Hutan gambut di Riau. Foto : Greenpeace. |
JAKARTA, BL- Indonesia Climate Change Center (ICCC), sebuah lembaga di bawah kemitraan Indonesia-Amerika Serikat, kini mengembangkan metode untuk mengukur dan memperkirakan jumlah perkiraan dari kebakaran gambut.
Untuk langkah awal inisiasi ini, ICCC telah melakukan lokakarya tentang pengembangan metodologi perkiraan GRK dari kebakaran lahan gambut pada 3 Oktober 2013 lalu. Lokakarya ini dihadiri oleh para pakar gambut internasional dan nasional, para perwakilan dari kementrian dan lembaga pemerintah terkait, LSM dan institusi terkait. Lokakarya ini memfasilitasi masing-masing lembaga pemerintah, non-pemerintah dan ahli gambut untuk dapat mengetahui kesenjangannya dan bisa saling melengkapi sehingga salah satu target Rencana Aksi Nasional GRK yaitu pengurangan emisi dari kebakaran lahan gambut tercapai.
Arfiana Khairunnisa, Communications Officer ICCC dalam rilisnya mengungkapkan, hingga saat ini data tentang laporan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kebakaran lahan gambut, baik dari segi kualitas maupun kuantitas masih sangat terbatas. Sehingga mengarah ke informasi yang tidak dapat dipercaya jika digunakan untuk proses penghitungan perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran lahan gambut.
“Apa yang dibutuhkan segera adalah penyediaan data yang diperlukan oleh sistem tersebut, terutama untuk perkiraan jumlah emisinya, serta sinkronisasi dengan lembaga pemerintah, non-pemerintah, dan para ahli gambut,”kata Farhan Helmy, Sekretaris Kelompok Kerja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Dari laporan pertama Indonesia ke UNFCCC, disebutkan bahwa kebakaran lahan gambut berkontribusi pada GRK sebesar 20-40%. Sedangkan studi terbaru menyatakan, lahan gambut yang terbakar berkontribusi sekitar 13% dari total inventori GRK nasional pada 2000. Selain itu, beberapa hasil studi yang ada menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Situasi ini diperburuk dengan belum adanya panduan yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk metodologi perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran gambut.
Farhan melanjukan, walaupun sebagian data yang dibutuhkan sudah tersedia, namun belum tentu semuanya mudah diakses atau kualitasnya tidak memadai sehingga tidak layak dan kredibel. Sehingga, dibutuhkan institusi yang bertanggung jawab atau memiliki tugas pokok khusus memperkirakan emisi GRK dari kebakaran gambut.
Dr. Kevin Ryan, pakar kebakaran gambut, dalam lokakarya menambahkan, memang yang dibutuhkan adalah kerjasama interdisipliner, sebab mempekirakan jumlah emisi dari kebakaran gambut berbeda dengan memperkirakan jumlah emisi dari kebakaran lain. Banyak faktor yang harus diperhitungkan dalam hal ini, termasuk biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, kondisi cuaca dulu dan sekarang, kondisi hidrologi, apakah kebakaran berada di atas permukaan atau bara api di bawah permukaan. Jadi, tidak ada “perbaikan cepat” yang dapat dilakukan untuk kajian perkiraan jumlah emisinya.
Ada beberapa metode untuk penilaian perkiraan jumlah emisi. Dr. Mark Cochrane, pakar penginderaan jauh, dalam workshop mendiskusikan tentang potensi penginderaan jarak jauh dalam mendeteksi kebakaran lahan gambut. Mark memberi contoh penggunaan satelit MODIS yang mendeteksi titik api. “Tetapi satelit ini masih terbatas pada titik api pada permukaan saja, sehingga tidak bisa mendeteksi banyak api dan tidak menyediakan luas area yang terbakar.”ujarnya.
Memahami situasi seperti ini, ICCC berinisiatif untuk terlibat dalam pengembangan metodologi perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran gambut. Apalagi Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut luas di dunia yaitu 14,9 juta hektar, yaitu diperkirakan luas lahan gambut di Indonesia lebih dari 10% luas total daerahnya. (Marwan Azis).