SENGATTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Dua Kecamatan di Kutai Timur yakni Kecamatan Sengatta Utara dan Kecamatan Sengatta Selatan selama tiga hari lumpuh di terjang banjir. Sebanyak 4.471 Kepala Keluarga atau 16.896 jiwa warga yang terdampak dari banjir ini dan sedikitnya 2 ribu warga terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.
Perwakilan JATAM Kaltim Pradarma Rupang meyakini jumlah tersebut terus bertambah mengingat luas serta tingginya permukaan air hingga mencapai ketinggian leher orang dewasa.
Wilayah terdampak paling parah berada di kecamatan Sengatta Selatan tepatnya di tiga desa yakni Desa Sangatta Selatan, Desa Pinang Raya dan Kelurahan Singa Geweh. Hingga tulisan ini dibuat, pusat kota dan jalan raya masih terendam air hingga setinggi paha orang dewasa.
Menurut Pradarma, banjir telah menelan korban jiwa, 1 orang warga bernama Suriyati (41) warga Jl. Pinang Dalam. Dikabarkan korban berusaha naik ke atas rumah karena panik dengan datangnya banjir, namun nasib sial dialaminya, korban jatuh tersungkur ke air.
“Selain jatuhnya korban jiwa, sejumlah kerugian dialami oleh masyarakat, antara lain sebanyak 366 rumah rusak diterjang banjir,” katanya.
Mencermati bencana banjir yang terjadi di Kutai Timur, Jatam Kaltim mendesak pemerintah membuka pos pos layanan bantuan serta tempat evakuasi bagi warga yang terdampak dari banjir.
Pradarma meminta pemerintah pusat mengevaluasi dan melakukan audit secara menyeluruh kepada PT.KPC terhadap komitmen pemulihan hutan serta penutupan lubang tambangnya.
Selanjutnya, pemerintah tidak hanya memberikan saksi administratif namun juga sanksi pidana atas sejumlah pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan PT.KPC.
“Pemerintah diminta membuka hasil pengawasan dan evaluasi kinerja pemulihan dan penutupan lubang tambang PT.KPC kepada warga di lingkar tambang,” katanya.
![]() |
Dapur umum yang dibangun secara swadaya. (sumber: JATAM Kaltim) |
Bukan Barang Baru
Bencana banjir bukanlah hal baru bagi warga di Dua kecamatan Sengatta Utara dan Sengatta Selatan. Oktober 2021, kedua daerah itu sempat mengalami banjir besar. Namun bila dibandingkan dengan banjir sebelumnya, banjir yang sekarang daya rusaknya jauh lebih besar.
Pradarma menyebut banjir yang terjadi sejak 18 Maret 2022 merupakan yang terparah selama kurun waktu 20 tahun. Hujan yang mengguyur selama 2 hari menunjukkan potret bagaimana rapuhnya dua kecamatan Sengatta Utara dan Sengatta Selatan dari bahaya banjir.
Rapuhnya kawasan tersebut bukan tanpa alasan. Banjir yang terjadi disebabkan oleh pembukaan hutan dan berganti menjadi tambang skala besar di wilayah hulu Sungai Sengatta. Jatam Kaltim menduga aktifitas pembongkaran hutan dan gunung yang dilakukan oleh PT.Kaltim Prima Coal (KPC) merupakan penyebab banjir selama 3 hari ini.
“PT.KPC adalah sebuah perusahaan batubara raksasa yang sahamnya di miliki Aburizal Bakrie mantan Menteri di pemerintahan SBY dan juga mantan Ketua Golkar,” kata Pradarma.
Memperoleh Kontrak Karya dari Pemerintah pada tahun 1982 dengan luasan konsesi 90.938 Ha menjadikan PT. KPC mampu memproduksi batubara sebanyak 60 Juta metrik Ton, dan 75% hasil produksinya di ekspor ke luar negeri. Diawal tahun 2022, PT.KPC sempat mendapatkan perpanjangan kontrak, namun luas konsesi mengalami penciutan menjadi 61.543 Ha.
![]() |
Dua Kecamatan di Kutai Timur yakni Kecamatan Sengatta Utara dan Kecamatan Sengatta Selatan selama tiga hari lumpuh di terjang banjir. (sumber: JATAM Kaltim) |
Pelanggaran PT. KPC
Menurut Pradarma, banjir yang terjadi akibat hutan-hutan di wilayah hulu dari Sungai Sengatta telah dibabat habis oleh PT.KPC dan bukit-bukitnya dikeruk menjadi lubang tambang yang besar.
Jatam Kaltim juga mencatat selama 39 tahun mengeruk bumi Kutai Timur, PT. KPC seringkali melakukan sejumlah pelanggaran. Daftar pelanggaran tersebut antara lain meracuni Sungai Sengatta dan Sungai Bengalon. Sepanjang tahun, PT.KPC mengalirkan limbah tambangnya melalui kedua sungai ini.
“Dampak yang terjadi badan Sungai Sengatta dan Sungai Bengalon mengalami penyempitan serta dasar sungai alami pendangkalan secara ekstrim,” katanya.
Air sungai sudah tidak lagi layak dipakai memasak dan dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, buaya yang biasa hidup di muara kini semakin sering masuk kewilayah permukiman warga untuk mencari makan.
Sementara itu, Tim Kerja Perempuan dan Tambang Teresia Jari menilai kasus perampasan lahan terhadap masyarakat adat dan petani dengan menggunakan kekerasan seringkali terjadi. Salah satunya dialami oleh Dahlia yang pada tahun 2016 diseret secara paksa keluar dari kebunnya oleh pihak keamanan PT.KPC dengan dikawal Brimob.
Akibat dari tindakan represif pihak perusahaan, Dahlia mengalami cacat permanen serta trauma psikis. “Hingga hari ini tidak ada tindakan pemulihan dari pihak PT.KPC terhadap kesehatan dan psikis Dahlia,” katanya.
Kehilangan terbesar justru dialami oleh warga di dua kampung masyarakat Dayak Basap yaitu Desa Keraitan dan Desa Tebangan Lembak. Masuknya tambang PT.KPC di kampung tersebut telah merampas ratusan hektar ladang warga. Pelepasan kepemilikan lahan kerap menggunakan cara-cara kotor disertai dengan kekerasan.
Sementara itu, program resetlemen yang diusung perusahaan, tidak lain sebagai upaya pengusiran dari kampung asal yang dianggap sebagai siasat busuk PT.KPC untuk mengeruk batu bara yang ada di bawah pemukiman, makam dan ladang warga.
Oleh karena itu, Jatam Kaltim menilai PT.KPC tidak layak mendapatkan penghargaan Peringkat Emas dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan Hidup (PROPER) yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di lapangan, PT.KPC tidak mampu mengembalikan dan memulihkan layanan fungsi alam yang berubah menjadi lubang tambang.
“Jatam Kaltim menemukan terdapat 191 lubang tambang yang tersebar di tiga kecamatan dibiarkan terbuka mengangga tanpa dilakukan penutupan,” kata Pradarma.
Catatan buruk lainnya yakni suap melibatkan pegawai pajak di Kementerian Keuangan, korupsi divestasi KPC, kriminalisasi terhadap petani, jebolnya tanggul, tercemarnya pesisir laut Kutim, hingga putusnya jalan publik. Selain itu ada setumpuk persoalan dan konflik yang tidak pernah diselesaikan pemerintah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan oleh PT.KPC. (Jekson Simanjuntak)