Foto Ilustrasi, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di kawasan hutan berlokasi di Kalimantan (Dok. Sawit Watch, 2018).
BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM- Tata kelola perkebunan sawit akhir-akhir menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden Nomor. 9 Tahun 2023 untuk menindaklanjuti upaya memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
Salah satu hal yang menjadi fokus dari pemerintah adalah soal penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan. Keberadaan sawit dalam kawasan hutan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum. Namun kehadiran UU Cipta Kerja (Pasal 110 A dan 110 B) dan kebijakan turunannya memberikan ruang pengampunan (pemutihan) sawit dalam kawasan menggunakan mekanisme sanksi atau denda administratif saja.
Terkait sawit dalam kawasan hutan, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan “Ya (diputihkan) mau kita mau apain lagi, masa kita mau copotin (tanamannya). Ya pakai logika saja, kita putihkan terpaksa,” ujar Luhut.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan persoalan yang sudah sejak lama dan mengakar di perkebunan sawit hingga saat ini. Penyelesaiannya pun sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo dengan menghasilkan sejumlah kebijakan seperti misalnya PP 60/2012, PP 104 Tahun 2015, Inpres No. 8 Tahun 2018 hingga terakhir melalui UU Cipta Kerja dan kebijakan turunannya.
“Upaya pengampunan sawit yang sedang digalakkan pemerintah dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. Pasalnya upaya tersebut justru mengabaikan proses pidana dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan kebun sawit yang dilakukan di area hutan tersebut. Upaya ini kami lihat sebagai bentuk shortcut atau jalan pintas semata dalam menyelesaikan persoalan ini. Menggunakan UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum proses ini berpotensi membawa masalah. Karena UU ini masih berproses judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga akan menyebabkan permasalahan baru, “ ujar Rambo dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com.
“Kami melihat pemerintah seperti tidak memiliki langkah dan upaya lain yang dapat ditempuh selain pengampunan atau pemutihan ini. Padahal banyak contoh penyelesaian sawit dalam kawasan yang pernah diselesaikan melalui jalur hukum. misalnya kasus di Register 40, dimana MA memutuskan kebun sawit seluas 47.000 hektare hutan di Register 40 Padang Lawas Sumatera Utara dan disita oleh negara. Hal lain dalam kasus minyak goreng bahwa Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga grup besar sawit diantaranya Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan hukum masih sangat relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus serupa di Indonesia,” tuturnya.
Disisi lain kata Rambo, guna memperbaiki tata kelola sawit, pemerintah telah mewajibkan bagi seluruh para pelaku industri sawit baik itu perusahaan, koperasi maupun petani rakyat untuk dapat membuat laporan (self reporting) atas data perizinan yang dimiliki, mulai dari luas perkebunan hingga daftar perizinannya untuk masuk dalam Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERBUN) dimulai sejak awal 3 Juli-3 Agustus 2023 mendatang.
“Menurut pemantauan kami, kanal SIPERIBUN juga sudah sejak lama hadir namun masih belum optimal. Tidak banyak perusahaan yang menggunakan kanal ini. Perlu adanya upaya peningkatan kesadaran bagi para pihak khususnya perusahaan sawit skala besar dalam memasukkan data kedalam SIPERIBUN,” terangnya.
Ia berharap SIPERIBUN tidak hanya menjadi kanal dalam menghimpun data semata. Tapi bagaimana SIPERIBUN dapat menjadi ruang berbagi informasi dan data yang mengedepankan prinsip keterbukaan. Harapannya data dan informasi dalam SIPERIBUN dapat diakses oleh publik sehingga akan tercipta ruang partisipasi publik dan kontrol yang dilakukan bersama masyarakat sipil.
“Pada dasarnya kami sepakat bahwa upaya perbaikan tata kelola sawit penting dilakukan secara menyeluruh dan sesegera mungkin, namun perlu adanya peta jalan, indikator dan capaian yang ingin diraih termasuk mekanisme pengawasannya. Harapannya ini yang menjadi perhatian pemerintah kedepan, jangan hanya semata-mata fokus pada proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan saja, karena sesungguhnya persoalan tata kelola sawit dapat ditemukan dari hulu hingga ke hilir,” tandasnya (Wan).