JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Sebanyak 38 organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara mengirimkan surat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Mereka menuntut pemerintah Amerika Serikat menjalankan kewenangannya secara tegas dalam melakukan reformasi kebijakan tekait investasi di Bank Pembangunan Multilateral (MDB).
Dalam surat tersebut, Proyek PLTU Jawa 9 & 10 yang berada di Banten, menjadi salah satu proyek yang disoroti. Mereka menginginkan International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia, salah satu Bank Pembangunan Multilateral (MDB) yang berpengaruh, segera menghentikan dukungannya terhadap proyek energi fosil dengan cara menarik ekuitas yang dimilikinya di Hana Bank Indonesia. Pasalnya, Hana Bank Indonesia diketahui masih berinvestasi di proyek PLTU Jawa 9 & 10.
Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo menilai, langkah tersebut penting dilakukan untuk menekan Hana Bank Indonesia agar berhenti mendanai proyek PLTU Jawa 9 & 10, sebagaimana kebijakan mereka yang menyatakan akan keluar dari pendanaan energi kotor, seperti batubara.
Proyek PLTU Jawa 9 & 10, menurut Andri layak mendapatkan perhatian, sebab memberi dampak serius terhadap sosial dan lingkungan. Keberadaan surat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kepedulian atas persoalan ini semakin besar, meluas dan tidak lagi berbatas wilayah.
“Masyarakat dari berbagai penjuru dunia saat ini bahu-membahu menekan proyek energi kotor yang berbahaya bagi lingkungan yang semakin memperparah krisis iklim, termasuk dengan menghentikan arus pendanaannya,” katanya.
Andri juga menekankan, “Kebijakan pembangunan harus diawasi secara serius, agar lebih mengedepankan kelestarian lingkungan, bukan berorientasi pada keuntungan semu dan keuntungan bagi sebagian pihak”.
Sebelumnya, studi pra-kelayakan proyek PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon, Banten oleh Korea Development Institute menyatakan proyek tersebut tidak layak dilanjutkan. “Produksi listrik PLTU Jawa 9 & 10 tidak akan terserap sebab kondisi neraca energi nasional sedang kelebihan pasokan,” kata Andri.
Selain itu, di masa depan, biaya operasional dari energi kotor batubara semakin mahal dan tidak kompetitif dengan energi terbarukan. Proyek tersebut akan membebani keuangan pemerintah Indonesia, karena diproyeksikan membawa kerugian sebesar Rp610,12 miliar.
“Nilai investasi yang harus dibayarkan pemerintah dalam proyek PLTU ini jauh lebih besar dari proyeksi pendapatan sampai dengan PLTU ini selesai beroperasi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Cilegon, Banten sebagai lokasi PLTU Suralaya Jawa 9 & 10 juga berada pada kondisi darurat polusi udara. Buruknya kualitas udara di Suralaya menyebabkan tingginya angka penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Cilegon.
Data Dinas Kesehatan Kota Cilegon menyebut, sejak tahun 2018 hingga Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di kota Cilegon. Akibatnya, pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 menuai kecaman publik dan penolakan warga.
Dalam petisi yang dilakukan melalui Change.org, tercatat lebih dari 17.000 warga menandatanganinya (23/8/2021). Warga Suralaya, yang hidup bertahun-tahun di kawasan PLTU juga menolak penghapusan FABA dari kategori limbah B3, sebab aturan turunan UU Cipta Kerja telah menghimpit ruang hidup mereka yang selama ini dikepung polusi.
Senada dengan itu, Direktur Pena Masyarakat Banten Mad Haer mengatakan, ancaman nyata sudah di depan mata. Banyaknya PLTU di Banten seakan seperti mesin pembunuh yang akan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar.
“Hari ini masyarakat butuh energi yang baik agar kehidupannya tidak terganggu oleh limbah dan polusi yang mengancam kehidupan masyarakat,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)