Industri pembuatan kapal. Foto : dok Suarakendari.com |
KONSEL, BL -Kawasan hutan lindung tanjung peropa di KecamatanMoramo dan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesin Tenggara terus menjadi sasaran aktifitas illegal logging oknum tertentu. Selain diantarpulaukan untuk dijual, kayu-kayu dari hutan tanjung peropa kini menjadi sasaran pemenuhan bahan baku industri kapal tradisonal pinishi yang berpusat di Kecamatan Kolono.
Tak ayal para aktifis LSM melaporkan pelanggaran industri kapal komersil tersebut ke Polda dan Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara. “ Pemilik perusahaan itu dari Bulukumba, Sulsel H. Sukardi, tidak ada izin industrinya dan tak pernah membayar pajak. Sekarang Polda Sultra sudah memasang police line di lokasi pembuatan kapal tersebut, katanya sudah ada yang diperiksa,” kata Andre, aktifis LSM Forak seperti dilansir Suarakendari.com (situs sindakasi Beritalingkungan.com).
Hasil investigasi LSM Forak menemukan aktivitas pembuatan kapal tersebut, telah berlangsung sekitar 4 tahun. Bahkan perusahaan memiliki areal produksi kayu dari hutan lindung dan konservasi seluas kurang lebih 30 hektar, dengan mempekerjakan sekitar 100 orang tenaga yang berasal dari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
“Laporan hasil investigasi yang kami sampaikan ke Polda, Dinas Kehutanan, BKSDA Sultra, bahwa aktivitas pembuatan 8 buah kapal yang berkapasitas sekitar 1000 ton, dengan bahan baku ribuan kubit kayu dari hutan lindung dan konservasi, diduga dilindungi oleh oknum aparat kepolisian Polda Sultra dan Polres Konawe Selatan serta pegawai Dinas Kehutanan setempat,” kata Adre.
Tak hanya menggunakan kayu ilegal, industri pembuatan kapal itu juga tidak memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
“Telah terjadi pencemaran laut, dan merusak hutan bakau karena penggunaan bahan kimia untuk pengecetan. Ini melanggar Undang-undang Kehutanan nomor 41 Tahun 1999, pasal 50 ayat 3 dan Undang-undang 31 tahun 1999 pasal 109 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” terangnya.
Andre melanjutkan, kapal – kapal itu kemudian dijual ke luar negeri atas pesanan pengusaha dari Malaysia, dengan harga mencapai miliaran rupiah per unitnya. Pihak Dinas Kehutanan Sultra katanya, sudah mengambil dokumen dari industri kapal tersebut, namun saat dimintai untuk bertemu mereka terkesan menghindar.
Sekilas Tentang Tanjung Peropa
Tanjung Peropa merupakan kawasan konservasi suaka marga satwa yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (Menhut) pada tahun 1986. Kawasan konservasi ini terletak di kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang diapit oleh pemukiman penduduk yaitu kecamatan Moramo dan kecamatan Laonti.
Kawasan seluas 38.937 hektar ini didalamnya terdapat hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer. Selain itu juga dihuni beragaman flora dan fauna yang tinggi. Sedikitnya terdapat 13 family pohon atau 59 jenis tumbuhan berhabistus pohon, 50 jenis tumbuhan tingkat pancang dan 49 jenis tumbuhan tingkat semai.
Angka tersebut diperoleh setelah BKSDA Sultra melakukan penelitian dengan metode jalur dan petak, di kawasan ini pada tahun 2003 lalu. Jenis tumbuhan pada tingkat pohon yang dominan (memiliki Indek Nilai Penting/INP tertinggi), adalah kayu Gito-gito, Bayur, Tolihe, Sisio, Eha, Pololi, Ponto dan Kayu Besi.
Selain itu, di kawasan ini tercatat juga 5 jenis mamalia, 5 jenis eves dan sejumlah reptil seperti Anoa dataran rendah, Anoa pegunungan, babi hutan, Rusa Timor, Monyet Hitam Sulawesi, Bajing dan Kus kus. Di tempat ini juga ditemui 33 jenis burung, diantaranya adalah Rangkong Sulawesi, Walet, Bubut Sulawesi, Kunggurio, Cabai Panggul Kelabu dan Burung madu hitam.
Berbagai literatur menyebutkan, perpaduan kekayaan alam, satwa maupun tumbuhan liar berasal dari proses bentukan alam yang menggabungkan dua lempengan tektonik berbeda yang berasal dari dari laurasia dan gondwaland yang menyebabkan munculnya perpaduan fauna. Nah, proses ini berjalan dari tahun ketahun dan memungkinkan terbentuknya berbagai varian spesies unik yang memiliki endemic organisme tinggi.
Menurut Priehanto SP, staf ahli Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sultra bahwa pulau Sulawesi disebut-sebut sebagai wilayah yang memiliki tingkat endemitas tertinggi setelah Papua. Selain itu, dia juga memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna ke-tiga setelah Papua.
Seiring pergeseran waktu, kekayaan alam tersebut mengalami tekanan dalam berbagai bentuk, baik perubahan alam maupun ulah manusia sendiri. Berbagai tekanan tersebut memunculkan keprihatianan, sejatinya sumber daya alam tersebut dilindungi oleh undang-undang, karena populasinya kecil dan rentan dengan bahaya kepunahan.
Priehanto menggambarkan, satwa Anoa (Buballusp), merupakan maskot fauna identitas Sulawesi Tenggara. Jumlah populasi dari tahun ke tahun hewan bertanduk itu, terus mengalami penurunan. (Yos/SK)