Sungai Ciliwung. Foto : Jekson Simanjuntak/Beritalingkungan.com |
Ciliwung identik dengan sampah dan bau busuk. Ups, tunggu dulu! Ciliwung yang satu ini tidak begitu. Di sebuah tempat nun jauh disana, wajah Ciliwung terlihat berbeda. Seperti apa Ciliwung yang sesungguhnya, kami mencoba menyusuri dan menyajikannya dari dekat untuk anda.
“Ayo dayung kuat, mas! Awas, jangan sampai nyangkut!” ujar Kurawa yang jadi skipper (baca: kapten) di perahu kayak bermuatan 2 orang yang saya tumpangi. Perahu kecil kami pun mengarah ke Jeram Panjang ber-grade 2. Sejurus berlalu, byuur!!! Perahu menerjang ombak dan melaju dengan mulus.
Perahu kayak yang kami gunakan merupakan perahu leader berfungsi sebagai pembuka jalur. Semua informasi awal dikumpulkan, mulai dari kondisi jeram, rute, hambatan, hingga dapat tidaknya perahu melewati sebuah jeram. Jika semua baik, perahu berikutnya siap meluncur.
Begitu mendapat aba-aba dari kami, secara perlahan perahu-perahu berukuran sedang yang mengangkut 5 orang meliukkan tubuhnya di Jeram Panjang. Indah benar gerakannya. Bak ikan yang sedang menari. Jeram ini dinamakan Jeram Panjang, karena jeram yang terbentuk cukup panjang berada pada lintasan sejauh 100 meter.
Pada kondisi di bawah normal seperti sekarang ini, jeram yang tercipta tidak terlalu berbahaya. Hanya saja, batu-batu besar kadang merepotkan. Berbeda halnya ketika debit air sedang tinggi. Tingkat kesulitan atau gradenya bisa mencapai 2+ bahkan 3. Jika kondisi demikian, salah membaca arus bisa berakibat fatal, seperti: perahu terbalik atau wrap –nyangkut di dinding sungai.
Puas dengan Jeram Panjang, 10 menit kemudian, saya dan Kurawa harus ekstra waspada. Pasalnya, sebentar lagi, kami akan tiba di Jeram Sablon, salah satu jeram paling berbahaya di sungai ini. Jeram ini berbahaya karena perbedaan tingkat gardien sungai dengan posisi jeram berbentuk zigzag. Kondisi ini tentu menyulitkan, meski kita berada di arus utama.“amankan pijakan, mas, dan jangan lupa dayung kuat”, pekik Kurawa memberi aba-aba.
Benar saja, sedetik kemudian, cipratan air menghantam wajahku dan membasahi sekujur tubuh. Byuuur, dingin! Tak pelak, dayung kutancapkan dalam-dalam. Sementara posisi kaki, aman berada di bawah bantalan perahu. Maklum, perahu kayak yang kami gunakan relatif kecil dan rentan terbalik. Jangankan di jeram besar, di jeram kecil saja, goncanganya sangat terasa.
Jeram ini dinamakan ‘Jeram Sablon’, karena di jeram tersebut, Sablon,–nama guide berpengalaman– terjatuh saat melaluinya pertama kali di tahun 2008. Sablon merupakan salah satu guide yang ikut suvey, jauh sebelum wisata arung jeram mulai populer di sungai ini.
Sesuai taklimat, kami memilih jeram bagian tengah dengan pertimbangan manuver yang lebih aman agar tidak tersedot ke arah batu. Jeram tersebut berada persis diantara celah dua batu besar. Tak lama kemudian, hyuuuus, kami berhasil melaluinya. Bravo! Selanjutnya menuju tepi.
Seingatku hanya beberapa detik saja kami di guncang oleh kedahsyatan jeram ini. Saking cepatnya, yang terpikir haa bagaimana melaluinya dengan selamat Namun, kesannya terasa lama. Selebihnya ingin mengulang lagi. Lagi dan lagi. “Inilah daya tarik arung jeram yang sesungguhnya”, gumamku lirih.
Bagi mereka yang tidak berpengalaman, sebaiknya menggunakan perahu ukuran sedang. Selain lebih aman, bentuknya kokoh dan lebih stabil saat menerjang jeram. Bagi saya, menggunakan perahu kecil, merupakan pengalaman pertama yang mengasyikkan dan penuh was was.
Sebelum perahu yang lain tiba, dengan cekatan saya mengeluarkan kamera DSLR dari drybag (baca: kantong kedap air) yang memang telah dipersiapkan. Lalu, mengambil posisi di tempat aman, sembari bersiap menekan rana, menunggu perahu masuk ke dalam frame. Dan, klik, sebuah momen terekam indah. Tak puas dengan satu jepretan, saya pun mengabadikannya dalam beberapa sekuen.
Tak lama kemudian, satu persatu perahu mengarungi ganasnya Jeram Sablon. Di mulai dengan perahu merah yang diawaki 5 orang, di susul perahu kuning. Demikian seterusnya, hingga 5 buah perahu karet meluncur dengan sempurna.
Obrolan Via BBM
Awalnya tidak menyangka, jika obrolan singkat via BBM dengan Iwan Firdaus (seorang teman lama sekaligus pemilik Soar Rafting) akan menjadi kenyataan. Pasalnya, ajakan berarung jeram memang telah lama terlontar. Hanya saja, waktu seringkali jadi kendala. Demikan akhirnya, ketika saya mengiyakan, dengan catatan diijinkan melakukan peliputan selama pengarungan.
Singkat cerita, rencana pun di gelar. Tim peliput di bentuk. Nesia di daulat sebagai reporter, sementara Sayid dan Fadzrin menjadi juru kamera. Mereka bertugas mengabadikan semua perjalanan dalam format video HD.
Jujur saja, Sungai Ciliwung tak banyak orang tahu hulunya seperti apa. Ciliwung bagi warga Jakarta hanya terkenal dengan warna yang hitam plus onggokan sampah. Namun benarkah demikian? Kami tertarik mengetahuinya. Maklum, Ciliwung memiliki peranan besar. Sungai ini merupakan salah satu penyokong kehidupan warga ibukota, dimana ia digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM yang dialirkan melalui kanal tarum barat (baca: Kali Malang)
Selain itu, sungai ini memang kurang familiar sebagai salah satu tujuan wisata air. Warga Jakarta telah lebih dahulu akrab dengan Sungai Citarik atau Sungai Cicatih di Sukabumi, karena gencar dipromosikan sebagai lokasi berarung jeram.
Dari kantor tujuan kami adalah Rest Area yang berada 100 m di pintu keluar Tol Ciawi. Letaknya persis di sebelah kiri jalan. Di sana Iwan telah menunggu bersama rombongan lain. Setelah bertegur sapa, ia menyarankan kami segera berganti pakaian untuk selanjutnya bergerak menuju titik start di Desa Pasir Angin. Untuk kesana, rombongan akan diantar menggunakan pick up.
Menurut Iwan, Sungai Ciliwung sangat cocok untuk olah raga arung jeram, khususnya bagi pemula. Jeramnya yang tidak terlalu besar, aman saat dilalui. Selain itu, beragam rute pengarungan tersedia. Mulai dari 600 m, 4Km hingga 8Km, seperti yang akan kami lalui. Bahkan untuk kondisi tertentu mereka sanggup menyediakan rute 12 Km.
Dari sisi jarak dan waktu tempuh, Ciliwung punya banyak keunggulan, yakni waktu tempuh yang lebih singkat, ketimbang jika memilih Citarik atau Cicatih. Hanya dengan 2 jam berkendara, pengunjung bisa menikmati olahraga petualangan yang satu ini.“Ciliwung sebenarnya sangat strategis. Letaknya pun tidak begitu jauh dari Jakarta. Kedepannya, karena kelebihan tersebut, sungai ini bakal ramai di buru pengunjung”, ungkap Iwan optimis.
Tak terasa setelah berkendara 20 menit, kami tiba di Desa Pasir Angin, Kecamatan Gadog. Lokasinya berada di pertemuan dua sungai, yakni Ciesek dan Ciliwung.
Di musim-musim penghujan, debit air Sungai Ciesek cenderung lebih besar ketimbang Ciliwung. Bisa jadi karena perbedaan kemiringan dasar sungai dan volume debit air.“Kalo musim hujan, Sungai Ciesek lebih berbahaya ketimbang Ciliwung. Tak jarang banyak rumah warga di bantaran ikut hanyut. Jika Katulampa airnya berlebih, salah satunya pasti dari sungai ini”, ujar Iwan sembari menunjukkan keberadaan sungai Ciesek.
Titik start berada persis di pertemuan ke dua sungai. Lokasi ini cukup strategis, karena letaknya yang tidak jauh dari jalan. Selain itu, volume air yang tercipta relatif stabil. Meski saat itu, debit air 50 cm di bawah normal, sungai ini masih layak diarungi.
Sebelum berarung jeram, para tamu akan beri pengarahan oleh guide berpengalaman tentang tata cara keselamatan. Tamu juga diajarkan tentang istilah yang biasa digunakan saat berarung jeram, seperti: dayung maju, dayung mundur, pindah kanan, pindah kiri dan boom.
Usai briefing, guide akan membagi tim berdasarkan kekuatan dan komposisi di dalam perahu. Hal ini menjadi penting agar kekompakan saat mendayung merata antara sisi kanan dan kiri. Sementara saya diberi kesempatan untuk menikmati perahu kayak berpenumpang dua orang.
Begitu pengecekan final selesai, pengarungan pun di mulai. Perahu kami di beri kesempatan pertama. Dengan beberapa kali dayungan, jeram pertama segera menyapa. Jeram ini tidak begitu berbahaya. Mereka menyebutnya “Jeram Selamat Datang”.
Sudah menjadi standar dalam pengarungan, setiap perahu yang berhasil melewati jeram, wajib menunggu perahu berikutnya. Baru ketika semua perahu tiba dengan selamat, perjalanan kembali di lanjutkan. Sistem ini dikenal dengan sebutan “river runing system”. Itu pula sebabnya dalam sebuah pengarungan tidak dianjurkan hanya menggunakan 1 buah perahu. Minimal dua.
Tak terasa, 13 menit kemudian, kami pun tiba di Jeram Sawah. Di tempat ini pengunjung dimanjakan dengan panorama alam berupa deretan sawah hijau membentang. Tampak pula beberapa petani sedang membajak sawah. Jeram sawah ini panjangnya kurang lebih 200 m dengan tingkat kesulitan, grade 2.
Ketika adrenalin telah menemukan bentuknya, tak ada cara lain, selain mengikuti irama yang tercipta. Irama yang hanya muncul ketika kekompakan tim berpadu. Gerakan yang menimbulkan harmonisasi yang dipadupadankan dalam ketukan ritme. Jika tim kompak, tak sulit bagi perahu meliuk indah di atas liarnya jeram.
Setengah Perjalanan
Tepat pukul 11.35 siang, tim akhirnya berhenti sejenak di sebuah tempat bernama “Galian Pasir”. Di lokasi ini tim beristirahat sembari melemaskan otot-otot yang kaku. Berhubung hari telah siang, tak sedikit diantara rombongan memilih menghabiskan bekal yang di bawa.
Sementara di ujung sana, para guide sibuk membenahi perahu masing-masing. Ada yang memompa, mengecek perlengkapan dan ada yang sibuk membersihkan perahu dari lumpur yang menempel.
Lokasi ini di pilih sebagai tempat beristirahat, karena jaraknya berada persis 4 Km dari titik start. Dengan demikian, perjalanan tinggal setengah lagi. Dua puluh menit kemudian saat puas beristirahat, pengarungan kembali dilanjutkan.
Menurut Kurawa, di depan sana, masih ada beberapa jeram besar yang patut diwaspadai. Salah satunya Jeram Stres. Jeram ini dinamakan demikian, karena pola jeram yang tidak beraturan. Beberapa batu besar juga menyembul keluar. Sedang di beberapa sisinya terjadi pendangkalan. Jika tidak pintar memilih arus, perahu akan terjebak kandas. Itu sebabnya banyak guide yang stres saat melalui jalur ini.
Menggunakan perahu kecil merupakan pilihan bijak di jeram ini. Hanya dengan beberapa manuver, kami berhasil melewatinya dengan mulus. Sementara bagi perahu karet ukuran sedang, seperti yang sudah kami prediksi, banyak yang stagnan. Mau tidak mau memang harus di bantu dorong.
Etape Terakhir
Di Sungai Ciliwung, kami tidak menemukan halangan berarti, selain standing vawe, hole dan banyaknya batu. Berbeda dengan sungai di tempat lain, disini kami tidak mendapati adanya undercut (cerukan dengan arus yang menghisap) ataupun strainer (batang kayu besar) yang mampu menghambat pengarungan.
Sejak dari titik start, saya juga tidak menemukan banyak sampah. Secara umum, hulu sungai ini terbilang bersih, jauh berbeda dengan kondisi di hilir. Warga pun lebih banyak memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Sehingga jangan heran, jika di sepanjang perjalanan kita akan menemukan banyak warga yang mandi atau mencuci.
Selain itu, sepanjang tahun 2008 hingga sekarang, belum pernah ada kecelakaan akibat berarung jeram di Sungai Ciliwung. Soar Rafting selaku operator tunggal menekankan pentingnya standar keselamatan disertai kemampuan guide berpengalaman. Akibatnya, tak sedikit tamu yang rela kembali untuk berarung jeram.”Biasanya gitu, mas. Jika tamu telah mencoba rute 4 Km, mereka akan datang lagi untuk mencoba rute 8 Km”, tutur Kurawa bersemangat.
Di etape terakhir ini, ada bererapa jeram yang mesti diwaspadai. Salah satunya Jeram Miring. Jeram ini bentuknya miring, berada di sisi kiri dengan tingkat kecuraman yang cukup besar. Akibatnya beberapa hole (terjunan) tercipta. Jika tidak berhati-hati perahu yang melewatinya bisa terbalik atau tertahan di diatas hole.
Karena begitu berbahaya, Kurawa sempat menawarkan untuk berhenti sebelum jeram tersebut. Pasalnya, ia ragu dengan kemampuan saya. “Jika memilih berhenti, bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki”, katanya. Sementara perahu akan di lining (di tarik dengan tali) melewati jeram tersebut. Setelah itu pengarungan dilanjutkan kembali.
Setelah berpikir cepat, dengan tegas, saya menolak tawaran tersebut. Saya beranggapan jika tim kompak, kami pasti sanggup melewatinya. “Ayo, kang, kita hajar saja. Saya masih kuat, kok”, ujarku lantang.
Perlahan namun pasti, perahu kami melaju di ganasnya ombak. Strateginya adalah dengan memilih arus utama yang terdiri dari standing vawe (ombak berdiri) berukuran kecil. Metode ini di pilih karena akan menghemat tenaga dan memanfaatkan energi hempasan ombak.
Persoalan pertama telah selesai, tinggal bagaimana cara melewati hole yang kekuatannya mampu menghisap perahu. Tak ada cara lain, selain mendayung sekuat tenaga. Begitu aba-aba “dayung maju” dikumandangkan, dengan cepat saya menancapkan dayung ke dalam jeram. Berkali-kali, hingga akhirnya kami berhasil melaluinya. Karena kalau terlambat sedikit saja bisa celaka. “cihuuy…berhasil!” teriakku. Kini tinggal menunggu perahu berikutnya. “Semoga mereka juga berhasil”.
Lepas dari Jeram Miring, Jeram Batu Besar segera menyambut. Jeram ini dinamakan demikian karena ada beberapa batu besar melintang persis di tengah sungai. Batu ini turut membentuk jeram. Kendati berbahaya, lagi-lagi dengan kekompakan, kami berhasil melaluinya dengan baik.
Tak lama berselang, kami menemukan aliran air yang tenang. Para rafter menyebutnya flat. Di tempat ini, setelah letih mendayung, para tamu mulai malas beraktivitas. Mereka hanya menikmati pemandangan sembari diam membiarkan perahu bergerak dengan sendirinya.
Namun, lama kelamaan rasa bosan timbul juga. Flat yang cukup panjang membuat pencapaian finish semakin terasa lama. Karenanya, skiper menyemangati tim dengan ajakan mendayung. Meski lambat, gerakan tersebut mampu membuat perahu bergerak pelan, ketimbang tidak mendayung sama sekali.
Lima menit kemudian, di ujung sana, jembatan besar muncul dari balik kelokan sungai. Ini pertanda pengarungan hampir selesai. Saya dan Kurawa yang berada di posisi terdepan segera bergegas, ingin jadi tim pertama yang tiba di garis finish. Dengan bersemangat kami memecah ombak di deretan panjang Jeram Finish.
Akhirnya, kami berhasil menuntaskan pengarungan di hulu Ciliwung sejauh 8 Km. Sebuah perjalan yang menyenangkan. Bergelut dengan liarnya jeram Ciliwung telah memberi pengalaman baru. Ciliwung ternyata masih indah di tempat ini. Betul-betul indah, seindah pesonanya yang melekat kuat di ingatan.
Foto & Naskah : Jekson Simanjuntak.