Kondisi kanal di hutan Rawa Tripa, Aceh. Foto : Yusriadi/theglobejournal.com |
JAKARTA, BL- Ketua Satgas Persiapan Kelembagaan (Satgas) REDD+ Kuntoro Mangunsubroto, meminta Gubernur Aceh segera mencabut izin dua perusahaan yang beroperasi di Rawa Tripa, Aceh yaitu PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur.
Menurut Kuntoro, kedua perusahaan tidak hanya melakukan pelanggaran hukum berat juga mengabaikan seruan masyarakat serta konservasi keragaman hayati yang terancam punah.
Pelanggaran itu dilakukan oleh dua perusahaan di kawasan Rawa Tripa yang berdekatan dengan Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah dikenal luas dimana lahan gambut dan keragaman hayati yang terancam punah dilindungi.
Sebelumnya Kuntoro yang juga menjabat Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), pada tanggal 3 Juli 2012 lalu telah mengirim surat ke Gubernur Aceh. Surat itu berisi permohonan agar mencabut perijinan dari dua perusahaan yang kegiatannya dianggap melanggar beberapa ketentuan hukum.
Beberapa LSM maupun anggota masyarakat telah mengangkat masalah ini dan mengajukan petisi agar pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap kasus ini.
Selama ini UKP4 telah berada di barisan depan dalam upaya pemerintah untuk menyelidiki kasus pembukaan lahan dengan pembakaran hutan yang sistematis dengan unsur kesengajaan semenjak April 2012.
Investigasi yang dilaksanakan di bawah koordinasi UKP4 dan Satgas Persiapan Kelembagaan (Satgas) REDD+ pada April 2012 ditemukan ada berbagai pelanggaran yang bertentangan dengan UU No. 18/2001 tentang Perkebunan, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU NO. 26/2007 mengenai RTRW serta Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Surat tersebut juga dikirimkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepala Polri untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Investigasi lebih lanjut menemukan ketidakberesan dalam penerbitan ijin serta pelanggaran secara sengaja atas beberapa peraturan konversi pemanfaat lahan.
Tim dari UKP4/Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ termasuk Ketua Tim Kerja Penegakan Hukum dan Monitoring Moratorium pergi ke Aceh untuk mengadakan rapat dengan para pejabat di sana. Satgas juga mengadakan survai udara untuk mengamati kebakaran hutan yang dilakukan oleh dua perusahaan. Kedua perusahaan tidak hanya melakukan pelanggaran hukum yang berat tetapi juga mengabaikan seruan masyarakat serta konservasi keragaman hayati yang terancam punah.
Surat tertanggal 3 Juli dari Kepala UKP4 dan Ketua Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+, Kuntoro Mangkusubroto, kepada Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dr. Zaini Abdullah, meminta pencabutan Ijin Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan (IUP-B) yang diberikan kepada PT Surya Panen Subur (PT SPS 2) and Surat Ijin No. 525/BP2T/5322/2011 tertanggal 25 Agustus 2011 yang dikeluarkan atas nama PT Kalista Alam (PT KA). Surat tersebut diserahkan kepada Sekretaris Daerah pada saat kunjungan tersebut.
Menurut pihak UKP4 dan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+, setidaknya ada enam aspek yang semestinya dilakukan otoritas setempat.
Pertama, moratorium seluruh kegiatan dengan ijin berbasis lahan di Rawa Tripa dimaksudkan untuk mencegah meluasnya kerusakan serta mencari solusi komprehensif atas berbagai kebutuhan ekonomi, konservasi, dan sosial yang ada di wilayah tersebut.
Dua, melakukan kajian ilmiah atau inventarisasi yang komprehensif untuk mengenali karakteristik biofisik Rawa Tripa secara utuh termasuk kesatuan hidrologis, konsentrasi kimiawi, serta tanah mineralnya. Studi ini perlu dilakukan antara lain untuk menentukan delienasi wilayah yang harus dijadikan kawasan lindung (core peat area) serta pemanfaatan area penyangganya (buffer zone).
Tiga, berdasarkan pemahaman yang utuh tersebut, perlu dilakukan percepatan penyelesaian Rencana Tata Ruang Kawasan Ekosistem Leuser, khususnya Rawa Tripa. Rencana tata ruang ini akan diadopsi oleh dan/atau saling menyesuaikan dengan RTRW Propinsi Aceh yang saat ini sedang disusun.
Empat, secara kolaboratif menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan yang komprehensif di Kawasan Rawa Tripa sehingga ditemukan win-win solution antara kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial. Sebagai contoh, kegiatan perkebunan yang sudah ada di Kawasan Rawa Tripa dihentikan dan diberikan tanah pengganti di daerah lain yang lebih sesuai (land swap) atau tetap dapat dilaksanakan dengan mengubah konsep bisnisnya menjadi restorasi ekosistem. Misalnya, mengganti sawit dengan ramin atau jelutung yang sesuai dengan ekosistem rawa gambut.
Lima, memperkuat upaya penegakan hukum (pidana, administrative, perdata) yang sedang berjalan sehingga penuntasannya dapat dipercepat. Dukungan juga diberikan terhadap upaya pengkajian secara komprehensif atas ijin-ijin yang telah dikeluarkan pada Kawasan Ekosistem Leuser, terutama di Rawa Tripa.
Dan terakhir, mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, antara lain dengan melakukan tindakan korektif atas praktek lapangan oleh aparat, misalnya dengan menindak tegas oknum aparat/TNI yang melakukan intimidasi terhadap masyarakat dan memindahkan pos polisi/TNI dari luar wilayah konsesi (perusahaan).
Kerja sama dan kolaborasi baik di tingkat nasional maupun propinsi diharapkan akan memberikan preseden yang positif serta memberikan sinyal kuat bahwa pelanggaran yang mengancam lingkungan serta negara yang kaya akan sumber daya alam dan keragaman hayati tidak akan ditolerir.
UKP4 dan Satgas REDD+ berjannji akan terus mengkaji perijinan-perijinan yang dikeluarkan dengan tidak semestinya. Mereka akan tetap memonitor kegiatan-kegiatan para pemegang ijin sembari memastikan bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar tersebut. (Marwan Azis).