JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Permintaan batu bara sebagai sumber energi jangka panjang diprediksi akan menurun secara signifikan. Tren ini dipengaruhi oleh komitmen iklim yang lebih kuat dari negara-negara pengimpor batubara untuk beralih ke energi terbarukan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya menjelaskan jika komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi mengikuti Paris Agreement, yakni mencapai net-zero emission pada tahun 2050, maka pada tahun 2045, batubara tidak lagi digunakan dalam sistem energi Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan bahwa hal ini menuntut komitmen pemerintah untuk mempersiapkan transformasi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja bagi daerah yang pendapatannya didominasi oleh sektor batubara.
Peningkatan target emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari negara-negara pengguna batu bara, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Afrika Selatan, dan negara lainnya, akan mempengaruhi pengurangan pendanaan proyek energi fosil.
Mengacu pada Paris Agreement, jika seluruh negara mengadopsi penghapusan batubara yang lebih agresif, maka pada 2030, produksi batubara akan turun 20%, 30% pada 2040, dan 90% pada 2050.
“Penurunan produksi ini harus diantisipasi karena berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan juga akan berdampak pada pendapatan nasional dan daerah penghasil batubara,” kata Fabby.
Ancaman ini cukup serius mengingat daerah penghasil batubara tidak memiliki banyak pilihan alternatif ekonomi, sementara melakukan transformasi ekonomi pasca tambang batubara akan memakan waktu lama.
Kini saatnya melakukan transformasi dan mempersiapkan landasan untuk melakukan transformasi ekonomi, pasca tambang batubara dan pasca transformasi ekonomi pembangkit listrik tenaga batubara.
“Kegagalan dalam menyukseskan transformasi ekonomi tidak hanya akan menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi, tetapi juga penurunan daya saing ekonomi,” terangnya.
Dia menambahkan, daerah penghasil batu bara perlu didukung dengan kebijakan nasional tertentu. IESR bahkan merekomendasikan isu ini harus diprioritaskan dan dimasukkan dalam penyusunan RPJMN 2024-2029.
Penurunan Pendapatan dan Kesempatan Kerja
Julius Christian, penulis studi IESR berjudul Redefining Future Jobs: Implikasi Penghapusan Batubara terhadap Sektor Ketenagakerjaan dan Transformasi Ekonomi di Wilayah Batubara Indonesia, mendesak pemerinah pusat dan daerah penghasil batubara untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan pendapatan. dan kesempatan kerja dari sektor batubara.
“Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi catatan penting dalam menyusun strategi ekonomi jangka panjang untuk mewujudkan struktur ekonomi yang lebih beragam dan tidak lagi bergantung pada batu bara,” kata Julius.
Pada tahun 2020, sedikitnya 250.000 pekerja yang aktif di sektor pertambangan. Para pekerja itu umumnya berusia di bawah 50 tahun. Oleh sebab itu, mereka masih bisa dipersiapkan dengan berbagai jenis pelatihan untuk beralih ke sektor pekerjaan lain.
Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan tunjangan dan jaring pengaman sosial untuk mengantisipasi penurunan permintaan batu bara yang cepat.
“Pekerja batubara adalah salah satu kelompok yang paling terkena dampak dari penurunan batubara ini,” ujarnya. Namun saat ini, para pekerja belum menyadari risiko yang akan dihadapi dan belum diikutsertakan dalam semua wacana transisi energi.
Senada dengan itu, peneliti IESR lainnya Ronald Suryadi, yang juga penulis laporan Redefining Future Job menjelaskan bahwa transformasi ekonomi perlu disikapi oleh sejumlah provinsi yang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)-nya terutama diperoleh dari sektor batu bara. Contohnya, Kalimantan Utara yang menghasilkan 48% pasokan batubara nasional, Kalimantan Selatan (32%), Sumatera Selatan (9%), Kalimantan Utara (3%), dan Kalimantan Tengah (3%).
“Transformasi ekonomi secara bertahap tidak hanya diperlukan untuk memitigasi dampak yang ditimbulkan, tetapi juga untuk mencapai struktur ekonomi yang dapat mengikuti perkembangan saat ini di masa depan,” kata Ronald.
Atas dasar itu, IESR mendorong proses perencanaan dan perumusan strategi yang inklusif dengan melibatkan kelompok yang terkena dampak, terutama para pekerja dan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Tujuannya agar transformasi ekonomi dapat dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Transformasi ekonomi di kawasan batubara misalnya dapat dilakukan dengan memodernisasi sektor pertanian.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat industri utama yang sudah ada dengan multiplier effect yang tinggi, seperti industri makanan dan kimia. “Persiapan untuk mewujudkan perekonomian yang terpusat pada jasa juga dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur, memulihkan lingkungan, dan mengintensifkan sumber daya manusia,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)