JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring, mengapresiasi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Manado terhadap perkara nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim PTUN Manado mengabulkan gugatan Yultrina Pieter dkk terhadap Izin Lingkungan PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS).
“Majelis Hakim PTUN Manado menunjukkan putusan yang cukup komprehensif,” katanya.
Sebelumnya, 2 Mei 2022, Pengadilan Tata Usaha Negara Manado memutus perkara lingkungan hidup yang menurut Raynaldo sangat penting. Pertama, keputusan majelis hakim untuk mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan izin lingkungan sangat penting untuk mencegah perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Hal tersebut telah sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk menunda pelaksanaan keputusan jika keputusan tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
“Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan secara cermat oleh Majelis Hakim dalam sengketa lingkungan hidup,” tegasnya.
Lebih jauh, Raynaldo menjelaskan, secara prinsip suatu izin akan tetap berlaku sampai adanya pencabutan atau pembatalan keputusan, baik oleh pejabat yang berwenang atau melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Tanpa adanya perintah penundaan, selama proses gugatan administratif yang dapat memakan waktu bertahun-tahun sebelum membuahkan putusan berkekuatan hukum tetap, izin lingkungan yang disengketakan dapat menjadi landasan bagi kegiatan yang mencemari atau merusak lingkungan,” terang Raynaldo.
Amar penundaan pelaksanaan keputusan telah “membekukan” keputusan yang disengketakan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum sampai ada keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang mengubahnya.
Dengan dikabulkannya permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tersebut oleh majelis hakim, maka DPMPTSP Sulawesi Utara dan PT TMS tidak dapat melakukan pelaksanaan izin lingkungan seperti mengajukan permohonan izin usaha pertambangan, yang menjadi landasan pelaksanaan kegiatan pertambangan.
“Kecuali ada putusan pengadilan yang mencabut amar putusan tersebut,” katanya.
Kedua, majelis hakim telah dengan cermat dan secara mendalam mempertimbangkan aspek prosedural penyusunan Amdal. Dalam putusannya majelis hakim mempertimbangkan empat permasalahan dalam proses penyusunan Amdal.
Keempat masalah itu meliputi; jumlah masyarakat yang hadir dan menyetujui penambangan emas tidak proporsional dengan jumlah masyarakat terdampak, tidak adanya proses pemilihan wakil masyarakat yang duduk sebagai anggota komisi penilai Amdal, kerangka acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) tidak ditandatangani pejabat berwenang sehingga tidak terdapat keterangan dari dokumen yang menguatkan bahwa hasil uji administrasi telah dilakukan, dan tidak ditemukan bukti adanya pengumuman atas permohonan izin lingkungan.
Ketiga, menurut Raynaldo, Majelis Hakim dengan cermat dan secara mendalam mempertimbangkan aspek materil dalam Amdal. Dalam putusannya Majelis Hakim mempertimbangkan dua permasalahan materil dalam amdal, yaitu dokumen Amdal dan tidak terdapat bukti ataupun keterangan yang menunjukkan adanya hasil uji laboratorium terhadap penggunaan bahan kimia dalam pengolahan emas.
“Dokumen Amdal hanya membahas mengenai dampak penurunan kualitas udara dari penggunaan sianida, padahal menurut keterangan ahli kegiatan pertambangan akan menimbulkan dampak ke pantai, bakau, dan terumbu karang,” ujarnya.
Sementara terkait tidak terdapatnya bukti ataupun keterangan yang menunjukkan adanya hasil uji laboratorium terhadap penggunaan bahan kimia dalam pengolahan emas, menurut Raynaldo, hal itu menjadi dasar keraguan bagi hakim apakah dampak lingkungan akan dapat dikendalikan, atau menjadi sangat berbahaya.
“Karenanya hakim mengedepankan asas kehati-hatian dan mengedepankan perlindungan lingkungan dengan mengambil langkah preventif berupa membatalkan objek gugatan,” ungkapnya.
Keempat, penghapusan Pasal 93 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup melalui Undang-Undang Cipta Kerja tidak menjadi alasan untuk menolak gugatan izin lingkungan.
Salah satu pasal Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dihapus dalam Undang-Undang Cipta Kerja adalah Pasal 93 Undang-Undang PPLH yang mengatur mengenai gugatan administratif.
“Hal tersebut berpotensi menimbulkan pertanyaan mengenai hak gugatan administratif di bidang lingkungan hidup,” ujarnya.
Putusan itu telah memberikan kepastian hukum ketika majelis hakim menyatakan: “Menimbang, bahwa dengan dihapuskan Pasal 93 Undang-Undang PPLH tidak dapat dimaknai jika hak gugat administratif juga ikut terhapus, namun majelis hakim memaknai batasan, syarat dan ketentuan untuk mengajukan gugatan administratiflah yang terhapus, maka siapapun yang merasa kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.” (Jekson Simanjuntak)