PTTEP Australasia di laut Timor. Foto : environskimberley.org.au |
KUPANG, BL- Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mendesak Jakarta untuk membekukan seluruh izin operasi PTTEP Australasia, sebuah korporasi perusahaan minyak milik Pemerintah Thailand, yang mendapat izin eksploitasi minyak di dalam negeri Indonesia.
“Perusahaan minyak itu tidak memiliki tanggungjawab korporasi terhadap petaka tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara pada 21 Agustus 2009,” kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Kamis (15/10).
Atas dasar tindakan kejahatan tersebut, YPTB sebagai satu-satunya lembaga non pemerintah dari Indonesia yang diberi mandat oleh Jakarta untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi sosial ekonomi masyarakat atas kasus tumpahan minyak tersebut, mendesak Jakarta untuk membekukan izin operasi bagi perusahaan minyak tersebut di Indonesia.
“Perusahaan minyak itu telah melarikan diri dari tanggungjawabnya untuk menyelesaikan masalah tumpahan minyak di Laut Timor itu secara baik-baik dengan korban tumpahan minyak yang bermukim di wilayah pesisir pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur,” kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu.
Tanoni yang juga pemerhati masalah Laut Timor ini mengatakan tindakan kejahatan yang dilakukan PTTEP Australasia itu, jauh lebih kejam dari sebuah tindakan pemusnahan massal (genocide).
“Mungkin saat ini baru sedikit korban akibat tumpahan minyak tersebut, tetapi dalam jangka waktu panjang, masyarakat kita akan mengalami berbagai macam penyakit aneh, seperti yang dialami korban tumpahan minyak Alaska di AS dan Texas,” ujarnya.
“Apa yang saya katakan ini, berdasarkan riset dari para ahli yang menekuni bidang pencemaran akibat tumpahan minyak di laut. Kasus Alaska menjadi salah satu contohnya. Warga Alaska terserang berbagai penyakit aneh setelah lima tahun tragedi itu terjadi,” katanya.
Tanoni menambahkan masyarakat pesisir di wilayah Tablolong, Kupang Barat, NTT juga sudah terserang penyakit aneh dan gatal-gatal yang tidak pernah dialami sebelumnya. “Ada juga masyarakat yang meninggal setelah mengkonsumsi ikan,” tuturnya.
Karena itu, kata dia, desakan kepada Jakarta untuk membekukan seluruh izin operasi bagi PTTEP Australasia di Indonesia, karena perusahaan tersebut sudah melakukan sebuah tindakan kejahatan dengan melarikan diri dari tanggungjawabnya secara korporasi terhadap korban pencemaran.
Perjanjian RI-Australia
Di bagian lain penjelasannya, Tanoni yang juga penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta” itu juga mendesak Jakarta untuk membatalkan seluruh perjanjian yang dibuat Indonesia dan Australia di Laut Timor, mulai dari tahun 1974 sampai 1997.
Ia mengatakan perjanjian yang dibuat Indonesia-Australia pada 1974 tentang Hak-hak Nelayan Tradisional yang beroperasi di Gugusan Pulau Pasir, dan tahun 1997 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu, hanya menguntungkan Australia semata.
Tanoni menegaskan Perjanjian RI-Australia tahun 1997 wajib dibatalkan dan perlu dirundingkan kembali, karena sampai sejauh ini tidak pernah diratifikasi oleh parlemen kedua negara, sehingga dinyatakan kadaluwarsa dan tidak bisa diimplemetansikan lagi.
“Demikian pun halnya dengan MoU 1974. Nota Kesepahaman ini hanyalah sebuah alat politik belaka bagi Australia untuk melakukan aneksasi terhadap seluruh wilayah perairan Indonesia di sekitar Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan ikan dan biota laut lainnya serta migas yang berlimpah,” ujarnya.
Ia menegaskan MoU 1974 itu sangat tidak valid sesuai dengan kondisi geopolitik dan geomorfologi di Laut Timor, apalagi hanya ditandatangani seorang pejabat rendahan di Departemen Luar Negeri Indonesia yakni Direktur Konsuler dan seorang pejabat rendahan dari Departemen Perikanan Australia.
“Apakah tanda tangan kedua pejabat rendahan itu dapat mewakili bangsa dan negara masing-masing? Saya rasa, tindakan ini hanya sebuah sandiwara belaka dari Australia untuk menguasai Gugusan Pulau Pasir yang kini sudah dijadikan sebagai cagar alam negeri Kanguru itu,” kata Tanoni dalam nada tanya.
Gugatan
Tanoni mengatakan jika suara rakyat Timor barat bagian NTT yang diwakili oleh YPTB itu, tidak diperdulikan oleh Jakarta maka langkah yang diambil selanjutnya adalah mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Indonesia terhadap sikap Jakarta yang terkesan apatis tersebut.
“Kami sudah mempersiapkan gugatan hukum kepada Pemerintah Indonesia yang akan diajukan pada akhir Oktober 2015. Kami mohon kepada Pengadilan di Indonesia untuk memerintahkan Menteri ESDM membekukan seluruh ijin operasi bagi PTTEP di Indonesia dan juga memohon kepada Pengadilan untuk memerintahkan Menteri Luar Negeri membatalkan Perjanjian RI-Australia tahun 1997 dan MoU Ri-Australia tahun 1974 yang hanya menguntungkan Australia itu,” jelasnya (Roy)
–>