JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota) yang mendampingi gugatan 32 warga negara (citizen lawsuit) menilai persidangan “Pencemaran Udara Jakarta” berjalan sangat lambat. Pada 6 Juli lalu, persidangan baru memasuki agenda pembuktian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam perjalanannya, gugatan yang ditujukan kepada tujuh pejabat negara itu hanya mendapat satu respons positif, yakni dari Pemprov DKI Jakarta. Sebelumnya, dalam 5 kali pertemuan mediasi di ruang sidang, dan 2 kali di luar persidangan, tidak dicapai kata sepakat.
Koalisi Ibukota mengingatkan pemerintah agar menunjukkan sikap serius dalam memberikan hak sehat bagi warganya. Pasalnya, persidangan telah berjalan 1 tahun dan minimnya respons positif dari ketujuh tergugat tersebut.
Khalisah, salah satu penggugat menyesalkan sikap lambat pemerintah. Padahal jika pemerintah merespons lebih cepat poin-poin yang menjadi gugatan, warga tidak perlu khawatir menjelang musim kemarau tahun ini.
“Terlebih saat pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah berani mengambil langkah cepat untuk mencegah masalah polusi udara, yang sudah menjadi agenda tahunan,”ujar Khalisah.
Dalam perkara ini, aturan yang digugat untuk direvisi, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
“Cara pemerintah menangani pencemaran udara dalam PP No.41 itu sudah usang, sudah tidak sesuai dengan standar pencemaran udara saat ini,” kata Khalisah.
Menurut Khalisah, aturan dalam PP tersebut jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). “Pemerintah seharusnya tidak mengabaikan rekomendasi WHO, apalagi di masa pandemi saat ini,” ungkapnya.
Elisa Sutanudjaja, penggugat lainnya menilai di masa New Normal saat ini, pemerintah juga harus berani mengusung norma baru. Pasalnya, berbagai hasil riset atau penelitian menunjukkan hubungan erat antara polusi udara dengan Covid-19.
Elisa berharap pemerintah mengambil langkah signifikan untuk mencegah meningkatnya angka pasien ataupun kematian akibat Covid-19.
“Pemerintah kerap mendengungkan ‘New Normal’ dalam konteks menghadapi pandemi Covid19. Namun pada kenyataannya kita tidak pernah normal”, ujar Elisa.
Pencemaran udara kian memburuk bahkan semakin terakselerasi. Belum lagi proyek-proyek yang mendorong terjadinya polusi di Jakarta malah menjamur.
“Misalnya, jalan tol bertingkat di utara Jakarta, dan berbagai rencana tol baru di Jabodetabek yang nampak dalam Perpres 20 tahun 2020 tentang Penataan Kawasan Jabodetabek-Punjur,” ungkap Elisa.
Bagi Elisa, norma baru yang didorong oleh pemerintah seharusnya mampu membawa kehidupan dan sistem produksi yang minim polusi. “Misalnya, memprioritaskan transportasi non-motor seperti pejalan kaki dan sepeda, serta transportasi publik. Bukan malah memprioritaskan kendaraan bermotor melulu”, ujarnya.
Menurut Elisa, “norma baru berarti Jakarta harus stop membangun monumen pencemaran udara seperti jalan tol”.
Sementara perwakilan tim advokasi dari LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara mengingatkan tentang prediksi ilmuwan di tahun 2030, yakni masalah pencemaran udara akan meningkat, bahkan hingga 30 kali lipat.
Tidak hanya itu, Ayu menyebut, telah banyak riset yang menjelaskan dampak pencemaran udara yang tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik, namun juga pada psikologis dan ekonomi masyarakat.
“Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda-nunda atau menghiraukan pemenuhan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Tidak perlu menunggu hingga putusan inkracht baru pemerintah memikirkan upaya yang tepat untuk mengatasi pencemaran udara,” tukas Ayu.
Ayu juga menyayangkan lambannya respons dari para tergugat. Padahal melalui gugatannya, warga Jakarta telah memberikan solusi-solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
“Sehingga gugatan warga ini, sepatutnya dijadikan peringatan keras bagi pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran udara, dan menjalankan tugas serta fungsi sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang,” papar Ayu.
Sebelumnya, citizen lawsuit tentang polusi udara Jakarta telah dimulai dengan mengirimkan notifikasi kepada tujuh tergugat pada 5 Desember 2018. Kemudian dalam gugatan yang dilayangkan pada 4 Juli 2020 lalu, ditetapkan 7 pejabat pemerintahan sebagai para tergugat dan turut tergugat dalam perkara itu.
Ketujuh pejabat yang digugat adalah Presiden Republik Indonesia (TERGUGAT 1), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TERGUGAT 2), Menteri Dalam Negeri (TERGUGAT 3), Menteri Kesehatan (TERGUGAT 4), Gubernur DKI Jakarta (TERGUGAT 5), Gubernur Banten (TURUT TERGUGAT 1) dan Gubernur Jawa Barat (TURUT TERGUGAT 2). (Jekson Simanjuntak)