JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Sebanyak 230 organisasi lingkungan di dunia serta didukung oleh kalangan akademisi menyampaikan protes kepada Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Japan Bank International for Corporation (JBIC) agar membatalkan rencana pendanaan untuk PLTU batubara Batang.
Protes ini diiringi dengan aksi di depan kantor Kedutaan Besar Jepang di Washington D, Amerika Serikat pada tanggal 31 Maret 2016 yang lalu. Pada hari yang sama, hal serupa juga dilakukan di halaman kantor JBIC di TokyoJ, epang. Sejumlah aktivis menyampaikan surat protes secara langsung kepada pimpinan JBIC.
Di Indonesia sendiri, aksi teatrikal juga dilakukan oleh kalangan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Keadilan Warga Batang (SKWB) di depan kantor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Aksi ini dilakukan untuk mendesak JBIC agar membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang.
Sebagaimana diketahui bahwa Proyek PLTU Batang nantinya akan melepaskan sekitar 10,8 Juta ton emisi karbon ke udara per tahunnya. PLTU batubara Batang, selain berdampak buruk pada iklim namun juga berdampak buruk pada kesehatan manusia dan rusaknya lingkungan.
Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Eksekutif Nasional WALHI mengatakan PLTU Batubara akan berdampak pada pencemaran udara yang sangat mematikan dikarenakan buangan zat berbahaya bagi kesehatan manusia seperti patikel halus, SOx, NOx, dan merkuri. Dampak lainnya adalah pada penurunan produktivitas pertanian masyarakat, serta mencemari lingkungan.
PLTU Batang yang didirikan di daerah pesisir menjadi ancaman bagi hasil tangkap nelayan. Lalu lintas kapal batubara keluar masuk PLTU , tumpahan batubara dari bongkar muat, kebakaran batubara di kapal mengganggu mata pencarian nelayan pesisir.
“Kerja sama pemerintah Indonesia dengan Jepang dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia seperti PLTU Batang, Jawa Tengah, PLTU Cirebon, Jawa Barat justru akan menjadikan Indonesia sebagai pasar teknologi kotor demi keuntungan lembaga keuangan internasional,” tambahnya.
Bermacam cara telah dilakukan dilakukan warga Batang menunjukkan penolakan mereka terhadap proyek ini, mulai dari aksi protes di berbagai lokasi, audiensi dengan instansi pemerintahan hingga mengajukan gugatan hukum terhadap keputusan pemerintah terkait pengadaan lahan yang mengabaikan kelestarian lingkungan, keselamatan, dan hak asasi warga.
Pembangunan PLTU Batang juga bertolak belakang dengan komitmen Presiden Jokowi dalam upaya memerangi perubahan iklim pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, akhir tahun lalu. Sudah seharusnya pengembangan energi terbarukan diutamakan dari pada pembangunan energi kotor melalui PLTU Batubara. Proyek PLTU Batang merupakan ambisi pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi daripada melindungi hak dan keselamatan masyarakat.
PLTU Batang telah lima kali melewati tenggat waktu financial closure dan terjadi banyak pelanggaran HAM selama lima tahun terakhir ini. Tenggat waktu Perjanjian Jual Beli Listrik/ PPA antara PT. Bhimasena Power Indonesia dengan PT. PLN (Persero) telah berakhir kemarin (6/4), sementara proses pembebasan tanah dan konflik sosial belum terselesaikan. Maka sudah seharusnya JBIC sebagai pemilik dana menarik diri untuk membiayai proyek ini.
Sementara itu, Desriko Malayu Putra, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa PLTU Batang hingga tahun 2016 telah lima kali melewati batas waktu financial closure dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik/PPA antara PT. Bhimasena Power Indonesia dengan PT.PLN (Persero), sementara itu proses pembebasan tanah dan konflik sosial belum terselesaikan.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan yang terjadi di Batang bukan masalah kecil namun menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka selayaknyalah Presiden Jokowi membatalkan proyek ini karena secara tegas dan menyakinkan pembangunan proyek ini akan berdampak luas terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat Batang.
Hal yang sangat menyedihkan terjadi ketika Wakil Bupati Batang, Soetadi bersama perusahaan melakukan aksi penutupan seluruh akses terhadap lahan-lahan pertanian warga.
Akibatnya, penutupan ini telah menimbulkan kerugian terutama terhadap lahan-lahan yang masih tersisa (belum dibebaskan), kerugian berupa lahan pertanian yang tinggal menunggu masa panen dalam waktu dekat, kerugian tanaman padi dalam kondisi tertanam serta kerugian kebun warga yang tidak bisa dipanen, tambahnya.
Judianto Simanjuntak, Tim Kuasa Hukum Warga Batang, mengatakan bahwa pihaknya akan selalu mengupayakan langkah hukum terkait dengan kasus Batang. Hingga kini belum ada pemberitahuan tentang perkara ini dari Mahkamah Agung kepada Tim Kuasa Hukum terkait dengan gugatan administasi terhadap Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Pengadaan Tanah Sisa Lahan.
Perjuangan warga Batang terus mendapat dukungan dari berbagai organiasasi lingkungan, kalangan akademisi dan ahli diberbagai negara di Dunia. Bahwa berbagai surat protes telah dilayangkan kepada Perdana Menteri Jepang agar memerintahkan JBIC selaku pendana utama PLTU Batang untuk menarik diri dari proyek ini. (Wan)
–>