Ketgam : Citra satelit tanggal 28 September 2021 menunjukkan peningkatan aktivitas badai petir di lepas pantai Afrika. Peningkatan aktivitas badai petir ini diperkuat oleh gelombang Kelvin di atmosfer (perkiraan lokasi gelombang Kelvin dilingkari pada gambar). Beberapa jam setelah gambar ini diambil, gelombang Kelvin juga membantu memunculkan Badai Tropis Victor. Peristiwa ini merupakan salah satu kejadian gelombang Kelvin yang disimulasikan dalam penelitian ini. Foto : NASA.
MIAMI, BERITALINGKUNGAN.COM– Temuan penting untuk memprediksi cuaca ekstrem seperti badai dan hujan lebat di wilayah Tropis.
Sebuah studi meteorologi revolusioner yang dilakukan oleh tim peneliti internasional dari University of Miami Rosenstiel School of Marine, Atmospheric, and Earth Science, European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF; Reading, UK), dan National Center for Atmospheric Research (NCAR; Boulder, CO), memberikan pemahaman yang lebih baik tentang gelombang atmosfer di wilayah tropis, termasuk dampaknya terhadap peristiwa cuaca ekstrem seperti badai dan hujan lebat.
Tim peneliti kolaboratif ini berfokus pada jenis gelombang atmosfer tertentu, yang dikenal sebagai Convectively Coupled Kelvin Waves (CCKWs). Gelombang ini merupakan gelombang besar dengan panjang lebih dari 1.000 mil yang bergerak di atmosfer Bumi sepanjang khatulistiwa dan secara signifikan mempengaruhi pola curah hujan global.
Studi ini, yang dipublikasikan pada 1 Juni 2024, di Journal of Advances in Modeling Earth Systems milik American Geophysical Union, memberikan cara baru bagi peneliti untuk mempelajari perilaku dan atribut gelombang Kelvin ini dalam model prakiraan cuaca.
“Temuan kami menunjukkan bahwa peningkatan simulasi gelombang Kelvin ini dalam model cuaca dapat meningkatkan akurasi prediksi untuk fitur cuaca berdampak tinggi lainnya,” kata Quinton Lawton, lulusan terbaru dari Departemen Ilmu Atmosfer Rosenstiel School dan salah satu penulis utama studi ini seperti dikutip Beritalingkungan.com dari miami.edu (11/07/2024).
“Ini berpotensi memberikan waktu persiapan yang lebih panjang dan kesiapan yang lebih baik bagi masyarakat, terutama yang berada di wilayah tropis, untuk menghadapi cuaca yang merusak.”ujarnya.
Dengan memanfaatkan sistem komputasi berperforma tinggi milik NCAR dan model cuaca mutakhir termasuk Model for Prediction Across Scales – Atmosphere (MPAS-A) dan Integrated Forecast System (IFS) milik ECMWF, tim ini mensimulasikan beberapa gelombang Kelvin dari tahun 2021. Salah satu gelombang Kelvin yang mencolok di atas Samudra Atlantik dikaitkan dengan pembentukan Badai Tropis Victor.
Studi ini menemukan bahwa model prakiraan cuaca saat ini kurang baik dalam mensimulasikan CCKW di Samudra Atlantik, yang menunjukkan perlunya peningkatan sistem prakiraan cuaca di masa depan untuk memprediksi gelombang ini dengan lebih baik dan, akibatnya, peristiwa cuaca ekstrem lainnya.
Para peneliti memperkenalkan metodologi baru untuk memodifikasi kekuatan gelombang Kelvin dalam model prakiraan cuaca. Dengan alat baru ini, peneliti akan dapat lebih baik mengkuantifikasi karakteristik dan dampak gelombang Kelvin, meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana gelombang ini diwakili dalam model prakiraan cuaca.
Gelombang Kelvin kini diakui perannya dalam meningkatkan kemungkinan pembentukan badai dan memicu peristiwa hujan ekstrem. Dalam studi sebelumnya oleh para ilmuwan Rosenstiel School, Lawton dan Sharan Majumdar yang dipublikasikan pada tahun 2023, mereka menjelaskan bagaimana gelombang ini dapat mendorong pembentukan siklon tropis di Atlantik.
Studi ini merupakan puncak dari dua tahun penelitian kolaboratif, yang berasal dari disertasi PhD penulis utama di University of Miami. Pekerjaan ini menggabungkan keahlian dan sumber daya dari UM, NCAR, dan ECMWF untuk mendorong batas-batas ilmu meteorologi.
“Penelitian ini adalah langkah menuju pemahaman dan prediksi atmosfer tropis yang lebih baik,” kata Sharan Majumdar, salah satu penulis studi dan profesor ilmu atmosfer di Rosenstiel School.
“Studi ini juga menyoroti kebutuhan penelitian lebih lanjut tentang mengapa model saat ini kesulitan dalam mensimulasikan gelombang ini dengan akurat.”tuturnya (Marwan Aziz)