JAKARTA, BL- PT Karya Putra Borneo (KYB) mengajukan gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang didaftarkan pada 29 September 2015 terkait perkara dugaan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah oleh PT Karya Putra Borneo, perusahaan pertambangan batu bara pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
Menurut informasi yang diperoleh Beritalingkungan dari Sekretaris Ditjen Penegakan Hukum Kementerian LHK, Novrizal, sidang pra peradilan kedua digelar pada Jumat (23/10) di PN Tenggarong, dipimpin oleh Hakim Tunggal YF Tri Joko GP. Kuasa hukum Kementerian LHK diwakili Marianus, sedangkan kuasa hukum dari pihak pemohon Mandiri Wibowo.
Kasus ini bermula dari laporan Polisi Kehutanan Kalimantan Timur melalui Laporan Kejadian Nomor 01/SPORC-KT/BKSDA/IV/2015/PPNS tertanggal 5 Mei 2015 yang menyebutkan ada indikasi pelanggaran tindak pidana kehutanan oleh PT KPB. Perusahaan ini diduga menyerobot kawasan hutan untuk jalan angkut batu bara (hauling) sepanjang 1,4 Km di Kecamatan Loa Janan, KabupatenKutaiKartanegara, Kalimantan Timur.
Dari laporan itu berlanjut pada penyidikan pada 7 Mei 2015 dengan memanggil dan memeriksa 17 orang saksi serta meminta keterangan dari lima orang ahli. Berlandaskan keterangan dari sejumlah saksi serta diperkuat oleh keterangan ahli, makaKementerian KLH membentuk tim gabungan. Alhasil, tim gabungan yang terdiri dari aparat Polda Kaltim, Polres Kutai Kartanegara, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, BPKH Wilayah IV Samarinda, SPORC Brigade Enggang dari BKSDA Kaltim bergerak menyita obyek pelanggaran pidana oleh PT KPB. Eksekusi penyitaan dilakukan pada 2 September 2015.
Menurut penyidik, PT KPB diduga melanggar tindak pidana kehutanan berupa pembukaan dan pembangunan jalan angkutan batu bara di dalam kawasan hutan produksi secara tidak sah. Disamping itu terdapat indikasi PT KPB menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan atau mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung. Hal itu sesuai pasal 19 huruf a dan atau huruf d juncto pasal 94 ayat (2) huruf a dan huruf c Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
PT KPB menyatakan penetapan Direktur PT KPB Kirtipal Singh Raheja sebagai tersangka tidak sah, penyidikan yang dilakukan Kementerian LHK tidak sah, dan penyitaan ruas jalan angkut batu bara pada 2 September 2015 juga tidak sah. Pihak KPB menilai, penetapan Kirtipal oleh penyidik dilakukan secara diam-diam dan selama ini hanya pernah diperiksa sebagai saksi bukan sebagai status tersangka. Adapun, masalah ruas jalan angkut batu bara di Loa Janan yang dinilai melanggar kawasan hutan produksi, menurut pihak KPB sudah melakukan perjanjian kerjasama dengan PT MSH.
Surat Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 297/Pen.Pid/2015/PN.Tgr tanggal 17 Juni 2015 justru memperkuat alasan penyitaan barang bukti oleh penyidik kasus pidana kehutanan. Sebab, surat tersebut mengacu pada kepentingan penyidikan tersangka korporasi PT KPB maka perlu disita sejumlah alat bukti. Dari status tersangka korporasi ini tidak menutup kemungkinan direksi PT KPB juga bakal dijerat hukum.
Hakim PN Tenggarong Tri Joko menerangkan bahwa dalam proses pra peradilan di mana dulu penetapan tersangka dan penyitaan barang tidak masuk dalam yang diatur dalam pasal 77 KUHAP, ditambah pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi, sekarang hal tersebut bisa diperkarakan di praperadilan. Hal tersebut dibuat agar tindakan penyidik bisa diawasi saat melakukan penyidikan dalam suatu perkara hukum, sehingga ada jalan bagi upaya hukum dari masyarakat jika merasa tidak puas dengan proses penyelidikan atau penyidikan oleh aparat penegak hukum.
Novrizal menambahkan, Kementerian LHK melalui Ditjen Penegakan Hukum terus mendorong proses penindakan terhadap berbagai pelanggaran lingkungan hidup dan kehutanan, antara lain, perambahan kawasan hutan, kerusakan lingkungan, mengambil tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. (Wan).