JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Yayasan KEHATI bersama Kementerian Bidang Perekonomian, didukung oleh pemerintah Inggris mengembangkan Program Penguatan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan/Strengthening Palm Oil Indonesia Sustainability Indonesia (SPOS Indonesia). Hal itu dilakukan untuk mengimbangi ekspansi perkebunan sawit yang sangat masif. Pada 2018, pendapatan nasional dari ekspor minyak sawit bahkan menyalip minyak bumi dan gas, dengan nilai total mencapai USD 20,5 (BPS, 2018).
Pada saat yang sama, di tingkat global, Indonesia juga mengungguli Malaysia dalam hal produsen dan eksportir minyak sawit, sekaligus menempatkan diri sebagai negara produsen minyak nabati terbesar di dunia, mengalahkan Cina, Malaysia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Khusus terkait penguatan kelapa sawit berkelanjutan, Yayasan KEHATI mulai terlibat sejak tahun 2019 hingga saat ini. Misi utama program tersebut adalah untuk memperkuat tata kelola (sektor) kelapa sawit yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan petani kecil, pengurangan deforestasi dan degradasi lahan gambut.
Untuk bisa mencapai misi tersebut, beberapa program strategis perlu dijalankan secara konsisten, baik di tingkat kebijakan, kelembagaan, maupun di lapangan. “Misalnya saja, untuk mengerem laju ekspansi perkebunan kelapa sawit, perlu ada upaya pengembangan sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang baru (ISPO baru),” kata Direktur Program SPOS Indonesia Irfan Bakhtiar.
Di lapangan, bersama masyarakat, desa, petani, dan pemerintah desa, SPOS Indonesia mempromosikan Rencana Tata Guna Lahan Desa (RTGLD). “Tentu, selain itu kita juga mendorong pemerintah desa dan masyarakat untuk menempatkan dan mempertahankan sisa hutan yang ada sebagai bagian dari kawasan lindung desa,” terangnya.
Sementara itu, isu deforestrasi tidak bisa dilepaskan dari besarnya gelombang ekspansi perkebunan sawit yang akhir-akhir ini terjadi di segenap wilayah dan ditengarai merambah ke dalam kawasan hutan.
Data statistik menunjukkan bahwa kini total luas tutupan sawit nasional telah mencapai 16,8 juta hektar; dan sekitar 20,23% atau 3,4 juta hektar adalah kebun-kebun sawit yang berlokasi di dalam kawasan hutan, baik yang berstatus sebagai kebun perusahaan maupun kebun rakyat.
Untuk mengurangi deforestrasi, sejumlah langkah dilakukan agar ekspansi sawit tidak semakin masif di dalam kawasan hutan. Salah satunya melalui konsep “Jangka Benah”. Strategi Jangka Benah (SJB) yang dikembangkan oleh Program SPOS Indonesia-Yayasan KEHATI bersama mitra Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada merupakan upaya sosio-teknis-kebijakan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang telanjur rusak.
Penerapannya dimulai dengan membenahi keberadaan kebun sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan fungsi ekosistem hutan. Kerusakan tersebut dapat diperbaiki secara bertahap (periodik) dengan penguatan kelembagaan, tindakan silvikultur yang terjadwal, dan dukungan kebijakan.
“SJB juga merupakan instrumen untuk mempercepat pencapaian program perhutanan sosial (PS), sekaligus menjadi salah satu alternatif penyelesaian penguasaan lahan di dalam kawasan hutan,” papar Irfan.
Tidak bisa dipungkiri, SJB merupakan salah satu inisiasi yang berhasil diadopsi menjadi kebijakan pemerintah dalam penyelesaian pekebunan sawit yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan. SJB tertuang pada UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan pada pasal 82 ayat 2 menyebutkan bahwa perubahan fungsi pokok kawasan hutan konservasi hanya dilakukan dalam hal diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan.
Pada pasal 213 juga dijelaskan bahwa pemilik kebun rakyat yang berada di kawasan hutan sebelum berlakunya UU 11/2020 dapat mengajukan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam jangka waktu tertentu. “Yang selanjutnya dilakukan penanaman pohon dalam rangka jangka benah,” katanya.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, jangka benah menjadi salah satu instrument denda administratif.
Pada pasal 27 ayat 4(a) disebutkan bahwa dalam hal penerbitan persetujuan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan perizinan di bidang kehutanan di kawasan hutan produksi, maka memuat kewajiban kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan jangka benah.
Pada pasal 28 ayat 3(a) dijelaskan mengenai persetujuan melanjutkan kegiatan usaha yang memuat kewajiban untuk menerapkan jangka benah dan tidak melakukan penanaman sawit baru.
Dalam konteks Perhutanan Sosial, target atau sasaran implementasi jangka benah adalah kawasan hutan yang terlanjur bersawit yang telah dibebani izin perhutanan sosial (PS). Permen LHK No. 09/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial telah memberi momentum untuk penyelesaian kebun kelapa sawit monokultur di dalam Kawasan hutan melalui jangka benah dalam skema Perhutanan Sosial.
“Dalam pandangan permen tersebut, pelaksanaan jangka benah merupakan bagian dari rencana kelola Perhutanan Sosial,” ungkapnya.
Sejak diadopsinya SJB sebagai kebijakan pemerintah, upaya melakukan penyelesaian kebun-kebun sawit di kawasan hutan, terutama kebun rakyat, kini menjadi terbuka, dari yang sebelumnya mengalami kebuntuan atau deadlock.
“Kami berharap ini adalah salah satu bentuk kontribusi yang kami lakukan bersama semua pihak seperti Fakultas Kehutanan UGM untuk penguatan kebun-kebun sawit rakyat dalam rangka menyongsong era baru sawit berkelanjutan di Indonesia,” pungkas Irfan. (Jekson Simanjuntak)