JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Memasuki musim kemarau, Kementerian Pertanian (Kementan) menjalankan sejumlah langkah strategis untuk mengantisipasi potensi kekeringan pada lahan pertanian antara lain dengan menurunkan Tim Penanganan Kekeringan.
Salah satu langkah cepat yang dilakukan adalah menurunkan tim khusus untuk penanganan kekeringan di wilayah sentra produksi padi, dengan berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Mereka akan bekerja sama untuk memetakan potensi permasalahan kekeringan di sejumlah daerah dan menyiapkan solusi berupa penggelontoran air dari bendungan,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.
Tim ini diharapkan melakukan identifikasi ke wilayah yang terdampak kekeringan. Apabila masih terdapat sumber air (air dangkal), tim ini mendorong Dinas Pertanian setempat untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait.
Salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian, disebut Sarwo, adalah sistem pengairan air yang terhambat. Kementan sendiri telah berupaya membenahi tata kelola air dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur air untuk lahan pertanian selama tiga tahun terakhir.
“Infrastruktur ini dapat meminimalisir dampak kekeringan di areal pertanian.Setidaknya 3,1 juta hektare lahan dapat merasakan dampaknya,” kata Sarwo.
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan semua pihak untuk mewaspadai potensi kekeringan akibat musim kemarau. Berdasarkan pemantauan BMKG, sebanyak 35 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau.
Untuk meminimalisir kerugian petani yang lahannya terkena dampak kekeringan, Sarwo Edhy menyebutkan pihaknya memfasilitasi Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Asuransi ini memungkinkan petani mendapatkan ganti rugi apabila terdampak musibah kekeringan maupun banjir.
“Fasilitas ini supaya tidak mengganggu produksi pangan nasional nantinya,” ucap Sarwo.
Untuk mendapatkan AUTP, Sarwo menyebutkan, petani cukup membayar premi Rp 36 ribu per hektare per musim.
Tarif tersebut dinilainya dapat dijangkau oleh para petani. Mereka bisa mendapatkan ganti hingga Rp 6 juta per hektare apabila sawahnya mengalami salah satu dari kondisi berikut, yakni terkena dampak kekeringan, banjir atau serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).
Berdasarkan catatan Kementan, jumlah petani yang terdaftar sebagai peserta AUTP terus menunjukkan tren positif sejak dua tahun terakhir. Pada 2017, luas lahan yang didaftarkan petani mengikuti AUTP adalah 997.961 hektare dengan klaim kerugian tercatat 25.028 hektare.
“Pada 2019 ini, kamit argetkan lahan yang diasuransikan bisa mencapai 1 juta hektare. Kami terus dorong petani untuk mengikuti AUTP ,” kata Sarwo. (Ant/DC/Wan)