitian juga menemukan bahwa slush dan air leleh yang terkumpul menghasilkan 2,8 kali lebih banyak air leleh daripada yang diprediksi oleh model iklim standar, karena slush menyerap lebih banyak panas dari matahari dibandingkan es atau salju.
“Kami dapat menggunakan citra satelit untuk memetakan danau air leleh di sebagian besar Antarktika, tetapi sulit untuk memetakan slush karena terlihat seperti bayangan dari awan saat dilihat dari satelit. Namun, dengan teknik pembelajaran mesin, kami dapat melampaui apa yang dapat dilihat mata manusia dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana slush dapat mempengaruhi es di Antarktika.” kata Dr. Rebecca Dell dari Scott Polar Research Institute (SPRI) Cambridge seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman cam.ac.uk (01/07/2024).
Penelitian ini, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Geoscience, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas lembaran es dan kenaikan permukaan laut. Dengan suhu meningkat, laju lelehan di Antarktika meningkat, dan air leleh baik dalam bentuk danau maupun slush dapat masuk ke dalam retakan-retakan di es, memperbesar risiko keretakan pada lembaran es, yang pada gilirannya dapat menyebabkan gletser dari dalam benua bercampur dengan lautan dan berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.
Penelitian ini didukung oleh European Space Agency dan Natural Environment Research Council (NERC) bagian dari UK Research and Innovation (UKRI), dengan Dr. Rebecca Dell dan Profesor Ian Willis dari Cambridge sebagai peneliti utama (Marwan Aziz)